Translate

Jumat, Oktober 25, 2013

PENDEKATAN ANTROPOLOGI DALAM KAJIAN ISLAM
Oleh Muhamad Taufik Hidayat


Pendahuluan
Agama, secara mendasar dan umum, dapat didefinisikan sebagai seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia gaib, khususnya dengan Tuhannya, mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan mengatur manusia dengan lingkungannya. Dalam definisi tersebut, agama dilihat sebagai sebuah doktrin yang terwujud sebagai teks suci. Adapun hubungan agama dengan manusia yang meyakininya, dan khususnya kegiatan-kegiatan manusia yang menjadi penganut agama tersebut, tidak tercakup dalam definisi tersebut.  
Secara lebih khusus, Parsudi Suparlan mengemukakan bahwa agama merupakan suatu sistem keyakinan dan tindakan-tindakan yang diwujudkan oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam menginterpretasi dan memberi respons terhadap apa yang dirasakan dan diyakini sebagai yang gaib dan suci. Sebagai suatu sistem keyakinan, agama berbeda dari sistem-sistem keyakinan atau isme-isme lainnya karena landasan keyakinan keagamaan adalah pada konsep suci (sacred), yang dibedakan dari—atau dipertentangkan dengan—yang duniawi (profane), dan pada yang gaib atau supranatural yang menjadi lawan dari hukum-hukum alamiah. 
Islam, di Indonesia dan di manapun, adalah agama yang bersumber pada al-Quran. Pada gilirannya, Islam membangun tradisi baru yang berintikan jalinan tiga sendi, yaitu iman (percaya), Islam (berserah diri), dan ihsan (berbuat baik). Dari sini berkembang seperangkat sistem kepercayaan, ritual dan etik bavioral yang kompleks namun penerapannya bisa lentur, sehingga dalam batas-batas tertentu, ada ruang yang cukup bagi terjadinya proses adopsi, adaptasi dan akomodasi dengan budaya lokal. Dengan demikian, walau inti ajaran Islam itu sama, namun artikulasinya berbeda sesuai dengan konteks lokal dan sosial di mana pemeluknya tinggal dan berada.
Antropologi, sebagai sebuah ilmu yang mempelajari manusia, menjadi sangat penting untuk memahami agama. Antropologi mempelajari tentang manusia dan segala perilaku mereka untuk dapat memahami perbedaan kebudayaan manusia. Dibekali dengan pendekatan yang holistik dan komitmen antropologi akan pemahaman tentang manusia, maka sesungguhnya antropologi merupakan ilmu yang penting untuk mempelajari agama dan interaksi sosialnya dengan berbagai budaya.
Antropologi yang melihat langsung secara detil hubungan antara agama dan masarakat dalam tataran grassroot memberikan informasi yang sebenarnya, yang terjadi dalam masyarakat. Melihat agama dalam masyarakat, bagi antropologi adalah melihat bagaimana agama dipraktikkan, diinterpretasi, dan diyakini oleh penganutnya. Jadi pembahasan tentang bagaimana hubungan agama dan budaya sangat penting untuk melihat agama yang dipraktikkan.
Pendekatan antropologi dalam kajian agama berangkat dari proposisi bahwa agama tidak berdiri sendiri; ia selalu berhubungan erat dengan pemeluknya. Setiap pemeluk agama memiliki sistem budaya dan kultur masing-masing. Atau, menurut David N. Gelner, agama tidak bisa dilihat sebagai sistem yang otonom yang tidak terpengaruh oleh praktik-praktik sosial lainnya.

Antropologi dan Kajian Islam
Fenomena agama adalah fenomena universal manusia. Selama ini, belum ada laporan penelitian dan kajian yang menyatakan bahwa ada sebuah masyarakat yang tidak mempunyai konsep tentang agama.  Walaupun peristiwa perubahan sosial telah mengubah orientasi dan makna agama, hal itu tidak berhasil meniadakan eksistensi agama dalam masyarakat, sehingga kajian tentang agama selalu akan terus berkembang dan menjadi kajian yang penting. Karena sifat universalitas agama dalam masyarakat, maka kajian tentang masyarakat tidak akan lengkap tanpa melihat agama sebagai salah satu faktornya.
Pernyataan bahwa agama adalah suatu fenomena abadi juga memberikan gambaran bahwa keberadaan agama tidak lepas dari pengaruh realitas di sekelilingnya. Seringkali praktik-praktik keagamaan pada suatu masyarakat dikembangkan dari doktrin ajaran agama, dan kemudian disesuaikan dengan lingkungan budaya. Pertemuan antara doktrin agama dan realitas budaya terlihat sangat jelas dalam praktik ritual agama. Dalam Islam, misalnya saja perayaan Idul Fitri di Indonesia yang dirayakan dengan tradisi sungkeman—bersilaturahmi kepada yang lebih tua—adalah sebuah bukti dari keterpautan antara nilai agama dan kebudayaan.  Pertautan antara agama dan realitas budaya dimungkinkan terjadi karena agama tidak berada dalam realitas yang vakum—selalu original. Mengingkari keterpautan agama dengan realitas budaya berarti mengingkari realitas agama sendiri yang selalu berhubungan dengan manusia, yang pasti dilingkari oleh budayanya.
Kenyataan yang demikian itu juga memberikan arti bahwa perkembangan agama dalam sebuah masyarakat—dalam wacana dan praktis sosialnya—menunjukkan adanya unsur konstruksi manusia. Walaupun tentu saja pernyataan ini tidak berarti bahwa agama semata-mata merupakan ciptaan manusia, melainkan hubungan yang tidak bisa dielakkan antara konstruksi Tuhan—seperti yang tercermin dalam kitab-kitab suci—dan konstruksi manusia—terjemahan dan interpretasi dari nilai-nilai suci agama yang direpresentasikan pada praktik ritual keagamaan. Pada saat manusia melakukan interpretasi terhadap ajaran agama, maka mereka dipengaruhi oleh lingkungan budaya—primordial—yang telah melekat di dalam dirinya. Hal ini dapat menjelaskan mengapa interpretasi terhadap ajaran agama berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya. Kajian komparatif Islam di Indonesia dan Maroko yang dilakukan oleh Clifford Geertz, misalnya, membuktikan adanya pengaruh budaya dalam memahami Islam. Di Indonesia Islam menjelma menjadi suatu agama yang sinkretik, sementara di Maroko Islam mempunyai sifat yang agresif dan penuh gairah. Perbedaan manifestasi agama itu menunjukkan betapa realitas agama sangat dipengaruhi oleh lingkungan budaya.
Perdebatan dan perselisihan dalam masyarakat Islam sesungguhnya adalah perbedaan dalam masalah interpretasi, dan merupakan gambaran dari pencarian bentuk pengamalan agama yang sesuai dengan konteks budaya dan sosial. Posisi penting manusia dalam Islam juga mengindikasikan bahwa sesungguhnya persoalan utama dalam memahami agama Islam adalah bagaimana memahami manusia. Persoalan-persoalan yang dialami manusia adalah sesungguhnya persoalan agama yang sebenarnya. Pergumulan dalam kehidupan kemanusiaan pada dasarnya adalah pergumulan keagamaannya.
Dengan demikian, memahami Islam yang telah berproses dalam sejarah dan budaya tidak akan lengkap tanpa memahami manusia, karena realitas keagamaan sesungguhnya adalah realitas kemanusiaan yang mengejawantah dalam dunia nyata. Lebih dari itu, makna hakiki dari keberagamaan adalah terletak pada interpretasi dan pengamalan agama. Oleh karena itu, antropologi sangat diperlukan untuk memahami Islam, sebagai alat untuk memahami realitas kemanusiaan dan memahami Islam yang telah dipraktikkan, yang menjadi gambaran sesungguhnya dari keberagamaan manusia.
Menurut Jamhari, persoalan kajian antropologi bagi kajian Islam dapat dilihat relevansinya dengan melihat kenyatan bahwa penjelasan antropologi sangat berguna untuk membantu mempelajari agama secara empirik. Artinya, kajian agama harus diarahkan pada pemahaman aspek-aspek social context yang melingkupi agama. Kajian agama secara empiris dapat diarahkan ke dalam dua aspek, yaitu manusia dan budaya. Pada dasarnya, agama diciptakan untuk membantu manusia agar dapat memenuhi keinginan-keinginan kemanusiaannya, dan sekaligus mengarahkan kepada kehidupan yang lebih baik. Hal ini jelas menunjukkan bahwa persoalan agama yang harus diamati secara empiris adalah tentang manusia. Tanpa memahami manusia maka pemahaman tentang agama tidak akan menjadi sempurna.
Sebagai akibat dari pentingnya kajian manusia, maka mengkaji budaya dan masyarakat yang melingkupi kehidupan manusia juga menjadi sangat penting. Kebudayaan, sebagai system of meaning yang memberikan arti bagi kehidupan dan perilaku manusia, adalah aspek esensial manusia yang tidak dapat dipisahkan dalam memahami manusia. Mengutip Max Weber, Jamhari Ma’ruf mengemukakan bahwa manusia adalah makhluk yang terjebak dalam jaring-jaring (web) kepentingan yang mereka buat sendiri, dan budaya adalah jaring-jaring itu. Geertz kemudian mengelaborasi pengertian kebudayaan sebagai pola makna (pattern of meaning) yang diwariskan secara historis dan tersimpan dalam simbol-simbol, yang dengan itu manusia kemudian berkomunikasi, berperilaku dan memandang kehidupan.  Oleh karena itu, analisis tentang kebudayaan dan manusia dalam tradisi antropologi tidaklah berupaya menemukan hukum-hukum seperti di ilmu-ilmu alam, melainkan kajian interpretatif untuk mencari makna (meaning).
Dipandang dari makna kebudayaan yang demikian, maka agama, sebagai sebuah sistem makna yang tersimpan dalam simbol-simbol suci sesungguhnya adalah pola makna yang diwarisi manusia sebagai ethos dan juga worldview-nya. Bagi Geertz agama telah memberikan karakter yang khusus bagi manusia yang kemudian mempengaruhi tingkah laku kesehariannya. Di samping itu, agama memberikan gambaran tentang realitas yang hendak dicapai oleh manusia. Berdasar pada pengertian ini, agama sebagai ethos telah membentuk karakter yang khusus bagi manusia, yang kemudian bisa memenuhi gambaran realitas kehidupan (worldview) yang hendak dicapai oleh manusia.
Kajian antropologi juga memberikan fasilitas bagi kajian Islam untuk lebih melihat keragamaan pengaruh budaya dalam praktik Islam. Pemahaman realitas nyata dalam sebuah masyarakat akan menemukan suatu kajian agama yang lebih empiris. Kajian agama dengan cross-culture akan memberikan gambaran yang variatif tentang hubungan agama dan budaya. Dengan pemahaman yang luas akan budaya-budaya yang ada, memungkinkan kita untuk melakukan dialog, dan barangkali tidak mustahil memunculkan satu gagasan moral dunia.
Di Indonesia, usaha para antropolog untuk memahami hubungan agama dan budaya masyarakat telah banyak dilakukan. Para ahli antropologi, yang perhatian utamanya adalah kebudayaan dan masyarakat, telah mencoba untuk melihat dan m engkaji agama sesuai dengan perspektif antropologi. Kajian-kajian tersebut dilakukan dalam upaya memahami makna dan hakikat agama di dalam dan bagi kehidupan manusia. Di antara tulisan-tulisan yang telah dihasilkan dari kajian-kajian empirik, antara lain karya Clifford Geertz (1963, 1971),  Parsudi Suparlan (1995),  Mark R. Woodward (1989),  M. Bambang Pranowo,  dan Muhaimin AG.  Pendekatan yang digunakan oleh para ahli antropologi disebut dalam pengkajian agama adalah pendekatan kebudayaan; yang dilakukannya secara eksplisit atau pun secara implisit, yaitu, melihat agama sebagai kebudayaan dan melihat agama sebagai bagian yang tidak terpisahkan dan bahkan menjadi inti kebudayaan yang terwujud dan mengejawantah sebagai nilai budaya dari kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. 
Kajian Geertz mengenai agama abangan, santri, dan priyayi adalah kajian mengenai variasi keyakinan-keyakinan Islam dalam kehidupan masyarakat Jawa sesuai dengan konteks lingkungan hidup dan kebudayaan masing-masing, bukannya kajian mengenai teologi Islam. Karya Clifford Geertz, The Religion of Java, yang ditulis pada awal 1960-an menjadi karya yang populer sekaligus penting bagi diskusi tentang agama di Indonesia, khususnya di Jawa. Pandangan Geertz yang mengungkapkan tentang adanya trikotomi—abangan, santri dan priyayi—di dalam masyarakat Jawa, ternyata telah mempengaruhi banyak orang dalam melakukan analisis, baik tentang hubungan antara agama dan budaya, ataupun hubungan antara agama dan politik. Dalam diskursus interaksi antara agama—khususnya Islam—dan budaya di Jawa, pandangan Geertz telah mengilhami banyak orang untuk melihat lebih mendalam tentang interrelasi antara keduanya. Keterpengaruhan itu bisa dilihat dari beberapa pandangan yang mencoba menerapkan kerangka berfikir Geertz ataupun mereka yang ingin melakukan kritik terhadap wacana Geertz. Pandangan trikotomi Geertz tentang pengelompokan masyarakat Jawa berdasar religio-kulturalnya berpengaruh terhadap cara pandang para ahli dalam melihat hubungan agama dan politik. Penjelasan Geertz tentang adanya pengelompokkan masyarakat Jawa ke dalam kelompok sosial politik didasarkan pada orientasi ideologi keagamaan. Walaupun Geertz mengkelompokkan masyarakat Jawa ke dalam tiga kelompok, ketika dihadapkan pada realitas politik, yang jelas-jelas menunjukkan oposisinya adalah kelompok abangan dan santri. Pernyataan Geertz bahwa abangan adalah kelompok masyarakat yang berbasis pertanian, santri yang berbasis pada perdagangan, dan priyayi yang dominan di dalam birokrasi, ternyata mempunyai afiliasi politik yang berbeda. Kaum abangan lebih dekat dengan partai politik dengan isu-isu kerakyatan, priyayi dengan partai nasionalis, dan kaum santri memilih partai-partai yang memberikan perhatian besar terhadap masalah keagamaan
Karya M. Bambang Pranowo, Memahami Islam Jawa, pada awalnya merupakan disertasi untuk meraih gelar doktor pada Departemen of Anthropology and Sociology, Monash University. Poin utama buku ini menjelaskan watak sosial keagamaan Muslim Jawa seperti yang dijalani dan berkembang di wilayah Tegaroso, Jawa Tengah. Dalam usahanya memahami dinamika religusitas penduduk desa sebagai Muslim, hasil penelitian M. Bambang Pranowo ini menawarkan pendekatan alternatif bagi pendekatan dominan yang selama ini dipakai untuk melihat kehidupan keagamaan masyarakat pedesaan di Jawa. Secara keseluruhan, buku ini mencerminkan sikap skeptis terhadap ketepatan dikotomi abangan-santri yang diusung oleh Clifford Geertz, penulis Barat yang paling mumpuni tentang Indonesia tahun 1950-an, yang pemikiran-pemikirannya masih dipakai oleh para ahli tentang Indonesia (Indonesianis), bahkan hingga saat ini. Dengan berpegang pada penelitian lapangan, buku ini mendeskripsikan, membahas, membandingkan dan menganalisis aspek-aspek kehidupan sosial keagamaan pedesaan yang sama sekali tidak bisa dipahami dengan baik melalui dikotomi santri-abangan. Jika selama ini sudah umum dipahami bahwa dari segi agama, orang Jawa dapat dibagi menjadi dua kelompok, yakni santri—Muslim Jawa yang saleh—dan abangan—Muslim nominal, maka buku ini menyodorkan bukti-bukti etnografis yang menunjukkan ketidaktepatan pandangan semacam itu
Sedangkan Muhaimin, berdasarkan hasil penelitiannya menyatakan bahwa Islam telah diterima oleh sejumlah besar penduduk dunia, termasuk Indonesia. Namun, sesudah diadopsi dan diakomodasi, wajah Islam yang tampil dalam bingkai budaya lokal sering tidak dikenali, bahkan disalahpami oleh banyak orang, terutama pengamat dari luar. Oleh karena itu, bisa dipahami, jika pemahaman yang mendominasi wacana sosial keagamaan masyarakat Jawa, misalnya, terutama yang berkembang pada era 1960-an dan dekade sesudahnya, cenderung melihat tipisnya pengaruh Islam, dan kentalnya pengaruh unsur-unsur Animisme, Hinduisme dan Buhisme pra-Islam, yang memang sebelumnya pernah berakar. Penelitian yang dilakukan secara komprehensif dan mendalam terhadap tradisi sosial keagamaan masyarakat Jawa—sebagaimana yang ditunjukkan oleh penelitian Muhaimin AG ini—membuktikan keadaan yang secara diametral terbalik. Analisis cermat atas berbagai ekspresi keagamaan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, yang mencakup sistem kepercayaan, mitologi, kosmologi dan praksis ritualistik yang dikemas dalam jalinan ibadat dan adat menunjukkan bahwa tradisi keagamaan masyarakat Jawa hanya bisa dipahami secara baik dan memuaskan melalui penelusuran jalur tradisi Islam, terutama Islam tradisional, tinimbang jalur lain seperti Hinduisme, Budhisme dan animisme pra-Islam. Hampir semua ekspresi itu memperoleh legitimasi dan pembenaran yang akarnya berujung pada sumber-sumber resmi Islam—al-Quran, hadis dan karya ulama yang menjelaskan makna operasional dari ayat al-Quran dan hadis Nabi. Dengan perkataan lain, bukti-bukti itu menunjukkan bahwa pengaruh Islam terhadap tradisi sosial keagamaan masyarakat Jawa sangat kuat. Pengaruh sisa-sisa pra-Islam memang ada, namun sifatnya sangat periferal, hanya menyentuh permukaan, dan tidak sampai pada titik yang menggoyahkan doktrin. Tradisi inilah yang kemudian dilestarikan dan terus dikembangkan dari generasi ke generasi melalui jaringan transmisi dan transformasi yang juga mapan, terutama oleh pesantren dan organisasi tarekat

