Translate

Jumat, Oktober 25, 2013

PENDEKATAN ANTROPOLOGI DALAM KAJIAN ISLAM
Oleh Muhamad Taufik Hidayat


Pendahuluan
Agama, secara mendasar dan umum, dapat didefinisikan sebagai seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia gaib, khususnya dengan Tuhannya, mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan mengatur manusia dengan lingkungannya. Dalam definisi tersebut, agama dilihat sebagai sebuah doktrin yang terwujud sebagai teks suci. Adapun hubungan agama dengan manusia yang meyakininya, dan khususnya kegiatan-kegiatan manusia yang menjadi penganut agama tersebut, tidak tercakup dalam definisi tersebut.  
Secara lebih khusus, Parsudi Suparlan mengemukakan bahwa agama merupakan suatu sistem keyakinan dan tindakan-tindakan yang diwujudkan oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam menginterpretasi dan memberi respons terhadap apa yang dirasakan dan diyakini sebagai yang gaib dan suci. Sebagai suatu sistem keyakinan, agama berbeda dari sistem-sistem keyakinan atau isme-isme lainnya karena landasan keyakinan keagamaan adalah pada konsep suci (sacred), yang dibedakan dari—atau dipertentangkan dengan—yang duniawi (profane), dan pada yang gaib atau supranatural yang menjadi lawan dari hukum-hukum alamiah. 
Islam, di Indonesia dan di manapun, adalah agama yang bersumber pada al-Quran. Pada gilirannya, Islam membangun tradisi baru yang berintikan jalinan tiga sendi, yaitu iman (percaya), Islam (berserah diri), dan ihsan (berbuat baik). Dari sini berkembang seperangkat sistem kepercayaan, ritual dan etik bavioral yang kompleks namun penerapannya bisa lentur, sehingga dalam batas-batas tertentu, ada ruang yang cukup bagi terjadinya proses adopsi, adaptasi dan akomodasi dengan budaya lokal. Dengan demikian, walau inti ajaran Islam itu sama, namun artikulasinya berbeda sesuai dengan konteks lokal dan sosial di mana pemeluknya tinggal dan berada.
Antropologi, sebagai sebuah ilmu yang mempelajari manusia, menjadi sangat penting untuk memahami agama. Antropologi mempelajari tentang manusia dan segala perilaku mereka untuk dapat memahami perbedaan kebudayaan manusia. Dibekali dengan pendekatan yang holistik dan komitmen antropologi akan pemahaman tentang manusia, maka sesungguhnya antropologi merupakan ilmu yang penting untuk mempelajari agama dan interaksi sosialnya dengan berbagai budaya.
Antropologi yang melihat langsung secara detil hubungan antara agama dan masarakat dalam tataran grassroot memberikan informasi yang sebenarnya, yang terjadi dalam masyarakat. Melihat agama dalam masyarakat, bagi antropologi adalah melihat bagaimana agama dipraktikkan, diinterpretasi, dan diyakini oleh penganutnya. Jadi pembahasan tentang bagaimana hubungan agama dan budaya sangat penting untuk melihat agama yang dipraktikkan.
Pendekatan antropologi dalam kajian agama berangkat dari proposisi bahwa agama tidak berdiri sendiri; ia selalu berhubungan erat dengan pemeluknya. Setiap pemeluk agama memiliki sistem budaya dan kultur masing-masing. Atau, menurut David N. Gelner, agama tidak bisa dilihat sebagai sistem yang otonom yang tidak terpengaruh oleh praktik-praktik sosial lainnya.

Antropologi dan Kajian Islam
Fenomena agama adalah fenomena universal manusia. Selama ini, belum ada laporan penelitian dan kajian yang menyatakan bahwa ada sebuah masyarakat yang tidak mempunyai konsep tentang agama.  Walaupun peristiwa perubahan sosial telah mengubah orientasi dan makna agama, hal itu tidak berhasil meniadakan eksistensi agama dalam masyarakat, sehingga kajian tentang agama selalu akan terus berkembang dan menjadi kajian yang penting. Karena sifat universalitas agama dalam masyarakat, maka kajian tentang masyarakat tidak akan lengkap tanpa melihat agama sebagai salah satu faktornya.