Agama Sebagai Sistem Budaya
Pada beberapa antropolog terdapat konsep yang menyatakan bahwa agama adalah bagian dari kebudayaan. Dengan demikian, kebudayaan mencakup di dalamnya agama. Di pihak lain, ada pula yang berpendapat bahwa kebudayaan adalah bagian dari agama. Dengan demikian agama mencakup.di dalamnya kebudayaan.
Pernyataan di atas dapat dimaklumi jika yang dimaksudkan itu adalah pengamalan umat terhadap agamanya, dan bukan agamanya itu sendiri. Sebab apabila agama disebutkan sebagai bagian dari kebudayaan, maka jelas di dalamnya ada campur tangan manusia. Sedangkan agama Islam adalah agama yang berisi ajaran-ajaran Allah yang suci terbebas dari sentuhan tangan manusia.
Agama kalau dikatakan bagian dari kebudayaan bukan ditujukan kepada muatan agama itu sendiri, melainkan corak pengamalan atau ekspresi religius pemeluk agama itu terhadap ajaran agamanya. Atau dalam bahasa yang berbeda, menurut Parsudi Suparlan, pada waktu agama dilihat dan diperlakukan sebagai kebudayaan, maka yang dilihat adalah agama sebagai keyakinan yang ada dan hidup dalam masyarakat manusia dan bukan agama yang terwujud sebagai petunjuk-petunjuk, larangan-larangan, dan perintah-perintah Tuhan yang ada dalam al-Qur'an dan hadis Nabil.  Jika agama Islam yang tertuang dalam teks suci dalam al-Qur'an dan hadis itu bersifat universal, maka keyakinan keagamaan yang hidup dalam masyarakat itu bersifat lokal, yaitu yang sesuai dengan kondisi masyarakat, sejarah, lingkungan hidup dan kebudayaannya.
Konsep kebudayaan dapat digunakan sebagai alat atau kacamata untuk melihat, mengkaji dan memahami agama yang hidup dalam masyarakat. Landasan dasar pemikirannnya adalah bahwa setiap kebudayaan adalah unik atau tidak sama dengan kebudayaan yang lain, bahwa setiap masyarakat mempunyai kebudayaan masing-masing; dan bahwa untuk dapat berpijak di bumi atau hidup dan berkembang serta lestari dalam masyarakat, setiap agama haruslah menjadi pedoman yang diyakini kebenarannya bagi kehidupan suatu warga masyarakat. Jadi, untuk dapat hidup dan berkembang serta lestari dalam masyarakat, suatu agama haruslah menjadi kebudayaan bagi masyarakat tersebut, karena setiap masyarakat mempunyai kebudayaan yang digunakan sebagai pedoman untuk memanfaatkan lingkungan hidupnya guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup yang harus dipenuhi guna kelangsungan hidupnya yang mencakup kebutuhan biologi, kebutuhan sosial, dan kebutuhan adab yang integratif. 
Dengan demikian, apabila agama dilihat dan diperlakukan sebagai kebudayaan, yaitu sebagai nilai-nilai budaya dari masyarakat yang dikaji, agama dilihat dan diperlakukan sebagai pengetahuan dan keyakinan-keyakinan yang dipunyai oleh sebuah masyarakat, yang pengetahuan dan keyakinan tersebut menjadi patokan-patokan sakral yang berlaku di dalam hampir semua kegiatan pemenuhan kebutuhan manusia, sehingga tindakan-tindakan memenuhi kebutuhan manusia itu dapat menjadi beradab, penuh dengan ciri-ciri kemanusiaan yang dibedakan dari pemenuhan kebutuhan-kebutuhan biologi dan sosial hewan.
Pada waktu agama dilihat dan diperlakukan sebagai kebudayaan, maka yang terlihat adalah agama sebagai keyakinan yang ada dan hidup dalam masyarakat manusia, dan bukannya agama yang terwujud sebagai petunjuk-petunjuk dan larangan-larangan serta perintah-perintah Tuhan yang ada dalam al-Quran dan hadis Nabi. Jika agama Islam yang tertuang sebagai teks suci dalam al-Quran dan hadis itu bersifat universal, keyakinan keagamaan yang hidup dalam masyarkat itu bersifat lokal, yaitu lokal sesuai dengan kondisi masyarakat, sejarah, lingkungan hidup, dan kebudayaannya.
Mengapa bisa demikian keadaannya? Untuk dapat menjadi pengetahuan dan keyakinan-keyakinan dari masyarakat yang bersangkutan, maka agama (Islam) harus melakukan berbagai proses perjuangan dalam upaya meniadakan nilai-nilai budaya yang bertentangan dengan keyakinan hakiki dari agama tersebut, di samping harus juga melakukan berbagai penyesuaian nilai-nilai hakiki yang ada dalam keyakinan agama tersebut dengan nilai-nilai budaya dari masyarakat sehingga agama tersebut dapat diterima dan diyakini kebenarannya. Dalam keadaan demikian itulah agama yang diterima oleh sebuah masyarakat menjadi bersifat lokal.
Geertz adalah orang pertama yang mengungkapkan pandangan tentang agama sebagai sebuah sistem budaya. Karya Geertz, "Religion as a Cultural System," dianggap sebagai tulisan klasik tentang agama. Pandangan Geertz, saat itu ketika teori-teori tentang kajian agama mandeg pada teori-teori besar Marx, Weber dan Durkheim yang berkutat pada teori fungsionalisme dan struktural fungsionalisme, memberikan arah baru bagi kajian agama. Geertz mengungkapkan bahwa agama harus dilihat sebagai suatu sistem yang mampu mengubah suatu tatanan masyarakat. Tidak seperti pendahulunya yang menganggap agama sebagai bagian kecil dari sistem budaya, Geertz berkayinan bahwa agama adalah sistem budaya sendiri yang dapat membentuk karakter masyarakat. Walaupun Geertz mengakui bahwa ide yang demikian tidaklah baru, tetapi agaknya sedikit orang yang berusaha untuk membahasnya lebih mendalam. Oleh karena itu Geertz mendefinisikan agama sebagai:
"A system of symbols which acts to establish powerful, pervasive and long-lasting moods and motivations of a general order of existence and clothing these conceptions with such an aura of factuality that the moods and motivations seem uniquely realistic."
Dengan pandangan seperti ini, Geertz dapat dikategorikan ke dalam kelompok kajian semiotic tradition warisan dari Ferdinand de Saussure yang pertama mengungkapkan tentang makna simbol dalam tradisi linguistik. Geertz mengartikan simbol sebagai suatu kendaraan (vehicle) untuk menyampaikan suatu konsepsi tertentu. Jadi bagi Geertz norma atau nilai keagamaan harusnya diinterpretasikan sebagai sebuah simbol yang menyimpan konsepsi tertentu. Simbol keagamaan tersebut mempunyai dua corak yang berbeda; pada satu sisi ia merupakan modes for reality dan di sisi yang lainnya ia merupakan modes of reality. Yang pertama menunjukkan suatu eksistensi agama sebagai suatu sistem yang dapat membentuk masyarakat ke dalam cosmic order tertentu. Sementara itu sisi modes of reality merupakan pengakuan Geertz akan sisi agama yang dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan perilaku manusia.
Geertz menerapkan pandangan-pandangannya untuk meneliti tentang agama dalam satu masyarakat. Karya Geertz yang tertuang dalam The Religion of Java maupun Islam Observed merupakan dua buku yang bercerita bagaimana agama dikaji dalam masyarakat. Buku The Religion of Java memperlihatkan hubungan agama dengan ekonomi dan politik suatu daerah. Juga bagaimana agama menjadi ideologi kelompok yang kemudian menimbulkan konflik maupun integrasi dalam suatu masyarakat. Sementara itu, Islam Observed ingin melihat perwujudan agama dalam masyarakat yang berbeda untuk memperlihatkan kemampuan agama dalam mewujudkan masyarakat maupun sebagai perwujudan dari interaksi dengan budaya lokal.

Penutup
Sekarang ini ada kecenderungan untuk melihat Islam secara menyeluruh dengan menonjolkan ciri-ciri Islam lokal. Agaknya kajian-kajian tentang agama dan budaya dapat kita arahkan dalam berbagai kerangka. Pertama dapat kita terapkan dalam upaya mencari konsep-konsep lokal tentang bagaimana agama dan budaya berinteraksi. Kedua, kajian tersebut dapat dipusatkan untuk memetakan Islam lokal dalam sebuah peta besar Islam universal. Ketiga, local discourse atau local konwledge yang tumbuh dari pergumulan agama dan budaya dapat dijadikan sebagai tambahan wacana baru globalisasi. Kajian tentang local Islam dapat dijadikan sebagai pengkayaan wacana manusia.
Uraian di atas memperlihatkan bahwa sesungguhnya pemahaman agama tidak akan lengkap tanpa memahami realitas manusia yang tercermin dalam budayanya. Posisi penting manusia dalam Islam—seperti digambarkan dalam proses penciptaannya yang ruhnya merupakan tiupan dari ruh Tuhan—memberikan indikasi bahwa manusia menempati posisi penting dalam mengetahui Tuhan. Dengan demikian, pemahaman agama secara keseluruhan tidak akan tercapai tanpa memahami separuh dari agama, yaitu manusia. Barangkali tidak berlebihan untuk menyebut bahwa realitas manusia sesungguhnya adalah realitas ketuhanan yang empiris. Di sinilah letak pentingnya kajian antropologi dalam mengkaji Islam. Sebagai ilmu yang mengkhususkan diri mempelajari manusia—yang merupakan realitas empiris agama—maka antropologi juga merupakan separuh dari ilmu agama itu sendiri.























DAFTAR PUSTAKA
Bambang Pranowo, M., Memahami Islam Jawa, Jakarta: Pustaka Alvabet, 2009
Clifford Geertz, “Abangan Santri Priyayi dalam Masyarakat Jawa”, diterjemahkan oleh Aswab Mahasin dari The Religion of Java, Jakarta: Pustaka Jaya, 1981.
--------------------, “Islam yang Saya Amati: Perkembangan di Maroko dan Indonesia”, diterjemahkan oleh Hasan Basari dari Islam Observed: Religious Development in Marocco and Indonesia, Jakarta: Yayasan Ilmu-ilmu sosial, 1982.
David N. Gelner, “Pendekatan Antropologis”, dalam Peter Connolly, ed., “Aneka Pendekatan Studi Agama”, diterjemahkan oleh Imam Khoiri dari Approaches to the Study of Religion, Yogyakarta: LKiS, 2009.
Didin Saefuddin Bukhori, Metodologi Studi Islam, Bogor: Granada, 2005.
Emile Durkheim, “Sejarah Agama”, diterjemahkan oleh Inyiak Ridwan Munir dari The Elementary Forms of the Religious Life, Yogyakarta: IRCiSoD, 2003.
Jalaluddin Rakhmat, Madrasah Ruhaniah, Bandung: Muthahhari Press, 2004.
Jamhari Ma’ruf, Pendekatan Antropologi dalam Kajian Islam, http://www.ditpertais.net, diakses pada30 September 2010.
Mark R. Woodward, “Islam Jawa: Kesalehan Normaatif versus Kebatinan”, diterjemahkan oleh Hairus Salim HS dari Islam in Java: Normative Piety and Misticism, Yogyakarta: LKiS, 1999.
Muhaimin AG, Islam dalam Bingkai Budaya Lokal: Potret dari Cirebon, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001.
Parsudi Suparlan, The Javanese in Surinam: Ethnicity in an Ethnically Plural Society Tempe, Arizona: Arizona State University, 1995.
--------------------, “Kata Pengantar”, dalam Roland Robertson, Ed., Agama dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995.
--------------------, “Penelitian Agama Islam: Tinjauan Disiplin Antropologi”, dalam Mastuhu dan M. Deden Ridwan, ed., Tradisi Baru Penelitian Agama Islam: Tinjauan Antar-Disiplin Ilmu Agama, Bandung: Nuansa, 1998.

Selasa, Juni 09, 2009

PENDIDIKAN ISLAM DAN MASYARAKAT MADANI:
Bercermin pada Masa Klasik Islam

Oleh Muhamad Taufik Hidayat

Istilah masyarakat madani, sebenarya hanyalah salah satu dari beberapa istilah lain yang sering digunakan untuk menerjemahkan civil society ke dalam bahasa Indonesia. Istilah civil society sebelumnya sulit dicari terjemahannya, sehingga kerapkali disebut dalam bahasa aslinya. Di samping masyarakat madani, istilah lain yang sering dipakai adalah masyarakat sipil, masyarakat warga atau masyarakat kewargaan, masyarakat beradab atau masyarakat berbudaya, masyarakat kota, dan masyarakat utama.[1]
Dalam perkembangkan berikutnya muncul pendapat bahwa civil society dan masyarakat madani itu berbeda. Civil society mengambil setting budaya Barat, sedang-kan masyarakat madani mengambil khazanah peradaban Islam masa lalu. Di kalangan umat Islam Indonesia, istilah civil society banyak digunakan oleh kalangan Muslim tradisional, sedangkan masyarakat madani digunakan oleh kalangan modernis.[2] Akan tetapi, dalam makalah ini penulis menganggap bahwa civil society dan masyarakat madani itu sama. Artinya masyarakat madani adalah padanan dari civil society.

A. Masyarakat Madani: Tinjauan Teoretis
1. Civil Society
Masyarakat madani (civil society) sebenarnya telah beredar dalam pembicaraan tentang filsafat sosial pada abad ke-18 M di Eropa Barat dan masih berlanjut hingga akhir abad ke-19 M. Dalam jangka waktu yang cukup lama, istilah itu seolah-olah hilang dari peredaran, hingga pada tahun 1990-an muncul dan diperdebatkan lagi di Eropa Barat.[3]
Dalam sejarahnya yang berakar kuat dalam perjalanan sosial dan intelektual Eropa Barat, konsep civil society pada intinya adalah penolakan terhadap segala jenis otoritarianisme dan totalitarianisme. Wujud civil society dapat ditemukan dalam episode-episode tertentu dalam sejarah Eropa. Misalnya, pada masa kerajaan Romawi, ketika kekuasaan dipegang oleh beberapa tangan, yakni raja, bangsawan dan penduduk kota. Ketiganya memiliki kekuatan relatif, yang sanggup menangkal terjadinya hegemoni atau dominasi antara satu kekuatan terhadap kekuatan yang lain. Masing-masing pihak memiliki kekuatan tawar-menawar (bargaining power), sehingga mekanisme kontrol kekuasan berjalan baik.[4]
Setelah Revolusi Industri di Inggris, civil society juga muncul kembali. Kekuasaan tidak lagi tersentralisasi di tangan raja, melainkan turut dipegang pula oleh para bangsawan dan kaum borjuis. Meskipun kerajaan memiliki kekuatan menjalankan kekuasaan, namun bangsawan dan kaum borjuis tidak merasa terhegemoni, karena keduanya memiliki ruang untuk mengontrol pemerintah. Fase lain yang juga melahirkan civil society adalah ketika hak-hak asasi manusia dideklarasikan, atau setelah berlangsungnya Revolusi Perancis. Rangkaian sejarah ini telah memantapkan praktik civil society sampai akhirnya terkristalisasi menjadi tradisi. Saat ini, negara-negara di Eropa Barat dan Amerika Utara dipandang telah berhasil menuntaskan persoalan hubungan antara negara dan individu, sehingga civil society tidak lagi sekadar menjadi wacana, tetapi praktik sosial yang dinamik.[5]
Di kalangan intelektual Indonesia, konsep civil society dipahami dari perspektif yang berbeda-beda. Ada kalangan yang menggunakan pendekatan Hegelian, sehingga menekankan pentingnya kelas menengah dan upaya pemberdayaannya. Ada yang menggunakan pendekatan Gramscian, yang menjadikan civil society sebagai alat untuk menghadapi hegemoni ideologi negara, dan ada juga yang menerapkan pemahaman Tocquevillian, yang menekankan penguatan organisasi independen dalam masyarakat untuk membangun jiwa demokrasi.[6] Meskipun demikian, ada beberapa pengertian yang disetujui bersama, seperti sifatnya yang otonom terhadap negara, dan mampu memainkan perannya secara cukup independen, bercirikan kehadiran organisasi dan kelompok swadaya masyarakat dan gerakan-gerakan dalam masyarakat yang otonom dari negara.[7]

2. Masyarakat Warga
Oleh sejumlah kalangan, istilah civil society juga sering diterjemahkan sebagai masyarakat warga atau masyarakat kewargaan. Istilah ini, dalam catatan Adi Suryadi Culla secara gamblang mulai diperkenalkan oleh AIPI (Asosiasi Ilmu Politik Indonesia) melalui seminar nasional yang diselenggarakan di Kupang, Nusa Tenggara Timur, pada 24-28 Januari 1995 dengan tema “Dimensi Kepemimpinan dan Masyarakat Kewargaan menuju Abad XXI”.[8] Forum inilah yang melegitimasi penggunaan istilah “masyarakat kewargaan” untuk civil society. Banyak tokoh-tokoh ilmu-ilmu sosial, seperti Riswanda Imawan dari UGM, Syamsuddin Haris dari LIPI, dan Ryaas Rasyid dari Departemen Dalam Negeri, yang berbicara dalam kerangka masyarakat kewargaan.[9] Dalam pandangan Adi Suryadi Culla, sebenarnya ada masalah jika civil society diterjemahkan sebagai masyarakat warga dalam kaitannya dengan arti civil itu sendiri, karena jika ditarik pemahaman lebih jauh pada rujukan kata civility yang berarti beradab, maka “warga” sudah tentu tidak identik dengan beradab.[10]
Namun demikian, Daniel Dhakidae memberikan penegasan bahwa ketika berbicara tentang civil society, orang harus kembali pada nama aslinya, yaitu civis yang berarti "warga", dan societas yang berati "masyarakat atau komunitas". Civil Society konotasinya adalah satu masyarakat yang beradab, karena kata itu sendiri artinya “warga” yang dipakai dalam kerajaan Romawi, yang tentu saja seluruh pengertiannya mengambil konotasi Roma di puncak kekuasaan. Kekuasaan Roma itu sangat besar, sehingga tidak ada sesuatu yang lebih hebat dari seorang warga Roma. Menjadi kebanggaan jika seseorang berkata, "Civis Romanus sum (Saya warga Roma)". Kalau seorang budak dibebaskan dan dia menjadi Roman citizen, maka dia juga menikmati hak yang sama. Seorang warga Roma tidak boleh dihukum mati dengan cara digantung atau disalib. Itu adalah hak sebagai Roman Citizen.[11]
Dalam kata sifatnya, civilis berarti yang berurusan dengan hukum dan hak. Oleh karena itu, warga, dengan seluruh keistimewaannya itu menjadi kebanggaan yang sangat besar. Konon, Santo Paulus ketika akan dihukum mati, vonis awalnya adalah disalib dengan kepala di bawah. Akan tetapi dia berkata, “Civis Romanus sum, Saya warga Roma”. Maka hukuman disalib akhimya dibatalkan, dan diganti dengan hukuman mati dengan cara lain, yaitu kepalanya dipenggal, tidak dihina dengan penyaliban.[12] Dalam hubungan itu, hampir seluruh pemahaman civil society berhubungan langsung dengan civility, keberadaban. Oleh karena itu, yang paling tepat, menurut Dhakidae, terjemahan civil society ke dalam bahasa Indonesia adalah masyarakat kewargaan atau masyarakat warga, di mana seluruh harga diri seseorang warga itu dipertaruhkan, baik di dalam kegiatan sosial, ekonomi, maupun di dalam politik, ketika masyarakat itu mengorganisasikan dirinya ke dalam bentuk negara.[13]

3. Masyarakat Sipil
Di Indonesia, konsep civil society sering pula diartikan sebagai masyarakat sipil.[14] Mulyadhi Kartanegara termasuk salah seorang penulis yang mengartikan atau mengidentikkan civil society atau masyarakat madani sebagai masyarakat sipil. Menurutnya, pembicaraan tentang civil society atau masyarakat madani pada umumnya dikaitkan dengan soal politik, yakni “civil” dalam pengertian pemerintahan sipil yang berlawanan dengan pemerintahan militer, atau eklesiastik.[15] Namun demikian, menurut M. Dawam Rahardjo, pengertian ini tidak tepat, karena memunculkan kesan bahwa civil society itu sebagai tandingan militer. Oleh karena itu, pada mulanya, oleh pemerintah Indonesia, istilah civil society ditanggapi dengan penuh kecurigaan, karena pengertian “sipil” dikesankan sebagai tandingan “militer”, yang dalam pemerintahan orde baru hadir dalam bentuk dwi-fungsi ABRI.[16]

B. Perkembangan Konsep Masyarakat Madani di Indonesia
Istilah atau konsep civil society di Indonesia pertama kali muncul dari kalangan sarjana Australia di Monash University, melalui sebuah konferensi yang diselenggarakan dengan tema “State and Civil Society in Contemporary Indonesia”, pada 25-27 Nopember 1988. Pelaksanaan konferensi itu melibatkan seorang sarjana Indonesia, Dr. Arief Budiman, yang saat itu diundang sebagai George Hick Visiting Fellow pada Centre of Southeast Asian Studies, Monash University.[17] Di Indonesia sendiri, wacana tentang civil society baru berkembang pada tahun 1990 dari ranah simposium menjelang muktamar Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) di Universitas Brawijaya Malang tangal 6 Desember 1990. Dalam catatan M. Dawam Rahardjo, orang yang mula pertama memperkenalkan konsep civil society adalah M. Amien Rais, yang waktu itu menjabat sebagai wakil ketua PP Muhammadiyah. [18] Akan tetapi, ternyata gagasan dari Monash University dan Malang itu tidak cukup bergema, mungkin karena pada waktu itu dunia akademis maupun pers Indonesia cenderung sangat hati-hati menghadapi sikap represif rezim Orde Baru.
Lima tahun kemudian, tepatnya pada 26 September 1995, pada forum ilmiah dalam rangka Festival Istiqlal, Anwar Ibrahim—yang waktu itu masih menjabat menteri keuangan dan wakil perdana menteri Malaysia—memperkenalkan istilah masyarakat madani, yang ia kaitkan dengan masyarakat kota yang telah tersentuh peradaban maju. Istilah masyarakat madani yang ia perkenalkan itu merupakan temuan Prof. Naquib Alattas, dan merupakan terjemahan dari bahasa Arab “al-Mujtama‘ Madani”, yang di Mesir merupakan terjemahan dari civil society.
Dalam ceramahnya yang berjudul “Islam dan Pembentukan Masyarakat Madani”, Anwar Ibrahim antara lain menyatakan:[19]
Yang dimaksud dengan masyarakat madani ialah sistem sosial yang subur yang didasarkan pada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dan kestabilan masyarakat. Masyarakat mendorong daya usaha serta inisiatif individu, baik dari segi pemikiran, seni, ataupun pelaksanaan pemerintahan mengikuti undang-undang, bukan keinginan individu menjadikan keterdugaan atau predictability; serta ketulusan atau transparency sebagai sistemnya.[20]

Dalam pengertian tersebut, masyarakat madani adalah masyarakat yang bermoral, masyarakat yang menjamin keseimbangan antara kebebasan dan kestabilan masyarakat, atau masyarakat yang mampu mendorong daya dan inisiatif individu.
Semenjak itu, wacana tentang civil society semakin meluas, baik melalui berbagai seminar dan diskusi, maupun melalui artikel dan buku-buku. Istilah civil society sendiri, oleh para cendekiawan diterjemahkan menjadi beragam istilah, seperti masyarakat sipil, masyarakat kewargaan, dan masyarakat madani, di samping tetap sering dipergunakan sebagaimana asalnya. Berbagai istilah itu tidak hanya sekadar karena perbedaan penerjemahan, tetapi kadang-kadang bahkan juga menyiratkan perbedaan landasan berfikir dan identifikasi sosial.
Mengutip M. Dawam Rahardjo—salah seorang cendekiawan Muslim yang banyak berbicara tentang masyarakat madani—Adi Suryadi Culla menyatakan bahwa konsep masyarakat madani sebenarnya identik dengan cita-cita Islam membangun ummah. Dari perspektif Islam, pengertian tentang masyarakat madani mengacu pada suatu integrasi ummat atau masyarakat, sesuai semangat QS Ali Imran, 3: 104 dan 110.[21] Dalam konteks ini, masyarakat madani lebih mengacu pada makna al-Dîn, al-Tamaddun atau al-Madînah, yang secara harfiyah berarti kota atau masyarakat kota. Dengan demikian, menurut M. Dawam Rahardjo, konsep masyarakat madani mengandung tiga hal, yaitu agama sebagai sumbernya, peradaban sebagai prosesnya dan masyarakat kota atau perkumpulan sebagai hasilnya.[22] Masyarakat madani adalah masyarakat yang etis dan progresif menuju terbentuknya peradaban yang unggul.
Dalam konteks Indonesia, gagasan civil society mempunyai signifikansi sosial dan politik yang sangat besar. Sistem kekuasaan di Indonesia, khususnya Orde Baru—seperti banyak dikatakan para pengamat politik—masih memperlihatkan kecenderungan hegemonik dan otoritarian. Negara, bersama pelaku ekonomi terkait, memegang kontrol dominan pada hampir seluruh kehidupan politik dan kenegaraan. Hal ini di antaranya dapat dilihat dari kenyataan bahwa partisipasi politik masyarakat—sebagai salah satu pilar civil society—masih menjadi agenda politik yang belum terealisasikan. Partisipasi mereka dalam kehidupan publik secara keseluruhan pun masih rendah, sehingga penentuan format kehidupan bersama masih lebih banyak dikendalikan oleh pemegang kekuasaan. Maka dalam konteks inilah upaya penguatan civil society menjadi sangat penting. Selain realitas negara yang masih hegemonik, penguatan civil society juga masih menghadapi kendala lain, yaitu belum adanya tradisi yang menghargai hak-hak individu yang bersifat universal.
Berkaitan dengan upaya penguatan civil society, Muslim Indonesia, sebagai mayoritas, menjadi sangat penting untuk dipertimbangkan. Upaya penguatan civil society di Indonesia tidak bisa mengabaikan pentingnya faktor ummat Islam. Bahkan, dalam beberapa hal tertentu, keberadaan Muslim merupakan basis perubahan sosial dan politik di Indonesia. Muslim Indonesia memiliki prasyarat—setidaknya secara kuantitatif—bagi pertumbuhan dan penguatan civil society di Indonesia.[23]
Hanya saja, di Indonesia, penguatan civil society berhadapan dengan kategori sosial keagamaan yang berkaitan dengan keberadaan Muslim Indonesia. Di antara yang paling menonjol adalah kategori “tradisionalis” dan “modernis” yang sering diasosiasikan dengan budaya pedesaan dan perkotaan. Untuk menyebut contoh klasik, yang pertama mengacu pada Nahdlatul Ulama (NU), dan yang kedua pada Muhammadiyah.[24]
Menurut Henrdro Prasetyo, persentuhan kelompok tradisonalis dan modernis Indonesia dengan konsep civil society sebenarnya baru terjadi sejak satu dasawarsa terakhir abad ke-20 M. Akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa kalangan tradisionalis lebih dulu berkenalan dan mensosialisasikan konsep tersebut dibandingkan dengan kalangan modernis. Hal ini terutama dilakukan oleh sejumlah intelektual muda NU seperti Muhammad A.S. Hikam, yang merupakan orang pertama yang secara terbuka dan gencar memperkenalkan dan menawarkan pentingnya penguatan civil society di kalangan masyarakat Muslim, terutama NU.
Sementara dari kalangan modernis, setidaknya pada awal 1990-an, belum seorangpun yang mencoba menangkap arti penting konsep tersebut. Padahal, di samping jumlahnya cukup besar, kelompok ini terhintung memiliki lebih banyak sumber daya yang dapat mempercepat perkembangan civil society dan demokrasi.
Meskipun demikian, keterlibaan kalangan modernis dalam wacana civil society baru dimulai pada paruh kedua dekade 1990-an. Oleh mereka, istilah civil society diterjemahkan menjadi masyarakat madani, suatu istilah yang dianggap sepadan dan terdengar lebih akrab di kalangan Muslim. Sebenarnya, terjemahan masyarakat madani tidak berasal dari kalangan modernis Indonesia. Sebagai disebutkan di awal, istilah itu berasal dari Anwar Ibrahim, menteri keuangan dan timbalan perdana menteri Malaysia. Istilah ini menjadi lebih populer setelah Nurcholish Madjid memberikan landasan normatif dari sejarah Islam klasik dengan menunjukkan kehidupan masyarakat (atau negara) Madinah zaman Nabi Muhammad sebagai prototype sebuah masyarakat modern yang berperadaban.[25]