Pernyataan bahwa agama adalah suatu fenomena abadi juga memberikan gambaran bahwa keberadaan agama tidak lepas dari pengaruh realitas di sekelilingnya. Seringkali praktik-praktik keagamaan pada suatu masyarakat dikembangkan dari doktrin ajaran agama, dan kemudian disesuaikan dengan lingkungan budaya. Pertemuan antara doktrin agama dan realitas budaya terlihat sangat jelas dalam praktik ritual agama. Dalam Islam, misalnya saja perayaan Idul Fitri di Indonesia yang dirayakan dengan tradisi sungkeman—bersilaturahmi kepada yang lebih tua—adalah sebuah bukti dari keterpautan antara nilai agama dan kebudayaan.  Pertautan antara agama dan realitas budaya dimungkinkan terjadi karena agama tidak berada dalam realitas yang vakum—selalu original. Mengingkari keterpautan agama dengan realitas budaya berarti mengingkari realitas agama sendiri yang selalu berhubungan dengan manusia, yang pasti dilingkari oleh budayanya.
Kenyataan yang demikian itu juga memberikan arti bahwa perkembangan agama dalam sebuah masyarakat—dalam wacana dan praktis sosialnya—menunjukkan adanya unsur konstruksi manusia. Walaupun tentu saja pernyataan ini tidak berarti bahwa agama semata-mata merupakan ciptaan manusia, melainkan hubungan yang tidak bisa dielakkan antara konstruksi Tuhan—seperti yang tercermin dalam kitab-kitab suci—dan konstruksi manusia—terjemahan dan interpretasi dari nilai-nilai suci agama yang direpresentasikan pada praktik ritual keagamaan. Pada saat manusia melakukan interpretasi terhadap ajaran agama, maka mereka dipengaruhi oleh lingkungan budaya—primordial—yang telah melekat di dalam dirinya. Hal ini dapat menjelaskan mengapa interpretasi terhadap ajaran agama berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya. Kajian komparatif Islam di Indonesia dan Maroko yang dilakukan oleh Clifford Geertz, misalnya, membuktikan adanya pengaruh budaya dalam memahami Islam. Di Indonesia Islam menjelma menjadi suatu agama yang sinkretik, sementara di Maroko Islam mempunyai sifat yang agresif dan penuh gairah. Perbedaan manifestasi agama itu menunjukkan betapa realitas agama sangat dipengaruhi oleh lingkungan budaya.
Perdebatan dan perselisihan dalam masyarakat Islam sesungguhnya adalah perbedaan dalam masalah interpretasi, dan merupakan gambaran dari pencarian bentuk pengamalan agama yang sesuai dengan konteks budaya dan sosial. Posisi penting manusia dalam Islam juga mengindikasikan bahwa sesungguhnya persoalan utama dalam memahami agama Islam adalah bagaimana memahami manusia. Persoalan-persoalan yang dialami manusia adalah sesungguhnya persoalan agama yang sebenarnya. Pergumulan dalam kehidupan kemanusiaan pada dasarnya adalah pergumulan keagamaannya.
Dengan demikian, memahami Islam yang telah berproses dalam sejarah dan budaya tidak akan lengkap tanpa memahami manusia, karena realitas keagamaan sesungguhnya adalah realitas kemanusiaan yang mengejawantah dalam dunia nyata. Lebih dari itu, makna hakiki dari keberagamaan adalah terletak pada interpretasi dan pengamalan agama. Oleh karena itu, antropologi sangat diperlukan untuk memahami Islam, sebagai alat untuk memahami realitas kemanusiaan dan memahami Islam yang telah dipraktikkan, yang menjadi gambaran sesungguhnya dari keberagamaan manusia.