1. Pandangan Muslim Tradisionalis
Ada perbedaan antara kelompok Muslim tradisionalis dan modernis dalam memberikan pemaknaan terhadap konsep civil society. Kalangan tradisionalis menerjemahkan istilah civil society dengan istilah masyarakat sipil. Sementara kalangan modernis dengan masyarakat madani. Kedua istilah tersebut sama-sama mendekati fungsi civil society sebagai prasyarat demokratisasi, akan tetapi, dalam kaitan dengan posisi negara, fungsi kedua istilah tersebut memiliki perbedaan mendasar. Untuk mewujudkan demokrasi, kalangan tradisionalis pernah menempatkan negara sebagai musuh, atau sedidaknya sebagai entitas yang harus dilawan oleh masyarakat sipil, karena negaralah yang paling mungkin melakukan regimentasi dan penindasan terhadap rakyat. Sementara kalangan modernis memandang negara secara positif, tidak sebagai lawan, melainkan sebagai mitra yang dapat diajak bersama-sama menumbuhkan masyarakat madani, sehingga demokrasi bisa dibangun bersama-sama. Pilihan kalangan modernis atas istilah masyarakat madani secara tegas memberikan warna lain, sekaligus memuat pemaknaan yang berbeda terhadap konsep civil society.[26]
Perbedaan tersebut tampaknya bukan hanya menyangkut cara pandang atau metode pemaknaan, melainkan juga merepresentasikan ketidaksamaan yang demikian intensif antara dua kelompok Muslim tersebut. Bagaimanapun kedua kelompok kultural ini memiliki landasan pemikiran dan ekspediensi sosial politik sendiri-sendiri mengenai bentuk bangunan sebuah masyarakat, baik yang masih diidealkan maupun yang ingin diwujudkan melalui pilihan istilah tersebut.
Perbedaan penggunaan istilah untuk civil society ini tidak bisa dipahami semata-mata sebagai perbedaan penerjemahan. Perbedaan itu terkait dengan pengalaman sosial politik dan bangunan keagamaan masing-masing. Dalam konteks demikian, istilah masyarakat madani maupun masyarakat sipil sebenarnya mencerminkan dua corak pemikiran yang berbeda.
Penggunaan istilah masyarakat sipil untuk civil society memiliki makna khusus bagi kalangan intelektualis-aktivis NU. Sejalan dengan pengalaman NU dalam konstelasi politik Orde Baru, pemaknaan seperti itu dapat dikaitkan dengan usaha merumuskan identitas dan visi masyarakat NU tentang gerakan sosial yang harus dijalankan berhadapan dengan kuatnya dominasi negara. Pengalaman politik NU yang tidak mengenakkan, akibat tekanan-tekanan sosial politik yang dialaminya selama Orde Baru, menjadi salah satu alasan kuat untuk mengembangkan agenda mengenai masyarakat sipil. Pengalaman yang tidak mengenakkan itu sebagian besar berkaitan dengan sikap pemerintah Orde Baru yang kurang memberi tempat dan kesempatan kepada NU dalam proses politik nasional.[27]
Sebagai sebuah organisasi sosial keagamaan dengan basis massa yang sangat besar, NU bisa dikatakan mewakili suatu kekuatan besar ummat Islam di Indonesia. Menyadari posisi politik yang demikian, NU bertekad mengambil peran di luar orbit kekuasaan Orde Baru. Hal ini dilakukan NU dengan memposisikan dirinya sebagai gerakan sosial yang berfungsi melakukan kontrol sosial politik terhadap negara. Dengan semangat seperti ini, penggunaan istilah masyarakat sipil bagi kalangan NU pada dasarnya merupakan wujud artikulasi politik NU yang berusaha memposisikan diri otonom dari negara, dan sekaligus sebagai counter hegemony terhadap besarnya dominasi negara.[28]
Jika diperhatikan ciri-ciri intelektual dari wacana civil society di kalangan aktivis NU, seperti tulisan A.S. Hikam, maka masuk akal untuk mengatakan bahwa para intelektual-aktivis NU menjadikan negara masa Orde Baru sebagai sasaran tembak dari wacana civil society. Sejalan dengan itu, kelompok NU mampu mengembangkan pendekatan konseptual tentang civil society sebagai wacana universal dalam konteks berjuang melawan dominasi negara. Hal itu searah dengan berbagai gerakan civil society dalam wacana politik global seperti di negara-negara Amerika Latin dan Eropa Timur akhir dekade 1980-an. Untuk alasan tersebut, pada tataran konseptual, kalangan NU lebih mantap untuk menerjemahkan civil society itu dengan masyarakat sipil, bukan masyarakat madani.
Dalam pandangan A.S. Hikam, misalnya, penerjemahan civil society menjadi masyarakat madani mengandung persoalan serius, khususnya ketika seorang memperbincangkan konsep tersebut pada tataran visi. Dengan menggunakan istilah masyarakat madani, apalagi kemudian melacak jauh akar-akar civil society sampai pada masyarakat Islam pada masa Nabi Muhammad di Madinah, maka terkesan ada upaya terselubung untuk menjadikan Islam sebagai visi alternatif bagi civil society. [29] Dengan sendirinya penggunaan istilah itu masih menekankan visi yang partikularistik. Padahal, sebuah visi tidak harus bersifat alternatif. Yang seharusnya ditekankan adalah bagaimana bisa bersama-sama dengan yang lain.[30] Meskipun ada usaha untuk menjadikan nilai-nilai Islam sebagai landasan nilai bagi perlawanan terhadap negara, harus disadari bahwa Islam hanyalah salah satu bagian dari sekian banyak sistem nilai.[31] Dalam konteks yang demikian, Islam di Indonesia itu bersifat komplementer. Untuk alasan itulah, dengan menerjemahkan civil society dengan masyarakat sipil, gerakan perlawanan masyarakat terhadap Orde Baru membuka ruang bagi kerjasama dengan yang lain untuk agenda yang sama. Dengan demikian, Muhammad A.S. Hikam menolak mencari landasan konseptualisasi yang Islami atas civil society.

2. Pandangan Muslim Modernis
Pilihan istilah masyarakat madani sebagai padanan civil society dinilai lebih tepat daripada istilah-istilah lain yang telah berkembang sebelumnya. Hal ini disebabkan penggunaan istilah civil society itu dianggap banyak kalangan—khususnya Muslim modernis—sebagai kebarat-baratan dan tidak memiliki akar sejarah dalam tradisi Islam. Pada saat yang sama, penolakan—atau lebih tepat ketidaksukaan—terhadap istilah masyarakat warga lebih didasarkan pada sifat pejoratif dari istilah itu. Menurut mereka, masyarakat warga atau masyarakat kewargaan belum memiliki landasan untuk memotret perkembangan masyarakat pada waktu dan tempat tertentu. Demikian juga dengan penggunaan istilah masyarakat sipil yang dapat menimbulkan salah pengertian karena ia bisa disimbolkan berlawanan dengan militer.[32]
Namun harus diakui bahwa kalangan Muslim modernis cenderung melihat civil society sebagai sebuah konsep yang dihasilkan dari ideologi sekular yang jauh dari kehidupan spiritual. Oleh karena itu, istilah masyarakat madani yang diperkenalkan di Indonesia dianggap bukan merupakan terjemahan dari civil society. Ada perbedan ideologis antara civil society dan masyarakat madani, sebab diyakini bahwa masyarakat madani memiliki landasan spiritual dan religius karena kembali pada teks-teks agama, dan hal tersebut tidak ditemukan dalam civil society. Kalangan Muslim modernis, seperti diungkapkan oleh Hendro Prasetyo, dkk menganggap bahwa masyarakat madani telah muncul sejak masa Nabi Muhammad dan diyakini dapat menghilangkan sekat-sekat primordial yang pada waktu itu tidak mungkin dihilangkan. Dapat dikatakan bahwa masyarakat yang dibentuk oleh Nabi Muhammad merupakan manifestasi dari keinginan untuk menghargai perbedaan kemanusiaan.[33]
Dalam mencermati kelahiran masyarakat madani di Indonesia, M. Dawam Rahardjo, membagi entitas masyarakat pada pemerintahan orde baru menjadi tiga sektor. Pertama, sektor negara dengan ciri monopoli dan penggunaan alat paksa. Kedua, sektor swasta yang bekerja dengan mekanisme pasar untuk memperoleh laba. Ketiga, sektor sukarela (Voluntir) yang bercirkan kerelaan, nirlaba dan tanpa paksaan. Bagi Dawam, civil society atau masyarakat madani lebih dekat pada sektor voluntir tersebut, yang berdiri sebagai kekuatan penengah dan kekuatan perantara antara sektor negara dan dunia usaha.[34] Sektor terakhir—yang terdiri atas organisasi keagamaan, paguyuban, perkumpulan, kelompok ketrampilan dan organisasi swadaya—menjadi bagian terpenting masyarakat madani yang berfungsi sebagai kekuatan pengimbang. Namun pada kesempatan yang sama juga menjadi mitra dan lembaga perantara antara negara dan masyarakat.[35]
Rumusan berikutnya tentang masyarakat madani yang perlu diperhatikan adalah yang diungkapkan oleh Nurcholish Madjid. Ia telah memberikan sumbangan besar dalam merumuskan konsep masyarakat madani, sehingga konsep ini dapat diterima banyak kalangan di Indonesia. Bahkan dalam beberapa hal, rumusan Nurcholish Madjid itu dapat dipandang sebagai titik akhir dari usaha merumuskan visi tentang civil society di kalangan Muslim Indonesia. Ketika para intelektual Muslim seperti Muhammad AS. Hikam, M. Dawam Rahardjo, dan Mansour Fakih mengalami kesulitan mendasar untuk menarik wacana civil society dalam konteks kesejarahan Islam karena keyakinan mereka bahwa tradisi Islam tidak memiliki pengalaman historis, ia secara meyakinkan mampu melacak akar-akar sejarah sosial Islam dari konsep tersebut.


Dalam salah satu tulisannya, Nurcholish Madjid antara lain mengemukakan,
Bukanlah suatu kebetulan bahwa wujud nyata masyarakat madani itu untuk pertama kalinya dalam sejarah umat manusia merupakan hasil upaya Tuhan untuk akhir zaman, Nabi Muhammad. Sesampai di kota hijrah, yaitu Yatsrib (Yunani: Yethroba), beliau ganti nama kota itu menjadi Madinah. Dengan tindakan itu, Nabi SAW telah merintis dan memberi teladan kepada umat manusia dalam membangun masyarakat madani, yaitu masyarakat yang berperadaban (ber-“madaniyah”) karena tunduk dan patuh (dâna yadînu) kepada ajaran kepatuhan (dîn) yang dinyatakan dalam supremasi hukum dan peraturan. Masyarakat madani pada hakikatnya adalah reformasi total terhadap masyarakat tak kenal hukum (lawless) Arab jahiliyah dan terhadap supremasi kekuasaan pribadi seorang penguasa seperti yang selama itu menjadi pengertian umum tentang negara (yaitu kerajaan/monarki absolut).[36]

Dalam tulisannya yang lain, Nurcholish Madjid mengemukakan,
Setelah Nabi wafat, masyarakat madani warisan Nabi itu, yang antara lain bercirikan egalitarianisme, penghargaan kepada orang lain berdasarkan prestasi (bukan prestise, seperti keturunan, kesukuan, ras dan lain-lain), keterbukaan, partisipasi seluruh anggota masyarakat, dan penentuan pimpinan melalui pemilihan, bukan berdasarkan keturunan, hanya berlangsung selama tigapuluh tahun masa al-Khulafâ’ al-Râsyidûn. Setelah itu, sistem sosial madani digantikan dengan sistem yang lebih banyak diilhami oleh semangat kesukuan atau tribalisme Arab pra Islam, yang kemudian dikukuhkan dengan sistem dinasti keturunan atau geneologis.[37]

Hal inilah yang agaknya membuat banyak orang sadar bahwa Islam sebenarnya memiliki fondasi yang kuat dalam membangun civil society. Melalui tangan Nurcholish Madjid, istilah masyarakat madani seakan-akan mendapatkan kesejatian dan daya tarik yang ampuh. Wacana tentang masyarakat madani kemudian menjadi semakin dekat dengan wacana keagamaan Islam. Inilah salah satu sumbangan penting Nurcholish Madjid yang akhirnya menjadi acuan bagi banyak orang untuk tidak lagi ragu menyandingkan wacana civil society dengan pesan-pesan sosial politik Islam.
Apa yang dilakukan Nurcholish Madjid adalah mencari landasan historis wacana civil society dalam Islam dengan menelusuri kembali warisan khazanah Islam. Sebab, bagi dia, dalam rangka menanamkan komitmen dengan kesejatian civil society, kita perlu menengok dan menimba kepada khazanah budaya kita, dalam hal ini budaya keagamaan Islam.[38]
Menurut Nurcholish Madjid, istilah "madani" berasal dari kata Arab “al-madaniyah”, artinya peradaban. Dalam bahasa Inggris, istilah yang sepadan adalah civility, artinya peradaban. Nampak jelas bahwa dalam konteks ini yang menjadi kata kunci bagi Nurcholish Madjid adalah al-madinah yang secara etimologis berarti kota. Dalam literatur bahasa Arab, kata ini mengandung makna pola hidup berperadaban. Mengutip Encyclopedia Britanica, ia menyatakan bahwa kata ini pun dipergunakan dalam bahasa Ibrani menjadi madinah, madinat atau medinat, dan mengalami perubahan makna menjadi negara. Dalam bahasa Ibrani, nama resmi Israel adalah Medinat Israel atau Medinat Yusrail. Kesimpulannya, istilah madinah erat kaitannya dengan "negara”, setidaknya "negara-kota" yang mengisyiratkan pentingnya aspek keadaban, yang dalam bahasa Arab hal tersebut adalah madaniyah atau dalam bahasa Inggris disebut “civility.[39]
Dapat dikatakan bahwa, menurut Nurcholish Madjid, civility adalah ramuan penting dalam masyarakat madani karena ia mengacu pada makna toleransi, yakni kesediaan setiap individu untuk menerima pandangan yang berbeda dalam sikap politik dan tingkah laku sosial. Lebih lanjut Nurcholish Madjid menyatakan bahwa,
Masyarakat madani mengacu pada kehidupan masyarakat yang berkualitas dan bertamaddun (civility). Civilitas meniscayakan toleransi, yakni kesedian individu-individu untuk menerima berbagai pandangan politik dan sikap sosial yang berbeda. Ini berarti, tidak ada satu pihak mana pun, termasuk pemerintah, yang berhak memaksakan kehendak dan kemauannya sendiri, apakah dengan bentuk kooptasi atau regimentasi yang pada gilirannya hanya menimbulkan lawlessness dengan social costs yang amat mahal.[40]


3. Ciri Utama Masyarakat Madani
Selanjutnya, kendati banyak sudut pandang dalam melihat konsep masyarakat madani, tetapi pada dasarnya dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan semuanya dihubungkan melalui satu definisi utama tentang masyarakat madani, yakni sebagai kelompok-kelompok sosial dan politik, atau arena masyarakat di mana di dalamnya berkembang otonomi (independensi), atau menunjukkan adanya perjuangan untuk meraih otonomi, kemampuan untuk bersikap kritis tidak hanya terhadap negara, tetapi juga terhadap masyarakat politik serta masyarakat ekonomi.[41] Di samping itu, beberapa variabel pendukung dalam masyarakat madani adalah peletakan dasar musyawarah, pluralisme, toleransi dan penghargaan intelektualitas.
Pertama, independensi (mandiri) dan ruang publik yang bebas dalam arti bahwa masyarakat dapat menentukan keinginannya sesuai dengan pandangan yang berkembang dalam masyarakat, sehingga negara tidak mudah mendikte masyarakat untuk berbuat sesuai dengan keinginan penguasa. Adapun ruang publik yang bebas meniscayakan masyarakat untuk bebas berpendapat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat serta kesempatan yang sama dalam mempertahankan kepentingan-kepentingannya di depan umum. Masyarakat madani merupakan suatu entitas yang memiliki kapabilitas tinggi sehingga mampu menjadi kekuatan refleksi kritis, baik terhadap lingkungan eksternal maupun dirinya sendiri.
Kedua, musyawarah.[42] Musyawarah adalah bentuk penegakan masyarakat demokratis dalam masyarakat madani. Musyawarah merupakan interpretasi positif berbagai individu dalam masyarakat yang saling memberi hak untuk menyatakan pendapat, dan mengakui adanya kewajiban untuk mendengar pendapat orang lain.
Ketiga, pluralisme dan toleransi, yakni suatu gambaran dari masyarakat madani yang dilukiskan dengan sikap penerimaan atas perbedaan dan keragaman, baik dalam tataran internal kelompok, organisasi, maupun antarmasyarakat. Perbedaan-perbedaan (agama, etnis, bahasa maupun pendapat) yang terjadi meniscayakan suatu sikap toleransi antarsesama.
Keempat, penghargaan atas rasionalitas. Masyarakat madani bersifat rasional dengan adanya penghargaan atas ilmu, dan mampu meletakkan asas kemasyarakatan dan kenegaraan yang meningkatkan derajat individu.[43]
Mengenai ciri-ciri civil society, Muhammad A.S. Hikam—yang mengambil pemikiran Alexis de Tocqueville—merumuskan lima ciri utama dari civil society atau masyarakat madani, yaitu 1) Kesukarelaan (voluntary), 2) Keswasembadaan (self-generating), 3) Keswadayaan (self-supporting), 4) Kemandirian tinggi berhadapan dengan negara, 5) Keterikatan tinggi pada norma-norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti warganya.[44]
Menurut H.A.R. Tilaar, civil society dapat disepadankan dengan masyarakat madani, mengacu pada masyarakat demokratis pada masa Nabi Muhammad yang diatur dalam piagam Madinah.[45] Di dalam Piagam Madinah, terdapat sepuluh prinsip dasar, yaitu:
a. Prinsip kebebasan beragama
b. Prinsip persaudaraan seagama
c. Prinsip persatuan politik dalam meraih cita-cita bersama
d. Prinsip saling membantu, yaitu setiap orang mempunyai kedudukan yang sama sebagai anggota masyarakat
e. Prinsip persamaan hak dan kewajiban warga negara terhadap negara
f. Prinsip persamaan di depan hukum bagi setiap warga negara
g. Prinsip penegakan hukum demi tegaknya keadilan dan kebenaran tanpa pandang bulu
h. Prinsip pemberlakuan hukum adat yang tetap berpedoman pada keadilan dan kebenaran
i. Prinsip perdamaian dan kedamaian. Hal ini berarti pelaksanaan prinsip-prinsip masyarakat Madinah tersebut tidak boleh mengorbankan keadilan dan kebenaran.
j. Prinsip pengakuan hak atas setiap orang atau individu. Prinsip ini merupakan pengakuan dan penghormatan atas hak asasi setiap manusia.[46]

Dalam konteks ke-Indonesiaan, menurut H.A.R. Tilaar, ada berapa ciri dasar yang khas yang perlu diperhatikan dalam membangun masyarakat madani Indonesia. Ciri-ciri tersebut adalah:
Kenyataan adanya keragaman budaya Indonesia.
Pentingnya saling pengertian antara sesama anggoata masyarakat
Berkaitan dengan kedua ciri khas di atas adalah dibutuhkan toleransi yang tinggi
Diperlukan suatu wadah bersama.[47]

C. Pendidikan dalam Masyarakat Madani di Indonesia
Masyarakat Indonesia sekarang ini sedang dalam tahap belajar untuk hidup berdemokrasi dalam arti yang sebenarnya, sehingga memerlukan proses belajar dengan prioritas nilai-nilai tertentu seperti demokrasi, taat hukum, toleransi, moral dan tanggung jawab sosial. Pembentukan masyarakat madani, selain menuntut usaha dari dalam, sekaligus juga menghadapi tantangan-tantangan eksternal dalam era globalisasi dan informasi ini. Dengan demikian, pendidikan yang mempunyai peran sentral dalam upaya membangun dan mewujudkan masyarakat madani tersebut haruslah didasarkan pada paradigma-paradigma baru. Pengembangan pendidikan Islam juga harus didasarkan pada paradigma baru tersebut yang bertolak dari pengembangan manusia yang merdeka dan demokratis, bertakwa, berilmu, berketrampilan dan bermoral sehingga dapat berkarya dalam kehidupan masyarakat madani.[48] Dalam kerangka ini, pendidikan Islam dalam masyarakat madani Indonesia adalah pendidikan yang dapat memberdayakan manusia dan masyarakat.
Pendidikan dalam masyarakat madani Indonesia tidak lain ialah proses pendidikan yang mengakui hak-hak dan kewajiban perorangan di dalam masyarakat. Dalam suatu masyarakat yang demokratis, hak-hak dan kewajiban tersebut merupakan batu landasan dari masyarakat.
Di bawah ini beberapa strategi pendidikan Islam dalam rangka membangun masyarakat madani Indonesia.[49]

1. Pendidikan dari, oleh, dan bersama-sama masyarakat
Pendidikan dari masyarakat berarti bahwa pendidikan haruslah memberikan jawaban kepada kebutuhan (needs) dari masyarakat sendiri. Jadi, pendidikan bukan dituangkan dari atas semata-mata, apalagi dari penguasa, tetapi pendidikan yang tumbuh dari masyarakat sendiri dengan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat itu sendiri.
Pendidikan oleh masyarakat berarti bahwa masyarakat bukanlah merupakan obyek pendidikan, yaitu untuk melaksanakan kemauan negara atau suatu kelompok semata-mata. Masyarakat mempunyai peranan di dalam setiap langkah program pendidikannya. Pendidikan oleh masyarakat bukan berarti melepaskan tanggung jawab pemerintah. Tugas pemerintah dalam pendidikan ialah menjaga dan mengarahkan agar tanggung jawab masyarakat dapat berjalan sebagaimana mestinya. Kalau perlu, pemerintah dapat mengulurkan tangan untuk memecahkan masalah-masalah yang memang meminta intervensi pemerintah.
Pendidikan bersama-sama masyarakat bukan dalam arti bahwa masyarakat itu disubordinasikan pada penguasa, karena—misalnya—penguasa menyediakan dana untuk itu. Subsidi atau partisipasi penguasa tidak mengurangi tanggung jawab masyarakat di dalam penyelenggaraan pendidikan, malahan uluran tangan penguasa akan memperbesar tanggung jawab masyarakat secara bertahap atas penyelenggaraan pendidikan itu sendiri. Inilah salah satu bentuk community based education.[50]

2. Pendidikan didasarkan pada kebudayaan global yang bertumpu pada kebudayaan lokal

Bangsa Indonesia memiliki kekayaan kebudayaan yang luar biasa. Tugas pendidikan ialah bukan hanya sekadar menghayati dan mengembangkan unsur-unsur kebudayaan lokal dan nasional, tetapi juga ikut membangun kebudayaan tersebut.

3. Proses pendidikan mencakup proses hominisasi dan proses humanisasi
Hominisasi artinya proses pengembangan manusia sebagai makhluk hidup. Manusia harus dididik dan dibesarkan supaya dia dapat berdiri sendiri dan memenuhi kebutuhan hidupnya.
Proses humanisasi berarti manusia itu bukan hanya sekadar dapat hidup dan makan, tetapi juga dia dapat bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan terhadap kesejahteraan masyarakatnya. Oleh sebab itu, dia harus belajar untuk bertanggung jawab, mengenal dan menghayati serta melaksanakan nilai-nilai moral. Tanpa tanggung jawab, tidak mungkin tercipta suatu masyarakat yang aman dan tentram, di mana kepribadian dapat berkembang. Proses humanisasi merupakan suatu proses yang terbuka, di mana manusia dapat menguasai ilmu pengetahuan dan penerapannya.[51]

4. Pendidikan demokrasi
Pendidikan demokrasi yang merupakan tuntutan dari terbentuknya masyarakat madani Indonesia mengandung berbagai unsur:
a. Manusia memerlukan kebebasan politik, artinya mereka memerlukan pemerintah dari dan untuk mereka sendiri.
b. Kebebasan intelektual. Kebebasan intelektual diperlukan karena suatu masyarakat demokratis adalah masyarakat yang menghargai kemampuan intelektual para anggotanya, baik untuk kepentingan dirinya sendiri maupun untuk kesejahteraan masyarakatnya. Kemampuan intelektual yang terus dipasung, melahirkan manusia-manusia tanpa inisiatif dan cenderung tunduk pada kekuasaan otoriter.
c. Kesempatan untuk bersaing di dalam perwujudan diri sendiri (self realization). Hal ini berarti setiap anggota masyarakat mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan. Setiap peserta didik—tanpa didiskriminasikan dengan pertimbangan-pertimbangan sosial, ekonomi, gender, asal-usul, agama—diberikan kesempatan yang sama untuk mewujudkan dirinya sendiri dan mengembangkan potensinya untuk melaksanakan sesuatu yang terbaik.
d. Pendidikan yang mengembangkan kepatuhan moral kepada kepentingan bersama, bukan kepada kepentingan sendiri atau kelompok. Jika kepatuhan moral itu hilang, maka masyarakat itu akan mengalami disintegrasi atau kekacauan.
e. Pendidikan yang mengakui hak untuk berbeda (the right to be different). Proses pendidikan yang otoriter, baik di dalam keluarga, lebih-lebih lagi di sekolah tidak memberikan peluang bagi pengambilan alternatif yang lain.
f. Percaya kepada kemampuan manusia untuk membina masyarakat yang lebih baik di masa depan. Masyarakat madani, di dalam pengertian ini, terwujud secara alamiah di dalam pendidikan demokrasi.[52]

5. Kelembagaan pendidikan
Lembaga pendidikan sebagai pranata sosial dalam pembangunan masyarakat madani Indonesia haruslah menjiwai dan mewujudkan nilai-nilai demokrasi. Dengan demikian lembaga-lembaga pendidikan yang memasung perkembangan intelektual dan moral peserta didik akan bertentangan secara diameteral dengan tuntutan masyarakat madani.

6. Desentralisasi manajemen pendidikan nasional
Sistem dan praksis pendidikan nasional dewasa ini sifatnya sangat sentralistik di bawah satu komando, Departemen Pendidikan nasional. Contoh-contoh dari sentralisasi yang kaku tersebut kita lihat di dalam sentralisasi kurikulum—meskipun ada yang disebut kurikulum muatan lokal—sentralisasi pengawasan, dan sentralisasi pengawasan mutu.
Sentralisasi manajemen pendidikan menunjukkan ketidakpercayaan pemerintah kepada kemampuan rakyatnya sendiri. Pemerintah merasa khawatir bahwa tanpa campur tangan pemerintah tidak mungkin dapat dicapai mutu pendidikan yang diinginkan. Mutu yang diinginkan akan dapat dicapai sambil berjalan dalam memberdayakan masyarakat sendiri untuk mengatur, menilai, dan memperbaiki mutu pendidikannya.[53]

D. Hasil yang Diharapkan dari Pendidikan Nasional untuk Membangun Masyarakat Madani Indonesia

Pendidikan Islam harus mampu menumbuhkembangkan berbagai sikap manusia Indonesia yang memungkinkan lahirnya masyarakat madani Indonesia. Berbagai sikap tersebut ialah 1) Sikap demokratis, 2) Sikap toleran, 3) Saling pengertian, 4) Berakhlak tinggi, beriman dan bertaqwa, 5) Berwawasan global.[54]

1. Sikap demokratis
Sistem pendidikan yang hanya mementingkan sekelompok manusia, seperti manusia yang berinteligensi tinggi saja, tentunya tidak demokratis sifatnya. Demikian pula proses belajar yang tidak menumbuhkan sikap kreatif dan bebas serta sanggup mengemukakan pendapat, berbeda pendapat, dan menghargai pendapat yang lebih baik, perlu dimasukkan di dalam proses belajar dan kurikulum.[55]

2. Sikap toleran
Budaya Indonesia yang bhinneka menuntut toleransi yang tinggi dari setiap anggota masyarakat. Sikap toleransi tersebut harus dapat diwujudkan oleh semua anggota dan lapisan masyarakat sehingga terbentuk suatu masyarakat yang kompak tapi beragam sehingga kaya akan ide-ide baru.

3. Saling pengertian
Di dalam suatu masyarakat yang demokratis, perbedaan pendapat justru merupakan suatu hikmah untuk membentuk suatu masyarakat yang mempunyai horizon yang luas dan kaya. Untuk keperluan tersebut diperlukan pengetahuan dan penghayatan mengenai keberagaman tersebut. Pendidikan harus menampung akan kebutuhan masyarakat yang beragam tersebut.