Menurut Jamhari, persoalan kajian antropologi bagi kajian Islam dapat dilihat relevansinya dengan melihat kenyatan bahwa penjelasan antropologi sangat berguna untuk membantu mempelajari agama secara empirik. Artinya, kajian agama harus diarahkan pada pemahaman aspek-aspek social context yang melingkupi agama. Kajian agama secara empiris dapat diarahkan ke dalam dua aspek, yaitu manusia dan budaya. Pada dasarnya, agama diciptakan untuk membantu manusia agar dapat memenuhi keinginan-keinginan kemanusiaannya, dan sekaligus mengarahkan kepada kehidupan yang lebih baik. Hal ini jelas menunjukkan bahwa persoalan agama yang harus diamati secara empiris adalah tentang manusia. Tanpa memahami manusia maka pemahaman tentang agama tidak akan menjadi sempurna.
Sebagai akibat dari pentingnya kajian manusia, maka mengkaji budaya dan masyarakat yang melingkupi kehidupan manusia juga menjadi sangat penting. Kebudayaan, sebagai system of meaning yang memberikan arti bagi kehidupan dan perilaku manusia, adalah aspek esensial manusia yang tidak dapat dipisahkan dalam memahami manusia. Mengutip Max Weber, Jamhari Ma’ruf mengemukakan bahwa manusia adalah makhluk yang terjebak dalam jaring-jaring (web) kepentingan yang mereka buat sendiri, dan budaya adalah jaring-jaring itu. Geertz kemudian mengelaborasi pengertian kebudayaan sebagai pola makna (pattern of meaning) yang diwariskan secara historis dan tersimpan dalam simbol-simbol, yang dengan itu manusia kemudian berkomunikasi, berperilaku dan memandang kehidupan.  Oleh karena itu, analisis tentang kebudayaan dan manusia dalam tradisi antropologi tidaklah berupaya menemukan hukum-hukum seperti di ilmu-ilmu alam, melainkan kajian interpretatif untuk mencari makna (meaning).
Dipandang dari makna kebudayaan yang demikian, maka agama, sebagai sebuah sistem makna yang tersimpan dalam simbol-simbol suci sesungguhnya adalah pola makna yang diwarisi manusia sebagai ethos dan juga worldview-nya. Bagi Geertz agama telah memberikan karakter yang khusus bagi manusia yang kemudian mempengaruhi tingkah laku kesehariannya. Di samping itu, agama memberikan gambaran tentang realitas yang hendak dicapai oleh manusia. Berdasar pada pengertian ini, agama sebagai ethos telah membentuk karakter yang khusus bagi manusia, yang kemudian bisa memenuhi gambaran realitas kehidupan (worldview) yang hendak dicapai oleh manusia.
Kajian antropologi juga memberikan fasilitas bagi kajian Islam untuk lebih melihat keragamaan pengaruh budaya dalam praktik Islam. Pemahaman realitas nyata dalam sebuah masyarakat akan menemukan suatu kajian agama yang lebih empiris. Kajian agama dengan cross-culture akan memberikan gambaran yang variatif tentang hubungan agama dan budaya. Dengan pemahaman yang luas akan budaya-budaya yang ada, memungkinkan kita untuk melakukan dialog, dan barangkali tidak mustahil memunculkan satu gagasan moral dunia.
Di Indonesia, usaha para antropolog untuk memahami hubungan agama dan budaya masyarakat telah banyak dilakukan. Para ahli antropologi, yang perhatian utamanya adalah kebudayaan dan masyarakat, telah mencoba untuk melihat dan m engkaji agama sesuai dengan perspektif antropologi. Kajian-kajian tersebut dilakukan dalam upaya memahami makna dan hakikat agama di dalam dan bagi kehidupan manusia. Di antara tulisan-tulisan yang telah dihasilkan dari kajian-kajian empirik, antara lain karya Clifford Geertz (1963, 1971),  Parsudi Suparlan (1995),  Mark R. Woodward (1989),  M. Bambang Pranowo,  dan Muhaimin AG.  Pendekatan yang digunakan oleh para ahli antropologi disebut dalam pengkajian agama adalah pendekatan kebudayaan; yang dilakukannya secara eksplisit atau pun secara implisit, yaitu, melihat agama sebagai kebudayaan dan melihat agama sebagai bagian yang tidak terpisahkan dan bahkan menjadi inti kebudayaan yang terwujud dan mengejawantah sebagai nilai budaya dari kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. 
Kajian Geertz mengenai agama abangan, santri, dan priyayi adalah kajian mengenai variasi keyakinan-keyakinan Islam dalam kehidupan masyarakat Jawa sesuai dengan konteks lingkungan hidup dan kebudayaan masing-masing, bukannya kajian mengenai teologi Islam. Karya Clifford Geertz, The Religion of Java, yang ditulis pada awal 1960-an menjadi karya yang populer sekaligus penting bagi diskusi tentang agama di Indonesia, khususnya di Jawa. Pandangan Geertz yang mengungkapkan tentang adanya trikotomi—abangan, santri dan priyayi—di dalam masyarakat Jawa, ternyata telah mempengaruhi banyak orang dalam melakukan analisis, baik tentang hubungan antara agama dan budaya, ataupun hubungan antara agama dan politik. Dalam diskursus interaksi antara agama—khususnya Islam—dan budaya di Jawa, pandangan Geertz telah mengilhami banyak orang untuk melihat lebih mendalam tentang interrelasi antara keduanya. Keterpengaruhan itu bisa dilihat dari beberapa pandangan yang mencoba menerapkan kerangka berfikir Geertz ataupun mereka yang ingin melakukan kritik terhadap wacana Geertz. Pandangan trikotomi Geertz tentang pengelompokan masyarakat Jawa berdasar religio-kulturalnya berpengaruh terhadap cara pandang para ahli dalam melihat hubungan agama dan politik. Penjelasan Geertz tentang adanya pengelompokkan masyarakat Jawa ke dalam kelompok sosial politik didasarkan pada orientasi ideologi keagamaan. Walaupun Geertz mengkelompokkan masyarakat Jawa ke dalam tiga kelompok, ketika dihadapkan pada realitas politik, yang jelas-jelas menunjukkan oposisinya adalah kelompok abangan dan santri. Pernyataan Geertz bahwa abangan adalah kelompok masyarakat yang berbasis pertanian, santri yang berbasis pada perdagangan, dan priyayi yang dominan di dalam birokrasi, ternyata mempunyai afiliasi politik yang berbeda. Kaum abangan lebih dekat dengan partai politik dengan isu-isu kerakyatan, priyayi dengan partai nasionalis, dan kaum santri memilih partai-partai yang memberikan perhatian besar terhadap masalah keagamaan
Karya M. Bambang Pranowo, Memahami Islam Jawa, pada awalnya merupakan disertasi untuk meraih gelar doktor pada Departemen of Anthropology and Sociology, Monash University. Poin utama buku ini menjelaskan watak sosial keagamaan Muslim Jawa seperti yang dijalani dan berkembang di wilayah Tegaroso, Jawa Tengah. Dalam usahanya memahami dinamika religusitas penduduk desa sebagai Muslim, hasil penelitian M. Bambang Pranowo ini menawarkan pendekatan alternatif bagi pendekatan dominan yang selama ini dipakai untuk melihat kehidupan keagamaan masyarakat