4. Berakhlak tinggi, beriman dan bertaqwa
Manusia yang beriman dapat menjadi manusia yang berakhlak tinggi, karena semua agama yang hidup dan berkembang di Indonesia adalah agama yang mengajarkan nilai-nilai moral yang tinggi. Keragaman agama yang hidup dan berkembang di Indonesia menuntut sikap toleransi dan saling pengertian setiap anggotanya. Oleh sebab itu, pendidikan agama harus dilaksanakan begitu rupa sehingga dapat terwujud suatu kehidupan bersama yang mengandung unsur-unsur toleransi serta saling pengertian yang mendalam. Bangsa Indonesia perlu menghindari ramalan Huntington yang memprediksikan adanya konflik-konflik budaya dan agama sebagai pengganti konflik kekerasan senjata dalam kehidupan umat manusia pada melenium ketiga ini.[56]

5. Manusia dan masyarakat yang berwawasan global
Masyarakat Indonesia memasuki suatu kehidupan baru dalam melenium ketiga sebagai anggota masyarakat global yang ditandai oleh kemajuan teknologi dan perdagangan bebas. Kehidupan global tersebut memberikan kesempatan-kesempatan yang baru tetapi juga tantangan-tantangan yang semakin sulit dan kompleks sehingga meminta kualitas sumber daya manusia yang bukan saja menguasai dan dapat mengembangkan ilmu pengetahuan, tetapi juga yang terampil di dalam memecahkan masalah-masalah yang muncul akibat gelombang globalisasi tersebut. Menurut pengamatan UNESCO terdapat beberapa bahaya yang inheren di dalam gelombang globalisasi yang perlu diwaspadai dalam proses pendidikan. Tantangan-tantangan tersebut ialah regionisasi, polarisasi, marginalisasi, dan fragmentasi. Gelombang globalisasi juga telah melahirkan berbagai kerjasama regional yang pada gilirannya menuntut program dan langkah-langkah yang sesuai di dalam pendidikan nasional anggota kerjasama regional tersebut. Dengan demikian, regionalisasi akan bukan hanya dapat memberikan keuntungan, tetapi juga malapetaka bagi anggota kerjasama regional yang tidak mempersiapkan diri, dan hanya akan menguntungkan anggota-anggota yang lebih siap. Globalisasi juga dapat menyebabkan polarisasi antara negara yang maju dan negara berkembang. Oleh sebab itu, negara berkembang harus pandai-pandai mempersiapkin diri sehingga tidak akan menjadi mangsa dari kekuatan global yang lebih kuat. Akibatnya ialah pemiskinan negara-negara yang dilindas oleh kekuatan-kekuatan global, seperti di dalam ekonomi dan perdagangan. Selanjutnya, gelombang globalisasi juga dapat menjadikan sekelompok manusia tercecer atau terbuang dari arus perubahan. Proses marginalisasi kita rasakan di dalam era krisis moneter yang telah mengakibatkan sejumlah besar rakyat Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan. Oleh sebab itu, pendidikan harus mempunyai visi untuk dapat memberdayakan rakyat banyak yang rentan terhadap perubahan-perubahan global yang menimpanya. Sejalan dengan kekuatan-kekuatan yang disebut tadi, globalisasl juga dapat menyebabkan fragmentalisasi masyarakat Indonesia di dalam kelompok-kelompok yang diuntungkan dan kelompok-kelompok yang dikalahkan akibat kepentingan-kepentingan tertentu.[57]

E. Pendidikan Islam dalam Masyarakat Madani: Praktik Masa Klasik Islam
Sebagaimana kota Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia, kota-kota besar dunia Islam pada masa kejayaannya, terutama Baghdad dan Kordoba, merupakan masyarakat yang majemuk (plural), di mana penduduk dari berbagai latar belakang etnik, suku, bangsa dan agama berkumpul dan hidup bersama. Tentu saja keadaan ini menimbulkan tantangan-tantangannya sendiri yang perlu dijawab oleh masyarakat perkotaan dengan mengembangkan sifat-sifat yang cocok dengan keadaan. Dalam pandangan Mulyadhi Kartanegara, sifat-sifat yang cocok dengan keadaan masyarakat kota inilah yang dimaksud dengan cita-cita masyarakat madani, dan ini antara lain meliputi inklusivisme, humanisme/egalitarianisme, toleransi, dan demokrasi.[58] Pengembangan pada bagian ini penulis ambil dari Mulyadhi Kartanegara.[59]

1. Inklusivisme
Sikap inklusif sebenarnya telah dipraktikkan oleh para adib ketika menyusun “adab” mereka.[60] Karena, selain menggunakan al-Quran dan hadits, mereka juga masih menggunakan sumber-sumber dari kebudayaan lain. Dalam puisi, misalnya, mereka menggunakan dan menghargai warisan Jahiliyyah, dan bahkan sebagian mereka menggunakannya sebagai tolok ukur bagi kualitas dan kesusksesan sebuah karya puitis. Demikian juga ketika mereka mengambil pelajaran moral dari karakter hewan-hewan, mereka tidak ragu-ragu menggunakan karya-karya fabel dari kebudayaan luar, terutama India, seperti kitab Kalilah wa al-Dimnah karya Bidpei, seorang pujangga India. Karya ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Ibn Muqaffa’ pada abad ke-9 M. Sedangkan teladan moral dari para pahlawan dan raja-raja bijaksana, bersumber dari cerita epik para pahlawan dan raja-raja Persia, seperti tercermin dari karya Firdawsi, Shah Namah (Kisah Para Raja). Demikian juga karya-karya gnomologis (hikmah) yang mereka himpun, bersumber dari kata-kata hikmah para bijaksanawan/pujangga Persia, Arab, Yunani dan India, sebagaimana tercemin dari karya Miskawayh yang sangat terkenal, al-Hikmah al-Khalîdah (Filsafat Perenial), atau karya serupa itu dari Ibn Hindu, al-Kalîm al-Ruhâniyyah .
Selain para adib para ilmuwan dan filosof Muslim juga telah mengembangkan sikap inklusif yang serupa dalam karya mereka. Dalam bidang matematik misalnya para ahli matematika Muslim telah belajar banyak dari matematika India. Al-Khawarizmi menerjemahkan karya matematika India Siddhanta al-Kubra ke dalam bahasa Arab, pada abad ke-9 M, dan mendorong ahli matematika Muslim untuk berkarya lebih kreatif lagi sehingga banyak penemuan penting di bidang ini mereka temukan. Al-Khawarizmi merupakan penemu angka nol atau sifr, sebuah kata yang ketika hijrah ke Eropa menciptakan kata “cipher” dan “zero,” yang berarti nol.[61] Tentu saja ini merupakan sebuah revolusi matematika yang besar, meskipun tanpa banyak diketahui, karena tidak dapat dibayangkan bagaimana “matematika” tanpa angka nol.
Demikian juga para filosof Muslim. Mereka telah dengan jelas memperlihatkan sikap inklusif ini. Menyikapi para pengeritiknya yang lebih eksklusif tentang sumber kebenaran, al-Kindi (w.866), misalnya, dengan elegan mengatakan, “Kebenaran dari manapun asalnya harus kita terima, karena tidak ada yang lebih dicintai oleh pencari kebenaran daripada kebenaran itu sendiri.”[62] Al-Kindi sendiri telah mempelajari hampir semua cabang ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani dengan penuh percaya diri. Menurutnya ilmu bersifat kumulatif, dan tidak akan mencapai tingkat yang setinggi ini kalau bukan karena sumbangan para pendahulu kita. Oleh karena itu, tugas kita adalah berterima kasih kepada mereka, dengan cara mempelajari dengan baik dan benar pernyataan-pernyataan dan ajaran mereka, untuk kemudian kita revisi dan sajikan sesuai dengan bahasa kita.
Selain di bidang pengambilan sumber-sumber dari luar, sikap inklusif inipun dapat dilihat dari cara-cara para filosof dan para sufi di dalam memilih murid atau guru. Jalaluddin Rumi (w. 1273), seorang sufi dan penyair terbesar Persia, memiliki murid bukan hanya murid-murid Muslim, tetapi juga Yahudi, Kristen dan bahkan Zoroaster. Mereka diperlakukan secara adil tanpa dipaksa untuk melakukan konversi agama. Dalam pandangannya, Islam adalah “rahmat li al-‘âlamîn”, dan karena itu, tidak ada sama sekali salahnya untuk menjadikan orang-orang non-Muslim sebagai murid-muridnya. Ketika Rumi meninggal dunia, maka yang berkumpul bukan hanya murid-muridnya yang Muslim, tetapi juga yang non-Muslim di sekitar pemakamannya, di mana mereka membaca kitab suci mereka masing-masing, al-Quran, Injil dan Zabur. Orang-orang Kristen melihat dalam diri Rumi, penjelmaan ajaran-ajaran kasih Yesus, demikian juga orang-orang Yahudi melihatnya sebagai penjelmaan ajaran Nabi Musa.[63] Hal ini barangkali perlu ditiru, mengingat sikap kita dalam hal ini masih sangat eksklusif.
Sikap inklusif dalam memilih guru bisa dilihat dari guru-guru al-Farabi (w. 950 M), seorang filosof peripatetik Muslim, yang dikenal sebagai “guru kedua’ (al-mu’allim al-tsâni), setelah Aristoteles. Ketika al-Farabi datang ke Baghdad pada dasawarsa ketiga abad ke-9 masehi, ia belajar logika dan filsafat dengan dua guru logika yang terkenal, yaitu Yohanna bin Haylan dan Bisyr Matta bin Yunus, yang keduanya beragama Kristen. Demikian juga salah seorang murid al-Farabi yang terkenal, adalah Yahya bin ‘Adi, seorang Kristen Jakobite. Pada gilirannya, Ibn ‘Adi memiliki seorang murid Muslim yang terkenal, Abu Sulayman al-Sijistani (w. 987).[64] Jadi jelas di sini bahwa perbedaan agama dari seorang guru atau murid tidaklah menjadi penghalang bagi terjadinya proses belajar-mengajar bagi mereka. Dengan kata lain, mereka tidak menolak sebagai guru atau muridnya semata-mata atas dasar agama.

2. Humanisme (Egalitarianisme)
Yang dimaksud dengan humanisme di sini adalah cara pandang yang memperlakukan manusia karena kemanusiaannya, tidak karena sebab yang lain di luar itu, seperti ras, kasta, warna kulit, kedududukan, kekayaan atau bahkan agama.[65] Dengan demikian, termasuk di dalam humanisme ini adalah sifat egaliter, yang menilai semua manusia sama derajatnya.
Sejarah kebudayaan Islam sarat dengan contoh-contoh sifat humanis ini. Nabi Muhammad sendiri disinyalir pernah menyatakan dengan tegas, bahwa tidak ada kelebihan seorang Arab dari ‘ajam (non-Arab).” Al-Hujwiri, seorang penulis mistik Islam, dalam kitabnya Kasyf al-Mahjûb menunjukkan sikap humanis Nabi Muhammad dan sikap dirinya, ketika membandingkan sikap keberagamaan Nabi Ibrahim AS dan Nabi Muhammad SAW Menurutnya, Nabi Ibrahim tidak akan makan kecuali mendapat seorang teman. Kadang ia harus menunggu satu atau dua jam untuk itu. Suatu saat ia harus menunggu lebih dari tiga hari, ketika seseorang akhirnya lewat di hadapannya. Maka tak urung dipanggilnya orang tersebut untuk diajak makan. Tetapi, sebelum makan Nabi Ibrahim menanyakan tentang pekerjaannya, dan ketika tahu dari jawabannya bahwa ia adalah seorang pembuat patung, maka serta merta orang itu diusirnya. Setelah orang itu pergi, maka datanglah teguran dari Tuhan berupa pertanyaan kepada Nabi Ibrahim: “Mengapa engkau tidak rela memberikan sepotong roti kepada ia yang telah Aku layani selama 70 tahun?”[66] Berbeda keadaannya, ketika al-Hujwiri mengisahkan sikap Nabi Muhammad, bahwa ketika seorang kepala suku datang menemuinya, secara spontan Nabi Muhammad melepas dan menghamparkan jubahnya untuk tempat duduk sang kepala suku, (padahal ia tahu bahwa ia bukanlah seorang Muslim), seraya berkata kepada sahabat-sahabatnya: “Hormatilah setiap kepala suku (apapun agamanya)!” Ini adalah contoh yang jelas dari pandangan humanis Nabi Muhammad, yang memandang manusia, bukan karena keturunan maupun agamanya, tetapi karena kemanusiaannya.[67]
Contoh lain yang mungkin bisa dikemukakan dalam kaitannya dengan humanisme ini adalah pembelaan oleh Jalal al-Din Rumi kepada muruidnya yang beragama Kristen, setelah yang terakhir dipojokkan oleh muridnya yang beragama Islam, yang memandang remeh pengetahuan si murid Kristen tentang Islam. Dalam hal ini Rumi tidak memihak kepada muridnya yang Muslim, semata karena ia Muslim, tetapi memihak kepada muridnya yang Kristen karena kebenaran semata. Abu Sulayman al-Sijistani, pada abad ke-10 M telah memiliki sebuah majlis falsafi di Baghdad yang keanggotaannya tidak dibatasi hanya kepada sarjana-sarjana Muslim, tetapi terbuka juga untuk sarjana-sarjan non-Muslim, seperti Kristen, Yahudi dan bahkan Zoroaster. Menurut hemat Mulyadhi Kartanegara, ikatan yang mendasari keanggotaan majlis tersebut adalah persahabatan universal yang oleh mereka disebut shadaqah, yang dapat mengatasi ikatan kesukuan, etnik, warna kulit dan juga agama. Persahabatan ini didasarkan pada pandangan humanis, yang melihat manusia semata karena kemanusiaannya, bukan karena yang lainnya.[68]
Sebagai contoh terakhir dari sikap humanis ini, dapat dilihat dari kitab al-Akhlâq wa al-Siyar, karangan Ibn Hazm (w. 1066), seorang sarjana serba bisa dari Andalusia. Pandangan egaliter Ibn Hazm terlihat jelas ketika, misalnya, ia mengeritik seseorang yang terlalu bangga dengan keturunannya. Ia menyatakan, bahwa kemuliaan seseorang tidaklah secara niscaya ditentukan oleh garis keturunan. Seorang Nabi pun tidak bisa menjamin, bahwa keturunannya mesti menjadi orang yang mulia, semata-mata karena mereka turunan seorang Nabi. Tidak jarang bahwa putra seorang nabi menjadi orang yang ingkar, seperti dalam kasus putra Nabi Nuh. “Sebaliknya,” kata Ibn Hazm, “tidak jarang juga seorang yang punya kedudukan tinggi, seperti Abu Muslim al-Khurasani dan lain-lain, padahal sesungguhnya mereka adalah anak haram.”[69] Ini tidak berarti bahwa Ibn Hazm merestui “hubungan gelap”, atau tidak memandang penting latar belakang keluarga yang baik, tetapi semata-mata sebagai peringatan bahwa keturunan bukanlah jaminan bagi mulia tidaknya seseorang. Manusia pada dasarnya sama, dan hanya kualitas takwanya yang membedakannya, bukan karena pangkat ataupun keturunan.