pedesaan di Jawa. Secara keseluruhan, buku ini mencerminkan sikap skeptis terhadap ketepatan dikotomi abangan-santri yang diusung oleh Clifford Geertz, penulis Barat yang paling mumpuni tentang Indonesia tahun 1950-an, yang pemikiran-pemikirannya masih dipakai oleh para ahli tentang Indonesia (Indonesianis), bahkan hingga saat ini. Dengan berpegang pada penelitian lapangan, buku ini mendeskripsikan, membahas, membandingkan dan menganalisis aspek-aspek kehidupan sosial keagamaan pedesaan yang sama sekali tidak bisa dipahami dengan baik melalui dikotomi santri-abangan. Jika selama ini sudah umum dipahami bahwa dari segi agama, orang Jawa dapat dibagi menjadi dua kelompok, yakni santri—Muslim Jawa yang saleh—dan abangan—Muslim nominal, maka buku ini menyodorkan bukti-bukti etnografis yang menunjukkan ketidaktepatan pandangan semacam itu
Sedangkan Muhaimin, berdasarkan hasil penelitiannya menyatakan bahwa Islam telah diterima oleh sejumlah besar penduduk dunia, termasuk Indonesia. Namun, sesudah diadopsi dan diakomodasi, wajah Islam yang tampil dalam bingkai budaya lokal sering tidak dikenali, bahkan disalahpami oleh banyak orang, terutama pengamat dari luar. Oleh karena itu, bisa dipahami, jika pemahaman yang mendominasi wacana sosial keagamaan masyarakat Jawa, misalnya, terutama yang berkembang pada era 1960-an dan dekade sesudahnya, cenderung melihat tipisnya pengaruh Islam, dan kentalnya pengaruh unsur-unsur Animisme, Hinduisme dan Buhisme pra-Islam, yang memang sebelumnya pernah berakar. Penelitian yang dilakukan secara komprehensif dan mendalam terhadap tradisi sosial keagamaan masyarakat Jawa—sebagaimana yang ditunjukkan oleh penelitian Muhaimin AG ini—membuktikan keadaan yang secara diametral terbalik. Analisis cermat atas berbagai ekspresi keagamaan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, yang mencakup sistem kepercayaan, mitologi, kosmologi dan praksis ritualistik yang dikemas dalam jalinan ibadat dan adat menunjukkan bahwa tradisi keagamaan masyarakat Jawa hanya bisa dipahami secara baik dan memuaskan melalui penelusuran jalur tradisi Islam, terutama Islam tradisional, tinimbang jalur lain seperti Hinduisme, Budhisme dan animisme pra-Islam. Hampir semua ekspresi itu memperoleh legitimasi dan pembenaran yang akarnya berujung pada sumber-sumber resmi Islam—al-Quran, hadis dan karya ulama yang menjelaskan makna operasional dari ayat al-Quran dan hadis Nabi. Dengan perkataan lain, bukti-bukti itu menunjukkan bahwa pengaruh Islam terhadap tradisi sosial keagamaan masyarakat Jawa sangat kuat. Pengaruh sisa-sisa pra-Islam memang ada, namun sifatnya sangat periferal, hanya menyentuh permukaan, dan tidak sampai pada titik yang menggoyahkan doktrin. Tradisi inilah yang kemudian dilestarikan dan terus dikembangkan dari generasi ke generasi melalui jaringan transmisi dan transformasi yang juga mapan, terutama oleh pesantren dan organisasi tarekat

Agama Sebagai Sistem Budaya
Pada beberapa antropolog terdapat konsep yang menyatakan bahwa agama adalah bagian dari kebudayaan. Dengan demikian, kebudayaan mencakup di dalamnya agama. Di pihak lain, ada pula yang berpendapat bahwa kebudayaan adalah bagian dari agama. Dengan demikian agama mencakup.di dalamnya kebudayaan.
Pernyataan di atas dapat dimaklumi jika yang dimaksudkan itu adalah pengamalan umat terhadap agamanya, dan bukan agamanya itu sendiri. Sebab apabila agama disebutkan sebagai bagian dari kebudayaan, maka jelas di dalamnya ada campur tangan manusia. Sedangkan agama Islam adalah agama yang berisi ajaran-ajaran Allah yang suci terbebas dari sentuhan tangan manusia.