3. Toleransi
Toleransi umat Islam barangkali dapat dilihat dari beberapa contoh di bawah ini: Para penguasa Muslim dalam waktu yang relatif singkat telah menaklukan beberapa wilayah sekitarnya, seperti Mesir, Siria dan Persia. Ketika para penguasa Islam itu menaklukkan daerah-daerah tersebut, di sana telah berkembang dengan pesat beberapa pusat ilmu pengetahuan. Namun mereka tidak mengganggu kegiatan-kegiatan ilmiah dan filosofis yang telah ada sebelum Islam datang di beberapa kota di Timur Tengah. Beberapa pusat ilmu di kota-kota Siria, seperti Antioch, Harran, dan Edessa, tetap berkembang ketika orang-orang Arab menaklukkan Siria dan Iraq. Mengutip Majid Fakhry, Mulyadhi Kartanegara menyatakan bahwa penaklukan Arab secara keseluruhan tidak mencampuri pencarian akademis oleh sarjana-sarjana di Edessa, Nisibis dan pusat-pusat ilmu di Timur dekat. Di pusat-pusat ilmu ini, kajian-kajian filosofis dan teologis oleh para sarjana Kristen tetap berjalan sebagaimana biasanya, dan mereka menikmati kebebasan berfikir yang diberikan para penguasa Muslim.[70]
Dari pusat-pusat ilmu inilah justru umat Islam banyak belajar tentang ilmu-ilmu rasional seperti ilmu matematika, astronomi, kedokteran dan juga ilmu-ilmu filsafat. Banyak sarjana-sarjana Muslim yang belajar di pusat-pusat ilmu ini dengan sarjana-sarjana Kristen. (Kadang murid-murid Muslim ternyata mengungguli guru-guru Kristen mereka, seperti yang terjadi pada kasus al-Farabi dan Ibn Sina). Selain itu, umat Islam, terutama para penguasanya, bahkan telah menjadikan sistem pendidikan mereka sebagai model.
Sikap toleran ini juga dapat dilihat dari diperkenankannya kaum non-Muslim untuk hadir dan mengikuti kajian-kajian ilmiah yang diselenggarakan orang-orang Muslim, baik sarjananya maupun penguasanya. Yang hadir pada majilis falsafi Abu Sulayman al-Sijistani, bahkan anggota-anggota tetap majlis tersebut, bukan hanya Muslim tetapi juga orang-orang Kristen, Yahudi, dan Zoroaster. Bahkan orang-orang kafir, ateis dan materialis dalam majlis-majlis tertentu dibolehkan ikut dalam kajian-kajian ilmiah dan religius. Abu ‘Umar Ahmad b. Mahmud al-Sa’di, seorang teolog Andalus yang salih, merasa begitu kaget atas toleransi warga Baghdad yang dinilainya berlebihan, ketika melihat dalam sebuah diskusi ilmiah dan agama, hadir bukan saja sarjana-sarjana Muslim dari berbagai sekte, tetapi juga orang Kristen, Yahudi, Mazdaisme (dualis), bahkan kaum ateis dan materialis.Tentu saja ini merupakan ilustrasi bagaimana sikap toleran warga kosmopolitan Baghdad dipraktikkan.[71]

4. Demokrasi (Kebebasan Berpikir)
Menurut Abdolkarim Soroush, seperti dikutip oleh Mulyadhi Kartanegara, salah satu sifat yang tidak boleh ditinggalkan dalam demokrasi adalah kebebasan berpikir atau kebebasan individu untuk mengemukakan pendapatnya. Kebabasan berpikir ini telah dilaksanakan oleh masyarakat kota-kota besar Islam. Kritik, misalnya, juga ditujukan oleh seorang sarjana, terhadap orang-orang penting yang punya pengaruh besar di masyarakat, karena menurut penilaiannya, orang-orang itu mempunyai cacat moral. Al-Jahizh (teolog Mu’tazilah dan sastrawan Arab abad ke-9 M) misalnya menuliskan kritiknya terhadap orang-orang penting yang dipandang pelit dalam kitabnya, al-Bukhala (Orang-orang Kikir), dan termasuk ke dalam daftar al-bukhala ini adalah seorang filosof Muslim yang sangat terkenal, al-Kindi.[72]
Demikian juga kebebasan berpikir ini juga dapat dilihat dari seorang sarjana (ilmuwan atau filosof) Muslim, yang tidak sependapat dengan pandangan yang berlaku umum. Abu Bakr al-Razi (w. 935), seorang ahli kedokteran dan filosof dari Persia, dengan berani mengemukakan pendapatnya yang sangat kontroversial tentang “lima hal yang abadi,” padahal pada umumnya orang memandang bahwa hanya satu yang boleh abadi, yaitu Tuhan saja. Ia juga mengemukakan bahwa “kalau seorang manusia telah mangembangkan rasionalitasnya dengan sempurna, maka ia tidak membutuhkan lagi kenabian. Agama, yang didasarkan pada wahyu, menurut pengamatannya, sering malah menjadi sumber konflik, daripada sumber harmoni, karena masing-masing agama mengklaim agamanya sajalah yang benar. Hanya ajaran yang didasarkan pada “rasio” atau “akal”-lah yang akan mampu menyatukan umat manusia, karena setiap dari mereka menghargai akal pikiran.
Tentu saja ini telah menimbulkan banyak keberatan, dan seperti yang telah terjadi, orang yang merasa keberatan atas pernyataannya itu juga mempunyai hak untuk mengemukakan pendapat atau pikirannya. Itulah yang kemudian terjadi. Rekan sekotanya, Abu Hatim al-Razi, seorang teolog Syi’ah telah mengemukakan sanggahannya terhadap apa yang dinyatakan Abu Bakr al-Razi, secara tertulis. Terhadap pernyataan Abu Bakr al-Razi, bahwa bukan agama, tetapi akal yang dapat mempersatukan manusia, Abu Hatim dengan tegas membantahnya. Ia misalnya mengatakan, “tidak betul bahwa akal bisa mempersatukan umat manusia, sebab kalau kita pelajari sejarah filsafat kita tahu bagaimana hebatnya perbedaan pendapat yang terjadi antara Plato dan Aristoteles, padahal keduanya menggunakan akal.” Yang penting diingat di sini adalah bahwa sanggahan itu disampaikan secara rasional dengan menggunakan argumen-argumen yang logis, dan bukan dengan emosional dan fisik. Demikian juga kritikan terhadap al-Razi dilayangkan oleh pemikir ensiklopedis al-Biruni (w. 1041). Kenyataan bahwa Abu Bakr al-Razi, meninggal dalam usia lanjut dan secara alami, menunjukkan sikap toleransi yang sangat besar dari warga kota Rayy.[73]
Contoh yang lain, bisa kita ambil dari wacana teologi Islam. Ketika pada umumnya teolog-teolog Sunni mempertahankan keabadian al-Quran sebagai wahyu Tuhan, kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa al-Quran tidaklah abadi. Dan ketika mayoritas teolog Muslim (Mutakallimûn) berpendapat bahwa salah satu mukjizat al-Quran (i‘jâz al-Qur’ân) adalah bahwa ia tidak bisa ditiru dari sudut gaya bahasanya, al-Nazhzham, seorang teolog Mu’tazilah, mengatakan bahwa gaya bahasa al-Quran dapat ditiru oleh manusia, bahkan ada yang telah menyusun puisi yang lebih indah dari al-Quran, dari sudut gaya. Tetapi dari sudut isi, barulah, menurutnya, al-Quran tidak bisa ditiru oleh seorang manusia. Toh, pendapat yang berseberangan inipun bisa saja terjadi di kalangan mereka dan karya-karya mereka, tetapi dilestarikan dalam khazanah kultural Islam.
Contoh lain juga bisa kita lihat dari “tele-dialog” yang dilakukan oleh al-Biruni, seorang ensiklopedis sejati Muslim, dengan seorang filosof Perpatetik Muslim yang paling terkenal Ibn Sina. Ibn Sina (w. 1037 M), dalam bidang fisikanya menganut ajaran fisika Aristoteles yang dikenal sebagai “hyleomorfis,” di mana segala sesuatu dipercayai sebagai terdiri dari materi dan bentuk. Al-Biruni, yang merasa tidak sepakat dengan pendapat tersebut di atas, kemudian mengirim surat melalui seorang utusan untuk mempertanyakannya kepada Ibn Sina sambil menunjukkan keberatannya. Ibn Sina yang telah membaca dan mengerti keberatan dari al-Biruni tersebut, kemudian secara langsung menjawab keberatan al-Biruni dengan sebuah risalah yang membahas masalah tersebut.[74]
Tidak puas dengan jawaban Ibn Sina, al-Biruni pun mengirim lagi utusan untuk menyampaikan pandangannya. Demikianlah telah terjadi dialog ilmiah melalui surat dari dua pemikir raksasa Muslim abad ke-11 M ini. Dialogpun diteruskan oleh murid Ibn Sina, yang bernama Bahmanyar, seorang Zoroaster, ketika sang guru meninggal dunia. Yang barangkali perlu diperhatikan di sini adalah bagaimana seorang sarjana telah mampu secara bebas mengemukakan pendapatnya yang berbeda kepada seseorang yang otoritasnya begitu besar seperti Ibn Sina. Otoritas seorang guru juga masih bisa dipertanyakan oleh seorang murid, sehingga misalnya antara Hanbali (murid) dan Syafi’i (guru) telah berbeda pendapat dalam ratusan masalah, tapi toh baik Hanbali maupun Syafi’i masih menganggap masing-masing sebagai murid dan guru, terlepas dari jumlah perbedaan pendapat di antara mereka.

F. Penutup
Konsep masyarakat madani memiliki akar kesejarahan dalam tradisi Islam dan telah dipraktikkan sejak Nabi Muhammad membangun masyarakat Madinah. Banyak contoh tentang bagaimana ummat Islam telah mempraktikkan cita-cita masyarakat madani. Tetapi tentu saja bukan tujuan kita untuk mengemukakan sebanyak-banyaknya contoh tersebut. Yang jauh lebih penting bagi kita barangkali adalah bagaimana kita bisa mengambil manfaat dari apa yang telah mereka lakukan, untuk kita terapkan dalam kehidupan kita sekarang di dalam mewujudkan masyarakat madani Indonesia. Bahwa meskipun wacana “masyarakat madani” ini mungkin terasa masih baru, tetapi dari contoh tersebut di atas kita jadi tahu, bahwa sesungguhnya cita-cita masyarakat madani tersebut telah lama dipraktikkan oleh para pendahulu kita. Boleh jadi, wacana masyarakat madani ini telah didiskusikan dan dipraktikkan oleh orang-orang Islam, jauh sebelum orang-orang Barat membicarakannya. Contoh-contoh yang dikemukakan di atas pada umumnya terjadi pada masa-masa kejayaan Islam (abad ke-9 M s.d. 13 M). Saya tidak tahu persis, apakah kejayaan itu yang telah mempengaruhi munculnya sifat madani, atau sifat madani itu yang telah menimbulkan kejayaan. Apapun yang sebenarnya terjadi, jelas pada kita bahwa ada korelasi yang positif antara sifat madani ini dengan kejayaan sebuah bangsa.


DAFTAR PUSTAKA
Ali, Fahry, dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru, Bandung: Mizan, 1990, Cet. ke-2.

Barbadib, Imam, “Kata Pengantar”, dalam Hujair AH. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam: Membangun Masyarakat madani Indonesia, Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2003, Cet. ke-1.

Baso, Ahmad, Civil Society versus Masyarakat Madani: Arkeologi Pemikiran Civil Society dalam Islam Indonesia, Bandung: Pustaka Hidayah, 1999, Cet. ke-1.

Culla, Adi Suryadi, Masyarakat Madani: Pemikiran, Teori dan Relevansinya dengan Cita-cita Reformasi, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999, Cet. ke-1.

Dhakidae, Daniel, “Masyarakat Madani dalam Era Transisi Indonesia”, dalam M. Deden Ridwan dan Asep Gunawan, (Ed.), Demokratisasi Kekuasaan: Wacana Ekonomi dan Moral untuk Membangun Indonesia Baru, Jakarta: LSAF, 1999, Cet. ke-1.

Fakhry, Majid, “Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis”, diterjemahkan oleh Zaimul Am dari A Short Introduction to Islamic Philosophy, Theology and Mysticism, Bandung: Mizan, 2001, Cet. ke-1.

Hikam, Muhammad A.S., Demokrasi dan Civil Society, Jakarta: LP3ES, 1996, Cet. ke-1.

-------------------, “Nahdlatul Ulama, Civil Society dan Proyek Pencerahan”, pengantar dalam Ahmad Baso, Civil Society versus Masyarakat Madani: Arkeologi Pemikiran Civil Society dalam Islam Indonesia, Bandung: Pustaka hidayah, 1999, Cet. ke-1

-------------------, “Wacana Intelektual tentang Civil Society di Indonesia”, Jurnal Paramadina No. 2, Vol. 1, Tahun 1999.

Ibrahim, Anwar, “ Islam dan Pembentukan Masyarakat Madani” dalam Aswab Mahasin, dkk, (Ed.), Ruh Islam dalam Budaya Bangsa: Wacana Antar Agama dan Bangsa, (Jakarta: Yayasan Fastival Istiqlal, 1996), Cet. ke-1.

Kartanegara, Mulyadhi, Masyarakat Madani dalam Perspektif Budaya Islam, http://psikparamadina.blogspot.com, diakses pada 5 Mei 2009.

Madjid, Nurcholish, Pintu-pintu Menuju Tuhan, Jakarta: Paramadina, 1995, Cet. ke-2.

-------------------, “Menuju Masyarakat Madani”, Jurnal Ulumul Quran, No. 2, Vol VII, Tahun 1996.

-------------------, "Islam dan Politik: Suatu Tinjauan atas Prinsip-prinsip Hukum dan Keadilan”, Jurnal Paramadina, No. 1, Tahun 1998, h. 50.

-------------------, “Beberapa Pemikiran ke Arah Investasi Demokrasi”, dalam Mun’im A. Sirry (Ed.), Islam Liberalisme Demokrasi: Membangun Sinerji Warisan Sejarah, Doktrin dan Konteks Global, Jakarta: Paramadina, 2002, Cet. ke-1.

Prasetyo, Hendro, dkk., Islam dan Civil Society: Pandangan Muslim Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002, Cet. ke-1.

Rahardjo, M. Dawam, Intelektual Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa: Risalah Cendekiawan Muslim, (Bandung: Mizan, 1996) Cet. ke-3.

--------------------, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan Perubahan Sosial, Jakarta: LP3ES bekerjasama dengan LSAF, 1999, Cet. ke-1.

--------------------, “Masyarakat Madani di Indonesia: Sebuah Penjajakan Awal”, Jurnal Paramadina, Vol. 1, No. 2, Tahun 1999.

--------------------, “Muhammadiyah dalam Masyarakat Madani”, pengantar dalam Sazali, Muhammadiyah dan Masyarakat Madani: Independensi, Rasionalitas dan Pluralisme, Jakarta: Pusat Studi Agama dan Peradaban Muhammadiyah, 2005, Cet. ke-1.

Rumadi, “Ketika Civil Society Dipelintir”, Jurnal Tashwirul Afkar, No. 7 tahun 2000.

Sanaky, Hujair A.H., Paradigma Pendidikan Islam: Membangun Masyarakat madani Indonesia, Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2003, Cet. ke-1.

Sazali, Muhammadiyah dan Masyarakat Madani: Independensi, Rasionalitas dan Pluralisme, Jakarta: Pusat Studi Agama dan Peradaban Muhammadiyah, 2005, Cet. ke-1.