Agama kalau dikatakan bagian dari kebudayaan bukan ditujukan kepada muatan agama itu sendiri, melainkan corak pengamalan atau ekspresi religius pemeluk agama itu terhadap ajaran agamanya. Atau dalam bahasa yang berbeda, menurut Parsudi Suparlan, pada waktu agama dilihat dan diperlakukan sebagai kebudayaan, maka yang dilihat adalah agama sebagai keyakinan yang ada dan hidup dalam masyarakat manusia dan bukan agama yang terwujud sebagai petunjuk-petunjuk, larangan-larangan, dan perintah-perintah Tuhan yang ada dalam al-Qur'an dan hadis Nabil.  Jika agama Islam yang tertuang dalam teks suci dalam al-Qur'an dan hadis itu bersifat universal, maka keyakinan keagamaan yang hidup dalam masyarakat itu bersifat lokal, yaitu yang sesuai dengan kondisi masyarakat, sejarah, lingkungan hidup dan kebudayaannya.
Konsep kebudayaan dapat digunakan sebagai alat atau kacamata untuk melihat, mengkaji dan memahami agama yang hidup dalam masyarakat. Landasan dasar pemikirannnya adalah bahwa setiap kebudayaan adalah unik atau tidak sama dengan kebudayaan yang lain, bahwa setiap masyarakat mempunyai kebudayaan masing-masing; dan bahwa untuk dapat berpijak di bumi atau hidup dan berkembang serta lestari dalam masyarakat, setiap agama haruslah menjadi pedoman yang diyakini kebenarannya bagi kehidupan suatu warga masyarakat. Jadi, untuk dapat hidup dan berkembang serta lestari dalam masyarakat, suatu agama haruslah menjadi kebudayaan bagi masyarakat tersebut, karena setiap masyarakat mempunyai kebudayaan yang digunakan sebagai pedoman untuk memanfaatkan lingkungan hidupnya guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup yang harus dipenuhi guna kelangsungan hidupnya yang mencakup kebutuhan biologi, kebutuhan sosial, dan kebutuhan adab yang integratif. 
Dengan demikian, apabila agama dilihat dan diperlakukan sebagai kebudayaan, yaitu sebagai nilai-nilai budaya dari masyarakat yang dikaji, agama dilihat dan diperlakukan sebagai pengetahuan dan keyakinan-keyakinan yang dipunyai oleh sebuah masyarakat, yang pengetahuan dan keyakinan tersebut menjadi patokan-patokan sakral yang berlaku di dalam hampir semua kegiatan pemenuhan kebutuhan manusia, sehingga tindakan-tindakan memenuhi kebutuhan manusia itu dapat menjadi beradab, penuh dengan ciri-ciri kemanusiaan yang dibedakan dari pemenuhan kebutuhan-kebutuhan biologi dan sosial hewan.
Pada waktu agama dilihat dan diperlakukan sebagai kebudayaan, maka yang terlihat adalah agama sebagai keyakinan yang ada dan hidup dalam masyarakat manusia, dan bukannya agama yang terwujud sebagai petunjuk-petunjuk dan larangan-larangan serta perintah-perintah Tuhan yang ada dalam al-Quran dan hadis Nabi. Jika agama Islam yang tertuang sebagai teks suci dalam al-Quran dan hadis itu bersifat universal, keyakinan keagamaan yang hidup dalam masyarkat itu bersifat lokal, yaitu lokal sesuai dengan kondisi masyarakat, sejarah, lingkungan hidup, dan kebudayaannya.
Mengapa bisa demikian keadaannya? Untuk dapat menjadi pengetahuan dan keyakinan-keyakinan dari masyarakat yang bersangkutan, maka agama (Islam) harus melakukan berbagai proses perjuangan dalam upaya meniadakan nilai-nilai budaya yang bertentangan dengan keyakinan hakiki dari agama tersebut, di samping harus juga melakukan berbagai penyesuaian nilai-nilai hakiki yang ada dalam keyakinan agama tersebut dengan nilai-nilai budaya dari masyarakat sehingga agama tersebut dapat diterima dan diyakini kebenarannya. Dalam keadaan demikian itulah agama yang diterima oleh sebuah masyarakat menjadi bersifat lokal.
Geertz adalah orang pertama yang mengungkapkan pandangan tentang agama sebagai sebuah sistem budaya. Karya Geertz, "Religion as a Cultural System," dianggap sebagai tulisan klasik tentang agama. Pandangan Geertz, saat itu ketika teori-teori tentang kajian agama mandeg pada teori-teori besar Marx, Weber dan Durkheim yang berkutat pada teori fungsionalisme dan struktural fungsionalisme, memberikan arah baru bagi kajian agama. Geertz mengungkapkan bahwa agama harus dilihat sebagai suatu sistem yang mampu mengubah suatu tatanan masyarakat. Tidak seperti pendahulunya yang menganggap agama sebagai bagian kecil dari sistem budaya, Geertz berkayinan bahwa agama adalah sistem budaya sendiri yang dapat membentuk karakter masyarakat. Walaupun Geertz mengakui bahwa ide yang demikian tidaklah baru, tetapi agaknya sedikit orang yang berusaha untuk membahasnya lebih mendalam. Oleh karena itu Geertz mendefinisikan agama sebagai:
"A system of symbols which acts to establish powerful, pervasive and long-lasting moods and motivations of a general order of existence and clothing these conceptions with such an aura of factuality that the moods and motivations seem uniquely realistic."
Dengan pandangan seperti ini, Geertz dapat dikategorikan ke dalam kelompok kajian semiotic tradition warisan dari Ferdinand de Saussure yang pertama mengungkapkan tentang makna simbol dalam tradisi linguistik. Geertz mengartikan simbol sebagai suatu kendaraan (vehicle) untuk menyampaikan suatu konsepsi tertentu. Jadi bagi Geertz norma atau nilai keagamaan harusnya diinterpretasikan sebagai sebuah simbol yang menyimpan konsepsi tertentu. Simbol keagamaan tersebut mempunyai dua corak yang berbeda; pada satu sisi ia merupakan modes for reality dan di sisi yang lainnya ia merupakan modes of reality. Yang pertama menunjukkan suatu eksistensi agama sebagai suatu sistem yang dapat membentuk masyarakat ke dalam cosmic order tertentu. Sementara itu sisi modes of reality merupakan pengakuan Geertz akan sisi agama yang dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan perilaku manusia.
Geertz menerapkan pandangan-pandangannya untuk meneliti tentang agama dalam satu masyarakat. Karya Geertz yang tertuang dalam The Religion of Java maupun Islam Observed merupakan dua buku yang bercerita bagaimana agama dikaji dalam masyarakat. Buku The Religion of Java memperlihatkan hubungan agama dengan ekonomi dan politik suatu daerah. Juga bagaimana agama menjadi ideologi kelompok yang kemudian menimbulkan konflik maupun integrasi dalam suatu masyarakat. Sementara itu, Islam Observed ingin melihat perwujudan agama dalam masyarakat yang berbeda untuk memperlihatkan kemampuan agama dalam mewujudkan masyarakat maupun sebagai perwujudan dari interaksi dengan budaya lokal.