Syarif, M.M., (Ed.), “Para Filosof Muslim”, disunting oleh Ilyas Hasan dari History of Muslim Philosophy, Bandung: Mizan, 1998, Cet. ke-9


Tilaar, H.A.R., Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia: Strategi Reformasi Pendidikan Nasional, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999, Cet. ke-1.
[1] Tentang civil society sebagai masyarakat beradab atau masyarakat kota, lihat Nurcholish Madjid, “Menuju Masyarakat Madani”, Jurnal Ulumul Quran, No. 2, Vol VII, Tahun 1996, h. 51-55. Tentang civil society sebagai masyarakat utama, lihat M. Dawam Rahardjo, Intelektual Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa: Risalah Cendekiawan Muslim, (Bandung: Mizan, 1996) Cet. ke-3, h. 451
[2] Lihat misalnya hasil penelitian Hendro Prasetyo, dkk, Islam dan Civil Society: Pandangan Muslim Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002, Cet. ke-1, terutama h. 14-16 dan 106-194. Lihat juga Ahmad Baso, Civil Society versus Masyarakat Madani: Arkeologi Pemikiran Civil Society dalam Islam Indonesia, Bandung: Pustaka Hidayah, 1999, Cet. ke-1. Lihat juga Rumadi, “Ketika Civil Society Dipelintir”, Jurnal Tashwirul Afkar, No. 7 tahun 2000, h. 139-144.
[3] M. Dawam Rahardjo, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan Perubahan Sosial, Jakarta: LP3ES bekerjasama dengan LSAF, 1999, Cet. ke-1, 133.
[4] Hendro Prasetyo, dkk, Islam dan Civil Society …, h. 2.
[5] Ibid.
[6] Lihat Muhammad A.S. Hikam, “Wacana Intelektual tentang Civil Society di Indonesia”, Jurnal Paramadina No. 2, Vol. 1, Tahun 1999, h. 39-40.
[7] M. Dawam Rahardjo, “Masyarakat Madani di Indonesia: Sebuah Penjajakan Awal”, Jurnal Paramadina, Vol. 1, No. 2, Tahun 1999, h. 18.
[8] Adi Suryadi Culla, Masyarakat Madani: Pemikiran, Teori dan Relevansinya dengan Cita-cita Reformasi, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999, Cet. ke-1, h. 7. Lihat pula M. Dawam Rahardjo, Masyarakat Madani, Agama …, h. 134.
[9] M. Dawam Rahardjo, “Masyarakat Madani di Indonesia …, h. 9.
[10] Adi Suryadi Culla, Masyarakat Madani: Pemikiran …, h. 8.
[11] Daniel Dhakidae, “Masyarakat Madani dalam Era Transisi Indonesia”, dalam M. Deden Ridwan dan Asep Gunawan, (Ed.), Demokratisasi Kekuasaan: Wacana Ekonomi dan Moral untuk Membangun Indonesia Baru, Jakarta: LSAF, 1999, Cet. ke-1, h. 205.
[12] Ibid., h. 206.
[13] Ibid., h. 207.
[14] Uraian tentang masyarakat sipil dalam makalah ini selanjutnya dapat dilihat pada bagian yang membahas pandangan Muslim tradisionalis terhadap konsep civil society.
[15] Lihat Mulyadhi Kartanegara, Masyarakat Madani dalam Perspektif Budaya Islam, http:// psikparamadina.blogspot.com, diakses tanggal 5 Mei 2009, h. 6-7.
[16] M. Dawam Rahardjo, Masyarakat madani: Agama …, h. 134. M. Dawam Rahardjo mengkritik pandangan yang menyatakan bahwa membangun civil society harus dibarengi dengan proses demilitarisasi masyarakat. Menurut M. Dawam Rahardjo, lawan dari civil society bukanlan military society, melainkan—dalam konteks sekarang adalah— state atau negara. Sedangkan lawan dari military adalah civilian (bukan civil). Apa yang dimaksud dengan masyarakat militer hanyalah sebuah penyakit yang timbul dalam masyarakat politik. Lihat M. Dawam Rahardjo, “Masyarakat Madani di Indonesia …, h. 7
[17] Hendro Prasetyo, dkk, Islam dan Civil Society …, h. 78-79. Lihat juga M. Dawam Rahardjo, “Muhammadiyah dalam Masyarakat Madani”, pengantar dalam Sazali, Muhammadiyah dan Masyarakat Madani: Independensi, Rasionalitas dan Pluralisme, Jakarta: Pusat Studi Agama dan Peradaban Muhammadiyah, 2005, Cet. ke-1, h. x.
[18] Lihat M. Dawam Rahardjo, “Muhammadiyah dalam Masyarakat Madani …, h. x.
[19] Naskah pidato Anwar Ibrahim, “ Islam dan Pembentukan Masyarakat Madani” dimuat dalam Aswab Mahasin, dkk, (Ed.), Ruh Islam dalam Budaya Bangsa: Wacana Antar Agama dan Bangsa, Jakarta: Yayasan Fastival Istiqlal, 1996, Cet. ke-1, h. 18-24.
[20] Anwar Ibrahim, “Islam dan Pembentukan …, h. 22
[21] ولتكن منكم أمة يدعون إلى الخير ويأمرون بالمعروف وينهون عن المنكر وأولـئك هم المفلحون ■
§ كنتم خير أمة أخرجت للناس تأمرون بالمعروف وتنهون عن المنكر وتؤمنون بالله …
[22] Lihat Adi Suryadi Culla, Masyarakat Madani: Pemikiran …, h. 178 dan 183.
[23] Hendro Prasetyo, Islam dan Civil Society …, h. 11
[24] Ibid., h. 12. Tentang pemetaan pola pemikiran Islam di kalangan Muslim Indonesia, lihat antara lain Fahry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru, Bandung: Mizan, 1990, Cet. ke-2.
[25] Hendro Prasetyo, Islam dan Civil society …, h.
[26] Ibid.
[27] Ibid., h. 107
[28] Ibid., h. 108
[29] Lihat Muhammad A.S. Hikam, “Nahdlatul Ulama, Civil Society dan Proyek Pencerahan”, kata pengantar dalam Ahmad Baso, Civil Society versus Masyarakat Madani: Arkeologi Pemikiran Civil Society dalam Islam Indonesia, Bandung: Pustaka hidayah, 1999, Cet. ke-1, h. 9-14
[30] Ahmad Baso, Civil Society versus Masyarakat Madani … , h. 183
[31] Ibid., h. 184
[32] Hendro prasetyo, dkk., Islam dan Civil Society …, h. 163
[33] Ibid., h. 164
[34] M. Dawam Rahardjo, Masyarakat Madani, Agama …, h. 173
[35] Hendro prasetyo, dkk., Islam dan Civil Society …, h. 166
[36] Nurcholish Madjid, “Beberapa Pemikiran ke Arah Investasi Demokrasi”, dalam Mun’im A. Sirry (Ed.), Islam Liberalisme Demokrasi: Membangun Sinerji warisan Sejarah, Doktrin dan Konteks Global, Jakarta: Paramadina, 2002, Cet. ke-1, h. 281-282.
[37] Nurcholish Madjid, “Menuju Masyarakat Madani …, h. 52
[38] Sazali, Muhammadiyah dan Masyarakat Madani: Independensi, Rasionalitas dan Pluralisme, Jakarta: Pusat Studi Agama dan Peradaban Muhammadiyah, 2005, Cet. ke-1, h. 48.
[39] Nurcholish Madjid, “Beberapa Pemikiran ke Arah …, catatan kaki nomor 1, h. 281
[40] Nurcholish Madjid, "Islam dan Politik: Suatu Tinjauan atas Prinsip-Prinsip Hukum dan Keadilan”, Jurnal Paramadina, No. 1, Tahun 1998, h. 50.
[41] Yang dimaksud dengan masyarakat politik adalah organisasi-organisasi politik, partai atau parlemen. Masyarakat ekonomi adalah perusahaan, koorporasi bisnis atau organisasi yang bergelut dalam bidang produksi dan distribusi. Kedua kelompok ini secara langsung akan berhubungan dengan kekuasaan negara dan produksi sumber-sumber ekonomi. Sulit bagi mereka yang terlibat untuk berbagi kekuasaan dengan pihak-pihak lain. Mereka harus mengontrol dan mengelola kepentingan mereka sendiri. Oleh karena itu, kekuasaan kedua kelompok ini harus dikontrol dan menjadi sasaran penegakan civil society. Lihat Hendro Prasetyo, Islam dan Civil society …, h. 7
[42] Musyawarah terkait erat dengan konsep Islam bahwa manusia adalah makhluk fithrah yang suci dan bersih. Karena kesucian asalnya, maka manusia adalah makhluk hanîf, yakni selalu merindukan dan secara alami memihak kepada yang benar dan baik, dan oleh karenanya dia selalu mempunyai potensi untuk benar dan baik. Inilah yang menjadi dasar hak seseorang untuk didengar pendapatnya. Kemudian hak itu terefleksikan dalam adanya kewajiban orang lain untuk mendengar. “Didengar” dan “mendengar” adalah dasar mekanisme musyawarah. Sekalipun manusia itu fithri dan hanîf, namun dia juga bersifat lemah dan terbatas. Ini membuat manusia tidak mungkin pasti dan selamanya baik dan benar. Dia hanya potensial baik dan benar. Maka untuk membuat potensial baik dan benar itu menjadi aktual baik dan benar, seorang manusia tidak boleh hanya mengandalkan kemampuan dirinya sendiri. Ini adalah sikap tidak tahu diri dan sombong. Dia harus menyertai orang lain dalam mencari kebenaran, dan itulah musyawarah. Lihat Nurcholish Madjid, Pintu-pintu Menuju Tuhan, Jakarta: Paramadina, 1998, Cet. ke-2, h. 252-253.
[43] Sazali, Muhammadiyah dan Masyarakat Madani …, h. 54-56.
[44] Lihat Muhammad A.S. Hikam, Demokrasi dan Civil Society, Jakarta: LP3ES, 1996, Cet. ke-1, h. 3. Lihat pula H.A.R. Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia: Strategi Reformasi Pendidikan Nasional, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999, Cet. ke-1, h. 159.
[45] Ibid.
[46] Ibid., h. 160. Piagam Madinah secara lengkap dilampirkan dalam buku ini, h. 241-245.
[47] H.A.R. Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat …, h. 160-161.
[48] Imam Barbadib, “Kata Pengantar”, dalam Hujair AH. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam: Membangun Masyarakat madani Indonesia, Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2003, Cet. ke-1, h. x.
[49] Paparan pada bagian ini penulis kembangkan dari H.A.R. Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat …, h.168-176
[50] H.A.R. Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat …, h. 169.
[51] Ibid., h. 171-172
[52] Ibid., h. 172-174
[53] Ibid., h. 175-176
[54] Pengembangan bagian ini penulis kutip dari H.A.R. Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat …, h. 179-182
[55] H.A.R. Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat …, h. 180.
[56] Ibid., h. 181
[57] H.A.R. Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat …, h. 179-182
[58] Mulyadhi Kartanegara, Masyarakat Madani dalam …, h. 7.
[59] Ibid., h. 6-18
[60] Adib dalam hal ini dapat berarti Sastrawan atau budayawan. Adab dapat berarti sastra atau budaya. Menurut Mulyadhi Kartanegara, Adab arti dasarnya mengandung pengertian kesopanan atau etiket. Etiket atau kesopanan telah dikembangkan sedemikian rupa oleh masyarakat Muslim di kota-kota besar masa klasik, seperti Baghdad, Damaskus dan Kordoba untuk membedakan dirinya dari masyarakat yang masih sederhana yang terkesan kasar (rude) dan bersahaja (rustic). Dalam sejarah peradaban Islam, ditemukan bahwa betapa semakin besar sebuah kota, semakin “halus” dan “tinggi” tingkat keada-ban mereka. Dalam konteks pembangunan adab masyarakat kota (madani), para ulama besar berusaha keras untuk menyusun berbagai adab (etiket) dari hampir setiap tingkah laku manusia, seperti adab makan dan minum, adab nikah, dan adab mencari nafkah. Para adib juga berusaha untuk menyusun manual atau buku-buku yang berkaitan dengan berbagai macam adab seperti adab mencari ilmu, adab menulis, mengeritik, adab bertutur dan berdebat. Semua itu mereka lakukan untuk membangun dan memperhalus budi pekerti masyarakat kota, agar berbeda dengan masyarakat pedesaan. Dari usaha warga kota membangun karakteristik masyarakat kota yang ideal inilah maka muncul “adab,” yang dalam konteks Islam klasik diartikan sebagai pola-pola kehidupan yang telah diolah dengan baik (cultivated living) yang tumbuh sekitar istana dan pusat-pusat propinsi. Tentu saja adab dalam kebudaya-an Islam tidak terbatas pada adab dalam pengertian etiket itu saja, tetapi telah berkembang pada bentuk-bentuk yang lebih maju dan kompleks. Oleh karena itu, seorang adib pada masa ini dituntut untuk menja-di manusia kosmopolit, yang memiliki informasi yang komprehensif tentang berbagai aspek kehidupan ma-syarakat kota. Pengetahuannya harus luas, meliputi bukan saja syari’ah, tetapi juga penguasaan di bidang ilmu pengetahuan seperti biologi, geografi, filsafat dan sejarah, yang kesemuanya itu sangat dibutuhkan untuk meningkatkan “kehalusan” budi pekertinya dan kepekaan estetikanya. Namun, ilmu-ilmu tersebut dipelajari bukan untuk ilmu itu sendiri, tetapi untuk kepentingan adab juga. Ketika seorang adib mempela-jari biologi, ia tidak terutama tertarik untuk mempelajari struktur organisme hewan-hewan, karena ciri-ciri estetik dari berbagai cara untuk membuat rujukan-rujukan literer pada hewan-hewan yang diselidikilah yang menjadi perhatian utama mereka. Bahkan tidak jarang para adib ini mengambil berbagai pelajaran moral yang dapat mereka sarikan dari kehidupan hewan-hewan. Lihat Mulyadhi Kartanegara, Masyarakat Madani dalam …, h. 3-6.
[61] Mulyadhi Kartanegara, Masyarakat Madani dalam …, h. 8
[62] Lihat Majid Fakhry, “Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis”, diterjemahkan oleh Zaimul Am dari A Short Introduction to Islamic Philosophy, Theology and Mysticism, Bandung: Mizan, 2001, Cet. ke-1, h. 27.
[63] Mulyadhi Kartanegara, Masyarakat Madani dalam …., h. 10
[64] Ibid.
[65] Ibid., h. 11
[66] Ibid.
[67] Ibid.
[68] Ibid., h. 12
[69] Ibid.
[70] Ibid., h. 13
[71] Ibid.
[72] Kemasyhuran tentang kekikiran al-Kindi sama dengan kemasyhuran tentang keilmuannya. Keburukan al-Kindi digambarkan dalam karikatur al-Jahiz dalam bukunya, Kitab al-Bukhala. Betapapun al-Kindi hidup mewah di sebuah rumah, yang di dalam kebun rumahnya ia memelihara banyak binatang langka, ia hidup menjauh dari masyarakat, bahkan dari tetangga-tetangganya. Lihat Ahmad Fuad el-Ehwani, “Al-Kindi”, penerjemah Ahmad Muslim dan Yustiono, dalam M. M. Syarif , (Ed.), “Para Filosof Muslim”, disunting oleh Ilyas Hasan dari History of Muslim Philosophy, Bandung: Mizan, 1998, Cet. ke-9, h. 13.
[73] Mulyadhi Kartanegara, Masyarakat Madani dalam …., h. 17
[74] Ibid., h. 18