Penutup
Sekarang ini ada kecenderungan untuk melihat Islam secara menyeluruh dengan menonjolkan ciri-ciri Islam lokal. Agaknya kajian-kajian tentang agama dan budaya dapat kita arahkan dalam berbagai kerangka. Pertama dapat kita terapkan dalam upaya mencari konsep-konsep lokal tentang bagaimana agama dan budaya berinteraksi. Kedua, kajian tersebut dapat dipusatkan untuk memetakan Islam lokal dalam sebuah peta besar Islam universal. Ketiga, local discourse atau local konwledge yang tumbuh dari pergumulan agama dan budaya dapat dijadikan sebagai tambahan wacana baru globalisasi. Kajian tentang local Islam dapat dijadikan sebagai pengkayaan wacana manusia.
Uraian di atas memperlihatkan bahwa sesungguhnya pemahaman agama tidak akan lengkap tanpa memahami realitas manusia yang tercermin dalam budayanya. Posisi penting manusia dalam Islam—seperti digambarkan dalam proses penciptaannya yang ruhnya merupakan tiupan dari ruh Tuhan—memberikan indikasi bahwa manusia menempati posisi penting dalam mengetahui Tuhan. Dengan demikian, pemahaman agama secara keseluruhan tidak akan tercapai tanpa memahami separuh dari agama, yaitu manusia. Barangkali tidak berlebihan untuk menyebut bahwa realitas manusia sesungguhnya adalah realitas ketuhanan yang empiris. Di sinilah letak pentingnya kajian antropologi dalam mengkaji Islam. Sebagai ilmu yang mengkhususkan diri mempelajari manusia—yang merupakan realitas empiris agama—maka antropologi juga merupakan separuh dari ilmu agama itu sendiri.























DAFTAR PUSTAKA
Bambang Pranowo, M., Memahami Islam Jawa, Jakarta: Pustaka Alvabet, 2009
Clifford Geertz, “Abangan Santri Priyayi dalam Masyarakat Jawa”, diterjemahkan oleh Aswab Mahasin dari The Religion of Java, Jakarta: Pustaka Jaya, 1981.
--------------------, “Islam yang Saya Amati: Perkembangan di Maroko dan Indonesia”, diterjemahkan oleh Hasan Basari dari Islam Observed: Religious Development in Marocco and Indonesia, Jakarta: Yayasan Ilmu-ilmu sosial, 1982.
David N. Gelner, “Pendekatan Antropologis”, dalam Peter Connolly, ed., “Aneka Pendekatan Studi Agama”, diterjemahkan oleh Imam Khoiri dari Approaches to the Study of Religion, Yogyakarta: LKiS, 2009.
Didin Saefuddin Bukhori, Metodologi Studi Islam, Bogor: Granada, 2005.
Emile Durkheim, “Sejarah Agama”, diterjemahkan oleh Inyiak Ridwan Munir dari The Elementary Forms of the Religious Life, Yogyakarta: IRCiSoD, 2003.
Jalaluddin Rakhmat, Madrasah Ruhaniah, Bandung: Muthahhari Press, 2004.
Jamhari Ma’ruf, Pendekatan Antropologi dalam Kajian Islam, http://www.ditpertais.net, diakses pada30 September 2010.
Mark R. Woodward, “Islam Jawa: Kesalehan Normaatif versus Kebatinan”, diterjemahkan oleh Hairus Salim HS dari Islam in Java: Normative Piety and Misticism, Yogyakarta: LKiS, 1999.
Muhaimin AG, Islam dalam Bingkai Budaya Lokal: Potret dari Cirebon, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001.
Parsudi Suparlan, The Javanese in Surinam: Ethnicity in an Ethnically Plural Society Tempe, Arizona: Arizona State University, 1995.
--------------------, “Kata Pengantar”, dalam Roland Robertson, Ed., Agama dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995.
--------------------, “Penelitian Agama Islam: Tinjauan Disiplin Antropologi”, dalam Mastuhu dan M. Deden Ridwan, ed., Tradisi Baru Penelitian Agama Islam: Tinjauan Antar-Disiplin Ilmu Agama, Bandung: Nuansa, 1998.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar