Translate

Selasa, Maret 10, 2009

MENYIKAPI HADIS-HADIS
YANG SALING BERTENTANGAN

Oleh:
Muhamad Taufik Hidayat

Hadis diyakini oleh sebagian besar umat Islam sebagai sumber kedua ajaran agama Islam setelah al-Qur'an। Keyakinan ini mengharuskan umat Islam menjadikan hadis sebagai pedoman hidup, karena ia juga merupakan tuntunan Allah। Sebagai salah satu sumber ajaran Islam, secara prinsip hadis tidak mungkin bertentangan dengan dalil lain, baik dengan sesama hadis, dalil al-Qur`an maupun rasio, sebab kebenaran tidak akan bertentangan dengan kebenaran। Seandainya ada pertentangan, maka hal itu hanya tampak di luarnya saja.


Berangkat dari prinsip ini, maka timbul upaya para ulama untuk menyelesaikan persoalan ketika mendapati teks-teks hadis yang tampak bertentangan। Hadis-hadis yang tampak bertentangan ini biasa disebut dengan istilah Ikhtilâf atau Mukhtalif al-Hadîs। Mukhtalif artinya yang bertentangan atau berselisih. Mukhtalif AI-Hadis artinya hadis yang sampai kepada kita, namun saling bertentangan maknanya satu sama lain. Al-Qaththan mengartikan mukhtalif al-hadis sebagai hadis yang diterima, namun pada zahirnya kelihatan bertentangan dengan hadis maqbul lainnya dalam maknanya, sekalipun memungkinkan untuk dikompromikan antara keduanya.[1] Sementara menurut Nuruddin 'Itr, hadis-hadis mukhtalif ialah hadis-hadis yang secara lahiriah bertentangan dengan kaidah-kaidah yang baku, sehingga mengesankan makna yang batil atau bertentangan dengan nas-nas syara yang lain।[2]


Dalam kajian hadis, masalah ini dibahas oleh Ilmu Mukhtalîf al-Hadîs, salah satu cabang Ulum al-Hadis। Ilmu mukhtalif al-Hadis adalah Ilmu yang membahas hadis-hadis yang secara tekstual/lahiriah saling bertentangan, namun hakikatnya bisa dikompromikan, baik dengan cara memberi taqyid (batasan) kepada yang mutlaq (tak terbatas) atau memberi takhsis (pengkhususan) kepada yang `am (umum), atau membawanya kepada berbagai konteks peristiwa atau cara yang lain.[3] Di samping hadis-hadis yang mukhtalif, ada juga yang disebut hadis musykil। Muhammad 'Ajjaj al-Khathib mendefiniskan ilmu Ilmu Mukhtalîf al-Hadîs wa Musykiluh sebagai:


الْعِلْمُ الَّذِيْ يَبْحَثُ فِى اْلأَحَادِيْثِ الَّتِيْ ظَاهِرُهَا مُتَعَارِضٌ فَيُزِيْلُ تَعَارُضَهَا أَوْ يُوَفِّقُ بَيْنَهَا كَمَا يَبْحَثُ فِى اْلأَحَادِيْثِ الَّتِيْ يَشْكُلُ فَهْمُهَا أَوْ تَصَوُّرُهَا فَيَدْفَعُ أَشْكَالَهَا وَيُوَضِّحُ حَقِيْقَتَهَا


Ilmu yang membahas hadis-hadis yang tampaknya saling bertentangan, lalu menghilangkan pertentangan itu, atau mengkompromikannya, di samping membahas hadis yang sulit dipahami atau dimengerti, lalu menghilangkan kesulitan itu dan menjelaskan hakikatnya।[4]

Ilmu Mukhtalif Al-Hadis ini telah mendapat perhatian serius sejak masa sahabat, yang menjadi rujukan utama segala persoalan setelah Rasulullah वफात.।Kajian tentang hadis-hadis yang bertentangan ini merupakan hal yang sangat penting bagi para pengkaji hadis। Tidak ada yang mahir dalam bidang ini, kecuali imam Hadis yang tajam analisisnya।


Berbagai hadis yang mukhtalif telah dihimpun oleh ulama dalam kitab-kitab khusus। Sejarah mencatat bahwa ulama yang mempelopori kegiatan penghimpunan itu adalah Imam al-Syafi`i dengan karyanya Ikhtilaf al-Hadis. Disusul kemudian oleh Ibn Qutaibah dengan kitabnya Ta'wil Mukhtalif al-Hadis. Lalu al-Thahawi dengan judul kitabnya Musykil al-Asar, kemudian Ibnu Khuzaimah, Ibn Jarir dan Ibn al-Jauzi.


Para ulama sependapat bahwa hadis-hadis yang tampak bertentangan harus diselesaikan sehingga hilanglah pertentangan itu. Hanya saja dalam menyelesaikan pertentangan tersebut, ulama berbeda pendapat. Makalah sederhana ini akan coba membahas—meskipun sepintas—bagaimana menyikapi hadis-hadis yang tampak bertentangan itu.

A. Menyelesaikan Hadis-hadis yang Bertentangan


Pada prinsipnya, nas-nas syari’at tidak mungkin saling bertentangan, sebab kebenaran tidak akan bertentangan dengan kebenaran। Seandainya ada pertentangan, maka hal itu hanya kelihatan dari luar saja. Kewajiban kita adalah menghilangkan pertentangan itu dan mencari solusinya, sehingga pertentangan tersebut hilang. Ada dua jalan yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan hadis yang bertentangan, yaitu:
a। Thariqah al-Jam’i. Bila memungkinkan untuk menggabungkan dan mengkompromikan antara keduanya, maka keduanya dikompromikan dan wajib diamalkan.
b. Thariqah al-Tarjih. Bila tidak memungkinkan untuk dikompromikan, maka:
1) Jika diketahui salah satunya nasikh dan yang lainnya mansukh, maka kita dahulukan dan amalkan yang nasikh, dan kita tinggalkan yang mansukh.
2) Jika tidak diketahui nasikh dan mansukhnya, maka kita cari mana yang lebih kuat di antara keduanya lalu kita amalkan, dan kita tinggalkan yang lemah.
3) Jika tidak memungkinkan untuk ditarjih, maka tidak boleh diamalkan keduanya sampai jelas dalil yang lebih kuat.[5]

1। Menggabungkan (al-Jam’u)
Apabila pertentangan yang tampak dalam hadis dapat dihilangkan dengan cara menggabungkan atau menyesuaikan keduanya sehingga keduanya dapat diamalkan, maka hal itu lebih baik daripada mentarjihkan antara keduanya। Sebab, pentarjihan berarti mem­prioritaskan salah satu dari keduanya dan mengabaikan yang lainnya.


Menyesuaikan dan menggabungkan hadis-hadis sahih yang "tampak" bertentangan maksudnya adalah meletakkan masing-masing hadis sesuai dengan tempatnya sehingga menjadi satu kesatuan yang saling melengkapi, tidak saling bertentangan dan tidak berbeda-beda.[6]
Namun demikian, penggabungan itu berlaku hanya pada hadis-hadis sahih yang tampak bertentangan। Sedangkan hadis-hadis yang tidak diketahui asal-usulnya, atau hadis tersebut maudu`/palsu maka tidak perlu dihiraukan, kecuali untuk menjelaskan kepalsuan dan kebatilannya.


Ada tiga kasus hadis yang tampak bertentangan yang dibahas dalam makalah ini, yaitu: (1) hadis tentang hukum bagi perempuan melihat laki-laki; (2) hadis ziarah kubur bagi perempuan; dan (3) hadis `azl (senggama terputus).

a. Hadis tentang Perempuan Melihat Laki-laki
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ حَدَّثَنَا ابْنُ الْمُبَارَكِ عَنْ يُونُسَ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ حَدَّثَنِي نَبْهَانُ مَوْلَى أُمِّ سَلَمَةَ عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ كُنْتُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعِنْدَهُ مَيْمُونَةُ فَأَقْبَلَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ وَذَلِكَ بَعْدَ أَنْ أُمِرْنَا بِالْحِجَابِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ احْتَجِبَا مِنْهُ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَيْسَ أَعْمَى لَا يُبْصِرُنَا وَلَا يَعْرِفُنَا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَفَعَمْيَاوَانِ أَنْتُمَا أَلَسْتُمَا تُبْصِرَانِهِ

Dari Ummu Salamah, katanya, saya dan Maimunah bersama Rasulullah SAW, lalu Ibnu Ummu Maktum datang. Waktu itu telah turun perintah tentang hijab. Rasulullah berkata kepada kami, "Berhijablah kalian di hadapannya!" Kami bertanya, "Ya Rasulullah, bukankah dia buta, tidak bisa melihat dan mengenali kami?" Nabi SAW menjawab, "Apakah kalian berdua juga buta? Bukankah kalian dapat melihatnya?"[7]

Hadis ini—meskipun dianggap sahih oleh al-Turmudzi—sebenarnya lemah, karena di dalam sanadnya terdapat Nabhan, maula Ummi Salamah. Ia seorang yang tidak dikenal identitasnya (majhul), tidak dianggap tsiqah (terpercaya) kecuali oleh Ibnu Hibban. Al-Dzahabi memasukannya ke dalam kelompok perawi yang dha’if.[8]


Dalam keterangan hadis di atas, Abu Daud menyatakan bahwa ketentuan di atas—berhijab di depan laki-laki, sekalipun laki-laki itu buta—berlaku bagi para istri nabi. Di luar itu kita bisa melihat kasus beriddahnya Fathimah bin Qais di rumah Ibnu Ummi Maktum. Nabi mengatakan kepadanya, “Beriddahlah di rumah Ibnu Ummi Maktum karena ia seorang laki-laki buta. Kamu dapat menanggalkan bajumu di sisinya”.[9]


Hadis di atas bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari yang dinilai shahih, yang membolehkan seorang perempuan melihat laki-laki yang bukan mahramnya.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتُرُنِي بِرِدَائِهِ وَأَنَا أَنْظُرُ إِلَى الْحَبَشَةِ يَلْعَبُونَ فِي الْمَسْجِدِ

Dari Aisyah, katanya, Nabi SAW menutupiku dengan selendangnya ketika aku sedang melihat orang-orang Habasyah sedang bermain di masjid.[10]

Mengutip al-Qâdhi Iyadh, Yusuf Qardhawi menyatakan bahwa hadis ini membolehkan perempuan melihat pekerjaan yang dilakukan oleh kaum laki-laki yang bukan mahram. Adapun yang tidak boleh adalah memandang bagian-bagian (tubuh) yang menarik dan menikmatinya. Oleh karena itu, al-Bukhari memasukkan hadis ini ke dalam bab "Pandangan Perempuan kepada Orang Habsyi dan Lainnya dengan Cara yang Tidak Mencurigakan".[11]


Hal ini dikuatkan oleh hadis riwayat Muslim dari Fatimah binti Qais, bahwa Rasulullah berkata kepadanya, ketika dia diceraikan oleh suaminya,
اِعْتَدِّى عِنْدَ ابْنِ أُمِّ مَكْتُوْمٍ فَإِنَّهُ رَجُلٌ أَعْمَى تَضَعِيْنَ ثِيَابَكِ

Tinggallah selama masa iddahmu di rumah Ibnu Ummu Maktum. Ia seorang buta. Oleh karena itu, kamu dapat menanggalkan bajumu karena ia tidak melihat.[12]


Sebelumnya, Rasulullah pernah menyarankan kepadanya untuk melewati masa iddahnya di rumah Ummu Syarik. Namun kemudian beliau berkata, "Ia seorang perempuan yang sering dikunjungi para sahabat. Sebaiknya kamu tinggal di rumah Ibnu Ummu Maktum".
Dengan demikian, hadis Ummu Salamah tidak bisa dibandingkan dengan dengan hadis-hadis shahih, karena ia termasuk hadis da'if. Meskipun demikian, menurut al-Qardawi, untuk mempermudah permasalahan, tidak ada salahnya berusaha menyesuaikan antara hadis yang da'if dan yang sahih, meskipun bukan merupakan suatu keharusan.[13]


Dalam mengomentari hadis Ummu Salamah di atas, seperti dikutip al-Qardhawi, Imam al-Qurthubi menyatakan,


Kalau kita mengandalkan kesahihannya, hal itu menunjukkan sikap keras Rasulullah atas istri-istrinya dalam menjaga kehormatan mereka, sebagaimana dalam masalah hijab, seperti yang disinyalir oleh Abu Daud dan ulama hadis lainnya. Oleh karena itu, yang menjadi pegangan adalah makna hadis shahih bahwa Rasulullah memerintahkan Fathimah binti Qais untuk melewati masa iddahnya di rumah Ummu Syarik, lalu beliau bersabda, “Tinggallah selama masa iddahmu di rumah Ibn Ummu Maktum. Ia seorang buta. Oleh karena itu, engkau dapat menanggalkan bajumu karena ia tidak melihat”.[14]


Al-Qurthubi menyatakan bahwa sebagian ulama menjadikan hadis ini sebagai dalil bahwa perempuan boleh melihat bagian tubuh laki-laki, sebagaimana yang boleh dilihat laki-laki atas perempuan. Seperti kepala dan telinga. Sementara bagian yang termasuk aurat tetap tidak boleh.[15]


Rasulullah untuk berpindah dari rumah Ummu Syarik ke rumah Ibn Ummu Maktum, karena hal itu lebih baik baginya, mengingat rumah Ummu Syarik sering dikunjungi orang sehingga akan banyak orang yang melihatnya. Sementara di rumah Ibnu Ummu Maktum, tidak ada yang melihatnya sehingga lebih mudah untuk menundukkan pandangan terhadap Ibn Ummu Maktum. Oleh karena itu Nabi mengizinkan melakukan hal itu.

b. Hadis yang Berkaitan dengan Ziarah Kubur bagi Perempuan

Di antara hadis-hadis yang tampak bertentangan adalah hadis-hadis yang melarang perempuan untuk ziarah kubur, seperti hadis berikut,


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ زَوَّارَاتِ الْقُبُورِ
Dari Abu Hurairah r।a., bahwa Rasulullah SAW melaknat para perempuan yang berziarah ke kubur.[16]


Dalam keterangan hadis di atas disebutkan bahwa menurut Abu Isa, hadis ini adalah hadis hasan shahih. Sebagian ulama memandang bahwa hadis ini ada sebelum adanya kebolehan Nabi SAW dalam masalah ziarah kubur. Ketika nabi membolehkan, maka kebolehan itu berlaku bagi laki-laki dan perempuan. Sebagian ulama lagi berpendapat bahwa ziarah kubur dimakruhkan bagi perempuan hanya karena sedikitnya kesabaran mereka dan besarnya kedukaan mereka.[17]
Pada sisi lain, ada beberapa hadis yang tampak berlwanan dengan hadis di atas, yang darinya dapat dipahami adanya kebolehan berziarah kubur bagi perempuan। Di antaranya adalah sabda Rasulullah SAW,


عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنِّي كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا

Dari Abdullah bin Buraidah, dari bapaknya, katanya, Rasulullah SAW bersabda, “Aku pernah melarang kalian berziarah kubur. Adapun sekarang, berziarahlah”.[18]

عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا فَإِنَّهَا تُزَهِّدُ فِي الدُّنْيَا وَتُذَكِّرُ الْآخِرَةَ

Dari Ibnu Mas’ud, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Aku pernah melarang kalian menziarahi kuburan. Adapun sekarang, berziarahlah! Sesungguhnya berziarah kubur itu membuat zuhud terhadap dunia dan mengingatkan tentang akhirat.[19]

Dalam kedua hadis di atas, izin itu mencakup perempuan।


عن عائشة قالت: كَيْفَ أَقُولُ لَهُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ قُولِي السَّلَامُ عَلَى أَهْلِ الدِّيَارِ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ وَيَرْحَمُ اللَّهُ الْمُسْتَقْدِمِينَ مِنَّا وَالْمُسْتَأْخِرِينَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لَلَاحِقُونَ


Dari Aisyah, dia bertanya, “Ya Rasulullah, apa yang harus saya ucapkan kepada mereka (apabila berziarah kubur)?” Katakanlah, “Salam sejahtera atas penduduk kubur, baik kaum mukminin maupun muslimin. Semoga Allah merahmati kita semua, yang telah meninggal maupun yang tertinggal. Kami insya Allah akan menyusulkalian”.[20]

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِامْرَأَةٍ تَبْكِي عِنْدَ قَبْرٍ فَقَالَ اتَّقِي اللَّهَ وَاصْبِرِي قَالَتْ إِلَيْكَ عَنِّي فَإِنَّكَ لَمْ تُصَبْ بِمُصِيبَتِي وَلَمْ تَعْرِفْهُ

Dari Anas, bahwa Nabi SAW melewati seorang perempuan yang sedang menangis di kuburan. Nabi berkata, "Takutlah kepada Allah, dan bersabarlah". Perempuan itu menjawab, "Janganlah dekati aku. Engkau tidak merasakan musinah yang aku alami". (tampaknya ia tidak mengenal Nabi SAW).[21]

Dalam hadis di atas, Nabi menyatakan ketidaksukaannya atas sikap perempuan tersebut yang tidak bersabar atas musibah, tetapi Nabi tidak melarang berziarah kubur.
Meskipun hadis-hadis yang membolehkan berziarah kubur itu lebih shahih dan lebih banyak tinimbang hadis-hadis yang melarangnya, tetapi menggabukannya dan menyesuaikannya satu sama lain masih dimungkinkan, yaitu dengan memahami kata "laknat” yang disebutkan dalam hadis pertama. Menurut al-Qurthubi, laknat ditujukan kepada perempuan yang selalu atau terlalu sering berziarah, sebagaimana terlihat dari penggunaan kata "zawwârât" yang menunjukkan "sering". Menurut al-Qurthubi, boleh jadi alasnnya adalah dampaknya atas hak-hak suami yang terabaikan, manampakkan aurat (tabarruj), dan meratapi yang sudah meninggal. Oleh karena itu, jika semua itu dapat dihindari, tidak ada salahnya memberikan izin kepada para perempuan untuk berziarah kubur. Sebab, masalahnya mengingat kematian diperlukan oleh laki-laki dan perempuan.[22]
Jadi, hadis pertama di atas dapat dikumpulkan dengan hadis kedua. Pada hadis pertama disebutkan bahwa yang dilaknat adalah zawwârât (perempuan-perempuan yang terlalu sering berziarah kubur). Ini berarti ada kemungkinan perempuan tersebut telah meninggalkan kewajibannya yang lain, hanya karena terlalu sering berziarah. Itulah yang menyebabkan mengapa dilarang oleh Nabi. Analisis seperti merupakan suatu analisis yang digunakan oleh Ilmu Mukhtalif al-Hadis, yaitu pertentangan yang terjadi antara hadis-hadis itu dibawa kepada konteks peristiwa masing-masing. Karena peristiwanya berbeda, maka tuntunan terhadap peristiwa itu juga berbeda.
Menurut al-Syaukani, seperti dikutip al-Qardhawi, pendapat inilah yang seharusnya dijadikan landasan dalam penggabungan hadis-hadis yang "tampaknya" bertentangan. Apabila penggabungan itu tidak memungkinkan, barulah dilakukan pentarjihan, yaitu dengan menguatkan salah satu dari keduanya dengan berbagai alasan pentarjihan yang ditetapkan para ulama.[23]

c. Hadis-hadis tentang `Azl (Senggama Terputus)
Adapun hadisnya adalah sebagai berikut:
عَنْ جَابِرٍ قَالَ كُنَّا نَعْزِلُ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْقُرْآنُ يَنْزِلُ
Dari Jabir r.a. Katanya, "Kami melakukan `azl pada masa Nabi SAW. Sementara al-Quran masih turun.[24]

عَنْ جَابِرٍ قَالَ كُنَّا نَعْزِلُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَلَغَ ذَلِكَ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يَنْهَنَا
Dari Jabir r.a. Katanya, "Kami melakukan 'azl pada masa Rasulullah SAW. Lalu hal itu sampai kepada Nabi SAW. Namun beliau tidak melarangnya.[25]

عَنْ جَابِرٍ أَنَّ رَجُلًا أَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّ لِي جَارِيَةً هِيَ خَادِمُنَا وَسَانِيَتُنَا وَأَنَا أَطُوفُ عَلَيْهَا وَأَنَا أَكْرَهُ أَنْ تَحْمِلَ فَقَالَ اعْزِلْ عَنْهَا إِنْ شِئْتَ فَإِنَّهُ سَيَأْتِيهَا مَا قُدِّرَ لَهَا فَلَبِثَ الرَّجُلُ ثُمَّ أَتَاهُ فَقَالَ إِنَّ الْجَارِيَةَ قَدْ حَبِلَتْ فَقَالَ قَدْ أَخْبَرْتُكَ أَنَّهُ سَيَأْتِيهَا مَا قُدِّرَ لَهَا
Dari Jabir r.a. bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah SAW dan berkata, "Saya mempunyai seorang budak perempuan yang melayani kami dan menyirami kebun kurma kami. Saya suka "mendatanginya" (menyetubuhinya), sedangkan saya tidak menginginkannya hamil. Beliau bersabda, "Jika mau, lakukanlah 'azl. Meskipun bisa jadi akan tetap datang kepadanya apa yang telah ditetapkan baginya.[26]



عَنْ ابْنِ مُحَيْرِيزٍ قَالَ رَأَيْتُ أَبَا سَعِيدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَسَأَلْتُهُ فَقَالَ خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي غَزْوَةِ بَنِي الْمُصْطَلِقِ فَأَصَبْنَا سَبْيًا مِنْ سَبْيِ الْعَرَبِ فَاشْتَهَيْنَا النِّسَاءَ فَاشْتَدَّتْ عَلَيْنَا الْعُزْبَةُ وَأَحْبَبْنَا الْعَزْلَ فَسَأَلْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَا عَلَيْكُمْ أَنْ لَا تَفْعَلُوا مَا مِنْ نَسَمَةٍ كَائِنَةٍ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ

Kami berperang bersama Rasulullah pada perang Bani al-Mushthaliq dan memperoleh tawanan perempuan Arab. Ketika itu kami sangat menginginkan perempuan, dan kami telah lama berpisah dengan istri-istri kami. Dan kami bermaksud melakukan ‘azl, lalu kami tanyakan kepada Rasulullah SAW. Rasulullah menjawab, “Tidak ada salahnya kalian melakukannya. Sesungguhnya Allah telah menetapkan apa yang hendak diciptakan-Nya sampai hari kiamat.[27]

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ قَالَتْ الْيَهُودُ الْعَزْلُ الْمَوْءُودَةُ الصُّغْرَى قَالَ أَبِي وَكَانَ فِي كِتَابِنَا أَبُو رِفَاعَةَ بْنُ مُطِيعٍ فَغَيَّرَهُ وَكِيعٌ وَقَالَ عَنْ أَبِي مُطِيعِ بْنِ رِفَاعَةَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَذَبَتْ يَهُودُ إِنَّ اللَّهَ لَوْ أَرَادَ أَنْ يَخْلُقَ شَيْئًا لَمْ يَسْتَطِعْ أَحَدٌ أَنْ يَصْرِفَهُ

Dari Abu sa’id, katanya, "Orang-orang Yahudi berpendapat bahwa ‘azl hampir sama dengan mengubur hidup-hidup bayi perempuan. Nabi SAW bersabda, “Kaum Yahudi telah berdusta. Sesungguhnya Allah apabila bermaksud menciptakan sesuatu maka tidak ada seorangpun yang mampu menghalanginya.[28]

أَنَّ رَجُلًا قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ لِي جَارِيَةً وَأَنَا أَعْزِلُ عَنْهَا وَأَنَا أَكْرَهُ أَنْ تَحْمِلَ وَأَنَا أُرِيدُ مَا يُرِيدُ الرِّجَالُ وَإِنَّ الْيَهُودَ تُحَدِّثُ أَنَّ الْعَزْلَ مَوْءُودَةُ الصُّغْرَى قَالَ كَذَبَتْ يَهُودُ لَوْ أَرَادَ اللَّهُ أَنْ يَخْلُقَهُ مَا اسْتَطَعْتَ أَنْ تَصْرِفَهُ

Seorang laki-laki bertanya, “Ya Rasulullah, aku memiliki seorang budak perempuan. Aku ingin melakukan seperti apa yang dilakukan laki-laki, tetapi tidak menginginkan kehamilan. Aku bermaksud melakukan ‘azl, namun orang-orang Yahudi mengatakan bahwa hal itu sama dengan mengubur anak perempuan hidup-hidup. Nabi SAW bersabda, “Kaum Yahudi telah berdusta. Sesungguhnya Allah apabila bermaksud menciptakan sesuatu maka tidak ada seorangpun yang mampu menghalanginya.[29]

Hadis di atas bertentangan dengan hadis:
عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُعْزَلَ عَنْ الْحُرَّةِ إِلَّا بِإِذْنِهَا
Dari Umar bin Khaththab, katanya, Rasulullah SAW melarang melakukan `azl terhadap perempuan yang merdeka, kecuali sezzinnya.[30]

Hadis-hadis sebelumnya secara eksplisit menunjukkan kebolehan `azl. Kemudian hadis kelompok kedua menunjukkan ketidaksenangan Nabi pada perbuatan `azl.
Dalam hal ini al-Qardawi menganalisis hadis-hadis di atas dengan mengemukakan pendapat para ulama. Ada ulama yang melemahkan hadis-hadis tentang dibolehkannya melakukan `azl dan menguatkan hadis-hadis yang melarangnya. Namun ada pula yang berpendapat sebaliknya, melemahkan hadis yang melarang dan menguatkan hadis yang membolehkan melakukan `azl.
Al-Baihaqi menyatakan bahwa perawi yang membolehkan `azl jumlahnya lebih banyak dan secara kualitas lebih terpercaya, di samping bahwa perbuatan tersebut juga banyak dilakukan para sahabat, Sa'ad bin Abi Waqqas, Zaid bin Tsabit, Jabir bin 'Abdillah, Ibnu 'Abbas, Abu Ayyub al-Anshari dan lain-lain. Sedangkan keengganan sebagian sahabat untuk membolehkannya adalah karena `azl itu termasuk makruh tanzih, tetapi tidak makruh tahrim.

B. Nasikh Mansukh dan Tarjih
Menukil pendapat al-Hafiz al-Baihaqi, Yusuf al-Qardawi mengemukakan bahwa apabila terhadap dua hadis yang tampak bertentangan tidak dapat dilakukan penggabungan, maka dapat ditempuh dua jalan: (1) nasikh mansukh dan (2) tarjih.

1. Nasikh Mansukh
Nasikh menurut bahasa mempunyai dua makna, menghapus dan menukil, sehingga seolah-olah yang menasakh itu telah menghapuskan yang mansukh, lalu memindahkan atau menukilkan kepada hukum yang lain. Sedangkan menurut istilah, nasikh adalah pengangkatan yang dilakukan oleh penetap syariat terhadap suatu hukum yang datang terdahulu dengan hukum yang datang kemudian.[31]
2. Tarjih
Tarjih merupakan tahapan penyelesaian terhadap hadis-hadis yang tampaknya bertentangan, jika al-jam`u atau penggabungan tidak bisa dilakukan. Tarjih berarti memenangkan salah satu dari dua hadis atau lebih yang tampak bertentangan, dengan pelbagai alasan pentarjihan yang telah ditentukan oleh para ulama.
Tarjih ditempuh bila hadis yang bertentangan tersebut tidak memungkinkan untuk dikompromikan. Maka:
a. Jika diketahui salah satunya nasikh dan yang lain mansukh, maka kita dahulukan dan amalkan yang nasikh, dan kita tinggalkan yang mansukh.
b. Jika tidak diketahui nasikh dan mansukhnya, maka kita cari mana yang lebih kuat di antara keduanya lalu kita amalkan, dan kita tinggalkan yang lemah.
c. Jika tidak memungkinkan untuk ditarjih, maka tidak boleh diamalkan keduanya sampai jelas dalil yang lebih kuat.[32]

3. Cara Mengetahui Nasikh dan Mansukh
Nasikh dan mansukh dalam hadits dapat diketahui dengan salah satu dari beberapa hal berikut ini:[33]
a. Pernyataan Rasulullah, seperti sabda Nabi,
كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا فَإِنَّهَا تُذَكِّرُكُمْ الْآخِرَةَ
Aku dulu telah melarang kalian untuk berziarah kubur. Maka sekarang berziarahlah kar dapat mengingatkanmu akan akhirat.[34]

b. Perkataan sahabat
c. Mengetahui sejarah, seperti hadis Syaddad bin Aus
اَفْطَرَ الْحَاجِمُ وَالْمَحْجُوْمُ
Orang yang membekam dan yang dibekam batal puasanya.[35]

Hadis ini dinasakh oleh hadis Ibnu Abbas, bahasanya Rasulullah berbekam sedang beliau tengah ihram dan berpuasa. Dalam salah satu jalur sanad Syaddad dijelaskan bahwa hadis itu diucapkan pada tahun 8 hijriyah ketika terjadi pembukaan kota Mekkah.sedangkan ibnu abbas menemani Rasulullah dalam keadaan ihram pada saat haji wada’ tahun 10 hijriyah.

d. Ijma Ulama. Seperti hadis yang berbunyi,
مَنْ شَرِبَ الْخَمْرَ فَاجْلِدُوْهَ فَاِنْ عَادَ فِى رَابِعَةِ فَاقْتُلُوْهُ
Orang yang meminum khamr, maka cambuklah dia. Dan jika kembali mengulangi yang keempat kalinya, maka bunuhlah dia.[36]

Imam Nawawi menyatakan bahwa ijma ulama menunukkan adanya nasikh terhadap hadis ini. Ijma memang tidak bisa dinasakh dan tidak bisa menasakh, tetapi menunjukkan adanya nasikh.[37]

4. Pentingnya Ilmu Nasikh dan Mansukh Hadis
Mengetahui nasikh-mansukh merupakan suatu keharusan bagi siapa saja yang ingin mengkaji hukum-hukum syariah, karena siapapun tidak mungkin dapat menyimpulkan suatu hukum tanpa mengetahui dalil-dalil nasikh dan mansukh. Oleh sebab itu para ulama sangat memperhatikan ilmu tersebut dan menganggapnya sebagai satu ilmu yang sangat penting dalam bidang ilmu hadis.
Mereka mendifinisikan Ilmu Nasikh dan Mansukh sebagai ilmu yang membahas tentang hadis-hadis yang bertentangan yang tidak mungkin dikompromikan, dimana salah satu hadis dihukumi sebagai nasikh dan yang lain sebagai mansukh. Hadis yang dahulu disebut mansukh, dan hadis yang datang kemudian menjadi nasikh".
Di kalangan ahli hadis terjadi perbedaan pendapat tentang adanya naskh (penghapusan). Sebagian menyatakan tidak ada naskh, sedangkan yang lain menyatakan ada naskh dalam hadis Nabi. Dalam hal ini, apabila ada dua hadis yang saling bertentangan tidak bisa digabungkan, sementara diketahui mana hadis yang diucapkan lebih dahulu dan mana yang kemudian, maka hadis yang datang lebih dahulu dinaskh (dihapus kandungannya) oleh hadis yang datang kemudian. Hadis yang datang belakangan (nasikh) yang diamalkan, sementara hadis yang datangnya lebih awal (mansukh) ditinggalkan.
Namun demikian, menurut Yusuf al-Qardawi, kebanyakan hadis yang diasumsikan mansukh (dihapus), apabila diteliti lebih jauh, ternyata tidaklah demikian. Sebab di antara hadis-hadis tersebut ada yang dimaksudkan sebagai `azimah (anjuran melakukan sesuatu walaupun berat), dan ada pula yang dimaksudkan sebagai rukhsah (peluang untuk memilih yang lebih ringan pada suatu ketentuan). Karena itu, kedua-duanya mengandung kadar ketentuan yang berbeda, sesuai dengan kedudukannya masing-masing. Demikian juga adakalanya sebagian hadis bergantung pada situasi tertentu, sementara yang sebagiannya lagi bergantung pada situasi lainnya. Jelas bahwa adanya perbedaan situasi seperti itu, tidak berarti adanya penghapusan atau naskh.
Naskh—sebenarnya juga merupakan salah satu cara tarjih—secara teoritis menjadi kajian Ilmu Hadis. Bahkan banyak pakar hadis yang telah menyusun kitab-kitab tentang hadis-hadis yang nasikh maupun mansukh. Istilah nasikh -mansukh juga dipakai dalam Ilmu Usul al-Fiqih. Hanya saja menurut al-Qardawi, hadis-hadis yang diklaim ulama telah mansukh, bila diteliti lebih lanjut tidaklah selalu menunjukkan ke-mansukh-kannya untuk kurun waktu yang tidak terhingga, tetapi lebih merupakan hadis yang sebenarnya berkait dengan peristiwa-peristiwa tertentu.
Jadi, meskipun secara eksplisit, al-Qardawi tidak menolak adanya naskh, namun agaknya ia lebih condong pada pendapatnya yang terakhir ini—menolak naskh atau mansukh. Dalam bukunya, al-Madkhal li Dirasah al-Sunnah al Nabawiyah, al-Qardhawi tidak mengemukakan satu contoh pun hadis yang mansukh.

5. Contoh Hadis-hadis yang Nasikh Mansukh
a. Orang Junub Tidur Tanpa Mandi
حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ أَبِي خَالِدٍ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ عَنِ الأََسْوَدِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنَامُ وَهُوَ جُنُبٌ وَلاَ يَمَسُّ مَاءً
Diriwayatkan dari Aisyah bahwa Rasulullah SAW tidur dalam keadaan junub dan tidak menyentuh air.[38]

Hadis ini menunjukkan bahwa orang junub boleh tidur tanpa mandi atau berwudlu sebelumnya. Menurut Izzuddin Husain al-Syaikh,[39] hadis ini mansukh atau dibatalkan oleh hadis berikut ini.
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا ابْنُ عُلَيَّةَ وَوَكِيعٌ وَغُنْدَرٌ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ الْحَكَمِ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ الْأَسْوَدِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ جُنُبًا فَأَرَادَ أَنْ يَأْكُلَ أَوْ يَنَامَ تَوَضَّأَ وُضُوءَهُ لِلصَّلَاةِ
Diriwayatkan dari Aisyah, bahwa: "Rasulullah Saw jika dalam keadaan junub, lalu ingin makan atau tidur, beliau berwudlu lebih dahulu sebagaimana wudlu ketika akan shalat.[40]

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ عُمَرَ أَنَّهُ سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيَنَامُ أَحَدُنَا وَهُوَ جُنُبٌ قَالَ نَعَمْ إِذَا تَوَضَّأَ
Diriwayatkan dari umar, bahwa ia pernah bertanya kepada Nabi Saw: "Apakah boleh tidur dalam keadaan junub salah seorang diantara kami? " Beliau menjawab: "Ya, boleh jika berwudlu terlebih dahulu.[41]

Kedua hadis di atas menunjukkan bahwa sangat baik dan dianjurkan bagi orang junub supaya berwudlu lebih dahulu jika ingan tidur. Dan sekaligus kedua hadis ini me-nasakh atau membatalkan hadis terdahulu di atas.[42]
Hadis 2 dan 3 pengertiannya semakna, sedangkan hadis 1 nampak bertentangan dengan hadis 2 dan 3. Hadis 1 termasuk dalam kelompok hadis fi’li yang tingkatannya berada di bawah hadis qauli ( hadis 3 ). Hadis 2 meskipun termasuk hadis fi’li tetapi mendukung hadis 3 yang qauli. Jadi, hadis yang bersifat lebih kuat (qauli) dapat me­mansukh atau membatalkan hadis-hadis fi’li atau taqriri.

b. Wudlu Setiap Kali Shalat
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَوْفٍ الطَّائِيُّ حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ خَالِدٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَقَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ يَحْيَى بْنِ حَبَّانَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ قُلْتُ أَرَأَيْتَ تَوَضُّؤَ ابْنِ عُمَرَ لِكُلِّ صَلَاةٍ طَاهِرًا وَغَيْرَ طَاهِرٍ عَمَّ ذَاكَ فَقَالَ حَدَّثَتْنِيهِ أَسْمَاءُ بِنْتُ زَيْدِ بْنِ الْخَطَّابِ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ حَنْظَلَةَ بْنِ أَبِي عَامِرٍ حَدَّثَهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُمِرَ بِالْوُضُوءِ لِكُلِّ صَلَاةٍ طَاهِرًا وَغَيْرَ طَاهِرٍ فَلَمَّا شَقَّ ذَلِكَ عَلَيْهِ أُمِرَ بِالسِّوَاكِ لِكُلِّ صَلَاةٍ

Abdullah bin Hanzhalah bin Abi Amir meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW menyuruh berwudhu setiap kali shalat, baik masih dalam keadaan ada wudlu atau dalam keadaan tidak suci. Ketika perintah itu terasa menyusahkan, maka diperintahkan bersiwak setiap kali shalat.[43]

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يُوسُفَ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَمْرِو بْنِ عَامِرٍ قَالَ سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ قَالَ ح و حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ سُفْيَانَ قَالَ حَدَّثَنِي عَمْرُو بْنُ عَامِرٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَوَضَّأُ عِنْدَ كُلِّ صَلَاةٍ

Diriwayatkan dari Anas bin Malik RA, bahwa Nabi SAW berwudlu setiap kali shalat.[44]

Kedua hadis di atas menegaskan bahwa wajib berwudhu setiap kali shalat, baik masih dalam keadaan suci maupun dalam keadaan berhadas.
Menurut Izzuddin Husain al-Syekh, kedua hadis di atas mansukh atau dibatalkan oleh hadis di bawah ini:[45]
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ مَرْثَدٍ ح و حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمٍ وَاللَّفْظُ لَهُ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ سُفْيَانَ قَالَ حَدَّثَنِي عَلْقَمَةُ بْنُ مَرْثَدٍ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى الصَّلَوَاتِ يَوْمَ الْفَتْحِ بِوُضُوءٍ وَاحِدٍ وَمَسَحَ عَلَى خُفَّيْهِ فَقَالَ لَهُ عُمَرُ لَقَدْ صَنَعْتَ الْيَوْمَ شَيْئًا لَمْ تَكُنْ تَصْنَعُهُ قَالَ عَمْدًا صَنَعْتُهُ يَا عُمَرُ

Diriwayatkan dari Sulaiman bin Buraidah dari ayahnya, bahwa Nabi Saw shalat beberapa kali dengan sekali berwudlu dan beliau menyapu kedua khufnya (slop, sejenis sepatu). Umar berkata kepada Nabi Saw: "Hari ini Tuan berbuat sesuatu yang belum pernah Tuan lakukan?" Beliau menjawab: "Sengaja aku melakukannya, wahai Umar.[46]

Hadis ini membolehkan shalat beberapa kali hanya dengan satu kali berwudlu, dan hadis ini me-naskh atau membatalkan kedua hadis terdahulu di atas.

c. Batal Wudlu Karena Makan Sesuatu yang Sudah Dimasak
قَالَ ابْنُ شِهَابٍ أَخْبَرَنِي عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ إِبْرَاهِيمَ بْنِ قَارِظٍ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ وَجَدَ أَبَا هُرَيْرَةَ يَتَوَضَّأُ عَلَى الْمَسْجِدِ فَقَالَ إِنَّمَا أَتَوَضَّأُ مِنْ أَثْوَارِ أَقِطٍ أَكَلْتُهَا ِلأنِّيْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ تَوَضَّئُوا مِمَّا مَسَّتْ النَّارُ
Sesungguhnya aku berwudhu karena telah makan sepotong keju. Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, "Berwudhulah kalian karena makan sesuatu yang telah dimasak.[47]
حَدَّثَنَا أَبُو كَامِلٍ فُضَيْلُ بْنُ حُسَيْنٍ الْجَحْدَرِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَوْهَبٍ عَنْ جَعْفَرِ بْنِ أَبِي ثَوْرٍ عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَأَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُومِ الْغَنَمِ قَالَ إِنْ شِئْتَ فَتَوَضَّأْ وَإِنْ شِئْتَ فَلَا تَوَضَّأْ قَالَ أَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُومِ الْإِبِلِ قَالَ نَعَمْ فَتَوَضَّأْ مِنْ لُحُومِ الْإِبِلِ
Diriwayatkan dari Jabir bin Samurah, bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah Saw: "Apakah aku harus berwudlu karena makan daging kambing?" Rasulullah Saw bersabda: "Jika mau, silakan berwudlu, tapi jika tidak, janganlah berwudlu. " Laki-laki itu bertanya lagi: "Apakah aku harus berwudhu, karena aku telah makan masakan daging unta?" Beliau menjawab, "Ya ", berwudlulah karena telah makan masakan daging unta.[48]

Menurut Izzuddin Husain al-Syekh, kedua hadis ini menunjukkan bahwa makan sesuatu yang telah berubah karena dimasak, baik berupa daging atau lainnya adalah membatalkan wudlu. Kedua hadis ini mansukh (dibatalkan) oleh kedua hadis berikut ini:[49]
حَدَّثَنِي أَحْمَدُ بْنُ عِيسَى حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي عَمْرُو بْنُ الْحَارِثِ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ جَعْفَرِ بْنِ عَمْرِو بْنِ أُمَيَّةَ الضَّمْرِيِّ عَنْ أَبِيهِ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَحْتَزُّ مِنْ كَتِفِ شَاةٍ فَأَكَلَ مِنْهَا فَدُعِيَ إِلَى الصَّلَاةِ فَقَامَ وَطَرَحَ السِّكِّينَ وَصَلَّى وَلَمْ يَتَوَضَّأْ
Diriwayatkan dari Ja’far bin Amr bin Umayah ad-Dhamri dari ayahnya, ia berkata, "Aku melihat Rasulullah SAW memotong sekerat masakan daging kambing dan memakannya. Tiba-tiba kedengaran adzan shalat. Beliau berdiri dan meletakkan pisaunya, langsung shalat tanpa berwudlu lebih dahulu.[50]

حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ سَهْلٍ أَبُو عِمْرَانَ الرَّمْلِيُّ حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَيَّاشٍ حَدَّثَنَا شُعَيْبُ بْنُ أَبِي حَمْزَةَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْمُنْكَدِرِ عَنْ جَابِرٍ قَالَ كَانَ آخِرَ الْأَمْرَيْنِ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَرْكُ الْوُضُوءِ مِمَّا غَيَّرَتْ النَّارُ
Diriwayatkan dari Jabir, bahwa: "Adalah di antara dua perbuatan Rasulullah Saw. ialah tidak berwudlu setelah makan sesuatu yang berubah karena telah dimasak.[51]

Kedua hadis ini me-nasakh (membatalkan) kedua hadis terdahulu di atas yang menyebutkan bahwa makan sesuatu yang dimasak adalah membatalkan wudlu, karena perbuatan Rasulullah Saw. yang terakhir adalah tidak berwudlu setelah makan sesuatu yang telah dimasak, berarti tidak batal wudlu dengan makan sesuatu yang sudah dimasak.

d. Larangan Mandi atau Berwudhu dengan Sisa Air yang Telah Dipakai Bersuci Perempuan

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ وَمَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ قَالَا حَدَّثَنَا أَبُو دَاوُدَ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ عَاصِمٍ قَال سَمِعْتُ أَبَا حَاجِبٍ يُحَدِّثُ عَنْ الْحَكَمِ بْنِ عَمْرٍو الْغِفَارِيِّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ يَتَوَضَّأَ الرَّجُلُ بِفَضْلِ طَهُورِ الْمَرْأَةِ
Diriwayatkan dari al-Hakam bin Amr al-Ghifari, "Sesungguhnya Nabi Saw. telah melarang alas laki-laki berwudhu dengan sisa air yang telah dipakai perempuan bersuci (berwudhu).[52]

Hadis ini melarang mandi atau berwudhu dengan menggunakan sisa air yang telah dipakai perempuan bersuci atau berwudhu.
Hadis ini mansukh atau dibatalkan oleh hadis berikut ini,[53]
و حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ وَمُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمٍ قَالَ إِسْحَقُ أَخْبَرَنَا وَقَالَ ابْنُ حَاتِمٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَكْرٍ أَخْبَرَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ أَخْبَرَنِي عَمْرُو بْنُ دِينَارٍ قَالَ أَكْبَرُ عِلْمِي وَالَّذِي يَخْطِرُ عَلَى بَالِي أَنَّ أَبَا الشَّعْثَاءِ أَخْبَرَنِي أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ أَخْبَرَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَغْتَسِلُ بِفَضْلِ مَيْمُونَةَ
Ibnu Abbas meriwayatkan, bahwa Rasulullah Saw mandi dengan sisa air yang telah dipakai Maimunah (isteri Nabi Saw).[54]
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا أَبُو الْأَحْوَصِ حَدَّثَنَا سِمَاكٌ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ اغْتَسَلَ بَعْضُ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي جَفْنَةٍ فَجَاءَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِيَتَوَضَّأَ مِنْهَا أَوْ يَغْتَسِلَ فَقَالَتْ لَهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي كُنْتُ جُنُبًا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْمَاءَ لَا يُجْنِبُ
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa: "Sebagian isteri Nabi Saw. mandi di dafinah. Lalu datang Nabi Saw. untuk berwudhu atau mandi dengan sisa air yang telah dipakai oleh para isteri beliau. Salah seorang isteri beliau berkata: "Wahai Rasulullah Saw. aku ini dalam keadaan junub. Rasulullah Saw menjawab: "Sesungguhnya air itu tidak menjunubkan.[55]

Kedua hadis ini menegaskan tentang bolehnya berwudhu atau mandi dengan menggunakan sisa air yang telah dipakai perempuan mandi suci atau mandi junub. Sekaligus hadis ini me-nasakh atau membatalkan hadis terdahulu di atas.

C. Hadis Ikhtilaf dan Hadis Musykil
Terdapat perbedaan pendapat mengenai batasan hadis musykil dan hadis ikhtilaf. Ada yang menyamakan, ada pula yang membedakan. Menurut Ibn Qutaibah, hadis musykil dan hadis ikhtilaf adalah sesuatu yang berbeda. Hadis musykil adalah bagian dari hadis ikhtilaf. Menurut M.M. Abu Zahw, musykil al-hadis dan mukhtalaf al-hadis adalah sesuatu yang sama, yaitu dua hadis yang satu sama lain saling bertentangan secara lahirnya.[56]
Jadi, ada yang menganggap hadis musykil sama dengan hadis ikhtilaf, ada pula yang memasukkannya sebagai bagian dari hadis ikhtilaf. Bila sebuah hadis bertentangan dengan sesama hadis disebut dengan hadis ikhtilaf, bila sebuah hadis bertentangan dengan dalil lain selain hadis disebut hadis musykil.
Secara bahasa musykil berarti campur aduk dan mirip satu sama lain. Menurut Ibn Qutaibah (213-273 H), hadis musykil adalah hadis yang bertentangan dengan dalil selain hadis, yaitu al-Qur’an dan akal pikiran. Ibn Furak (w. 406 H), berpendapat bahwa hadis musykil adalah hadis yang tidak dapat dengan jelas dipahami tanpa menyertakan penjelasan lain, seperti hadis-hadis yang kandungannya berisi tentang hal-hal yang berkaitan dengan zat Allah, sifat-sifat maupun perbuatan-Nya yang menurut akal tidak layak dikenakan penisbatannya kepada-Nya kecuali setelah dilakukan ta’wil terhadap hadis-hadis tersebut. Sedangkan menurut Muhammad Tahir al-Jawabi, hadis musykil adalah ketidaksesuaian antara hadis dengan yang bukan hadis dalam hal ini adalah al-Qur`an, Ijma’, kenyataan akal dan panca indera.[57]
Barangkali, pengertian terakhir inilah yang paling lengkap dan jelas serta dapat dipegangi dalam pembahasan selanjutnya. Persoalan selanjutnya adalah mengapa bisa terjadi adanya hadis musykil ?. Beberapa kemungkinan kemusykilan sebuah hadis bisa terjadi adalah karena:
(1) Terjadinya periwayatan hadis secara ma’na
(2) Kesamaran ungkapan bahasa sebuah hadis
(3) Rentang waktu zaman nabi dengan masa sebuah hadis akan difahami.[58]

Para pengkaji musykil al-hadis memilah kemusykilan sebuah hadis menjadi empat hal, yaitu karena:
(1) Diduga tidak sesuai dengan al-Qur`an.
Contoh populer hadis kategori ini adalah hadis tentang wasiat kepada ahli waris.[59]
حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ شُعَيْبِ بْنِ شَابُورَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ يَزِيدَ بْنِ جَابِرٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ أَنَّهُ حَدَّثَهُ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ إِنِّي لَتَحْتَ نَاقَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسِيلُ عَلَيَّ لُعَابُهَا فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ أَلاَ لاَ وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ



Hadis di atas bertentangan dengan QS al-Baqarah, 2: 180:
=ÏGä. öNä3ø‹n=tæ #sŒÎ) uŽØym ãNä.y‰tnr& ßNöqyJø9$# bÎ) x8ts? #·Žöyz èp§‹Ï¹uqø9$# Ç`÷ƒy‰Ï9ºuqù=Ï9 tûüÎ/tø%F{$#ur Å$rã÷èyJø9$$Î/ ( $ˆ)ym ’n?tã tûüÉ)­FßJø9$# ÇÊÑÉÈ
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf. (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.

Kedua orang tua adalah ahli waris yang tidak dihalangi oleh siapapun untuk memperoleh warisan. Hadis di atas jelas bertentangan dengan al-Quran. Mengenai hal ini, Ibnu Qutainah, seperti dikutipoleh al-Qaththan menyatakan bahwa ayat tersebut mansukh dengan ayat yang memberikan hak waris kepada kedua orang tua, sehingga mereka tidak berhak memperoleh wasiat.[60]

(2) Diduga tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan.
Contoh populer hadis jenis ini adalah riwayat tentang Siapa yang membiasakan makan pagi dengan tujuh buah kurma “ajwa maka sihir dan racun tidak akan membahayakannya.[61]
حَدَّثَنَا جُمْعَةُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا مَرْوَانُ أَخْبَرَنَا هَاشِمُ بْنُ هَاشِمٍ أَخْبَرَنَا عَامِرُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَصَبَّحَ كُلَّ يَوْمٍ سَبْعَ تَمَرَاتٍ عَجْوَةً لَمْ يَضُرَّهُ فِي ذَلِكَ الْيَوْمِ سُمٌّ وَلَا سِحْرٌ
“Barang siapa makan pagi dengan tujuh kurma ‘Ajwah maka racun atau sihir tidak membahayakannya”.

Mengutip pendapat-pendapat Ibnu Hajar, al-Daudi, Ibnu Atsir dan al-Qazzaz, Indal Abror menyatakan bahwa ‘Ajwah adalah suatu jenis kurma Madinah yang paling baik dan paling lembut, termasuk kurma yang tengah-tengah, jenis kurma yang lebih besar dari kurma jenis kering hitam, dan kurma inilah yang ditanam oleh nabi dengan tangannya sendiri.[62]
Menurut Imam al-Khaththabi, sebagaimana dikutip oleh Abror, adanya ‘ajwah bermanfaat bagi orang yang terkena racun dan sihir adalah berkat barakah do’a nabi untuk kurma Madinah, bukan khasiat yang dikandung oleh kurma tersebut.[63] Sementara menurut al-Qadli ‘Iyadl, pengkhususan kurma Madinah jenis ‘ajwah dari desa ‘Aliyah menjadikan kemusykilan menjadi hilang, karena hal itu sangat dimungkinkan, sebagaimana didapati ada obatan-obatan dari bahan yang hanya memiliki efek penyembuhan jika ditanam di suatu daerah bukan daerah lain karena adanya pengaruh (struktur) tanah dan (kelembaban) udara.[64]
Dari deskripsi yang disampaikan sejumlah ulama, Abror menyimpulkan bahwa ada ulama yang memahami hadis tersebut tidak secara zhahir—yakni sebagai kekhususan bagi kurma ‘ajwah Madinah pada daerah tertentu dan sebagai kekhususan pada zaman nabi, ada juga yang memaknai secara zhahir.[65]

(3) Diduga tidak sesuai dengan akal sehat.
Contohnya adalah riwayat tentang Hajar aswad adalah tangan kanan Allah di bumi-Nya yang dengannya Ia salami makhluqnya yang Ia kehendaki.[66]
حدثنا مهدي بن أبي المهدي ، حدثنا الحكم بن أبان قال : حدثني أبي ، عن عكرمة قال : « إن الحجر الأسود يمين الله في الأرض
“Hajar Aswad adalah tangan kanan Allah di bumi

Sebagaimana dikutip oleh Indal Abror, Ibn Qutaibah mengemukakan :
Kita mengatakan bahwa ini adalah tamsil dan perumpamaan. Misalnya, seorang raja, jika menyalami seseorang, orang itu mencium tangannya. Maka Hajar Aswad tersebut seakan-akan bagi Allah memiliki kedudukan sebagai tangan Sang Raja untuk disalami dan dicium. Telah sampai kepadaku bahwa ‘Aisyah berkata, ”Sesungguhnya Allah ketika melakukan perjanjian dengan bani Adam dan mempersaksikan-Nya kepada mereka berkata, “Tidakkah Aku Tuhanmu?” Mereka mengatakan “Ya” (Engkau Tuhan kami) dan mejadikan (tanda perjanjian) itu pada Hajar Aswad.”[67]
Hadis ini harus dipahami dalam bentuk pengertian majaz, bukan zahir. Penolakan terhadap makna majaz dan memengangi makna zahir jelas menghasilkan pengertian yang tidak masuk akal.

(4) Diduga tidak sesuai dengan kenyataan. Contoh riwayat jenis ini adalah Nabi menyebut bahwa seratus tahun sesudah nabi tidak ada orang di muka bumi yang masih hidup.
Kemusykilan dalam hadis ini terletak pada peringatan bahwa seratus tahun sesudah nabi, tak ada lagi orang yang masih hidup. Pemahaman seperti ini memang wajar dari zhahir teks. Ahmad Amin, seperti dikutip Abror, menganggap hadis ini termasuk bukti bahwa para muhaddisin tidak banyak meneliti aspek matan hadis yang tampak di sini sangat tidak sesuai dengan kenyataan.[68] Namun Ibnu Qutaibah menyatakan: Mereka mengatakan riwayah ini jelas-jelas bathil. Kita (hidup) pada tahun tiga ratus, sedangkan orang-orang semakin banyak saja. Kita menyatakan: Hadis ini sesungguhnya telah digugurkan satu kata oleh para rawi. Dapat saja karena mereka tidak mendengarkannya atau karena Rasulullah melirihkannya sehingga mereka tidak mendengarkannya. Kita melihat—bahkan kita tidak ragu—bahwa yang beliau katakan adalah, ”tidak ada di atas bumi dari kamu sekalian pada saat itu orang yang masih hidup”. Maksudnya, adalah orang-orang yang kala itu hadir di hadapan nabi atau yakni para sahabat, lalu hal demikian ini rawi tidak menyebutkannya.[69]
Apakah benar rawi menggugurkan satu kata? Hal semacam ini yang tampaknya menyebabkan para ahli hadis lain terkadang menganggap dasar pijakan Ibn Qutaibah seringkali tidak kuat. Ini dimaklumi oleh semisal Ibn ash-Shalah sebagai kelemahan yang ada pada Ibn Qutaibah. Hadis ini memang diriwayatkan oleh banyak rawi. Dengan melihat periwayatan hadis-hadis lain yang setema para ahli hadis menuntaskan kemusykilan hadis ini. Dari segi makna memang pemahaman sebagaimana Ahmad Amin tersebut juga terjadi pada sebagian sahabat sebagaimana secara tersirat ditunjukkan oleh paparan Ibn Hajar, seperti Indal Abror menyatakan:
Karena sebagian dari mereka mengatakan kiamat akan terjadi seratus tahun sebagaimana diriwayatkan oleh ath-Thabrani dan yang lainnya dari hadis Abu Mas’ud al-Badri yang mana Ali (diketahui) menolak hal tersebut. Dan Ibn ‘Umar dalam hadis tersebut telah menjelaskan maksud nabi tersebut, yakni nabi bermaksud mengatakan bahwa “seratus tahun lagi semenjak ia menyabdakan, ketika abad itu lewat orang-orang yang ada saat perkataan itu disabdakan kelak sudah tidak ada lagi”. Demikianlah terbukti dengan adanya penelitian (istiqra’) bahwa orang yang diketahui hidup waktu itu adalah sahabat Abu at-Thufail ‘Amir ibn Wasilah. Ahli hadis telah bersepakat bahwa beliaulah sahabat yang terakhir wafat. Ada yang mengatakan beliau meninggal pada tahun 110 Hadis, yakni seratus tahun semenjak sabda nabi. Wa Allah a’alam. [70]

Memperkuat kejelasan ini adalah keterangan an-Nawawi :
Dalam riwayah Jabir dinyatakan bahwa ia mendengar nabi sebulan sebelum wafatnya bersabda: “Tak ada orang yang saat ini pada seratus tahun mendatang masih hidup pada saat itu”. Hadis-hadis ini satu sama lain saling menafsirkan dan di dalamnya terdapat ilmu kenabian. Maksud hadis ini bahwa semua orang yang hidup pada malam itu di atas bumi tidak akan hidup sesudahnya lebih dari seratus tahun, baik sebelumnya sedikit umurnya atau banyak dan bukan menafikan kehidupan seseorang sesudah malam itu (untuk berumur) di atas seratus tahun. Makna nafs manfusah artinya dilahirkan. Wa Allah a’alam[71]

Paparan di atas menyebutkan “ilmu kenabian”. Namun apa yang diinginkan nabi menyatakan hal tersebut? As-Siba’i mengutip al-Kirmani yang dimaksud nabi adalah bahwa pada rentang waktu itulah generasi yang ada pasa saat itu akan lewat berganti, dan nabi menasehati para sahabatnya dengan pendeknya umur mereka, dan memberitahukan mereka bahwa umur mereka tidak seperti umur umat-umat sebelumnya agar supaya mereka giat dalam beribadah. Hadis demikian oleh para ahli hadis justru dipahami sebagi bentuk mu’jizah nabi dalam memberitahukan hal yang ghaib, dalam hal ini kejadian di waktu mendatang dan dengan kata lain ilmu kenabian. Dari pembahasan ini jelas bahwa pembacaan yang seksama atas hadis yakni dengan melihat konteks hadis lain yang senada akan menghasilkan pemahaman yang memadai dan terhindar dari kemusykilan.[72]




D. Kesimpulan
Berdasar pada pembahasan di atas, maka simpulan yang dapat ditarik adalah sebagai berikut:
1. Antara nash yang satu dengan yang lain tidak mungkin saling bertentangan. demikian halnya antara hadis Nabi dengan hadis Nabi. Apabila diandaikan terjadi pertentangan, maka yang terjadi hanyalah dalam lahirnya saja, bukan dalam kenyataan yang hakiki. Adapun solusinya adalah al-jam'u (pengkompromian atau penggabungan), jika antara dua hadis yang bertentangan berkualitas sahih. Sedang apabila da`if atau maudu` maka tidak masuk dalam bahasan hadis mukhtalif. Apabila al-jam'u tidak bisa, baru memakai nasikh wa al-mansukh dan tarjih.

2. Tidak dapat dipungkiri adanya hadis-hadis yang musykil. Namun, untuk memahami hadis-hadis tersebut perlu adanya kerangka pemahaman berdasarkan kajian yang dilakukan oleh ulama’. Berbagai problema di seputar hadis-hadis musykil dan cara memahaminya dapat dijadikan pedoman untuk memahami hadis-hadis musykil.














DAFTAR PUSTAKA
Hasbi Ash-Shiddieqy, M., Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, 1981, Jilid II.

http://www.al-islam.com, الكتاب مشكول ومرقم آليا غير موافق للمطبوع وهو متن مرتبط بشرحه

Indal Abror, Problematika Hadis Musykil, http://www.uin_suka.info, diakses tanggal 12 September 2008.

Izzuddin Husain al-Syekh, “Menyikapi Hadis-hadis yang Saling Bertentangan: Hadis-hadis Nasikh dan Mansukh”, diterjemahkan oleh Wajidi Sayadi dari Mukhtashar al-Nasikh wa al-Mansukh fi Hadits Rasulillah, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004, Cet. ke-1, h. 16

Muhammad Ajjaj Al-Khathib, “Ushul al-Hadits: Pokok-pokok Ilmu Hadis”, diterjemahkan oleh M. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafik dari Ushul al-Hadits, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998, Cet. ke-1

Nuruddin ‘Itr, “Ulum al-Hadits”, diterjemahkan oleh Mujiyo dari Manhaj al-Naqd fî Ulûm al-Hadîts, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994, Cet. ke-1, Jilid 2

Sayyid Salih Abu Bakar, Menyingkap Hadis-Hadis Palsu, Solo: Mutiara, 1989, Jilid 1 dan 2.

Subhi al-Shalih, “Membahas Ilmu-ilmu Hadis”, diterjemahkan oleh Tim Pustaka Firdaus dari Ulum al-Hadis wa Musthalahuhu, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997, Cet. ke-3

Syaikh Manna’ al-Qaththan, “Studi Ilmu Hadits”, diterjemahkan oleh Mifdhol Abdurrahman dari Mabâhits fî Ulûm al-Hadîts, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006, Cet. ke-2

Yusuf al-Qardhawi, “Pengantar Studi Hadis”, diterjemahkan oleh Agus Suyadi Raharusun dan Dede Rodin dari al-Madkhal li Dirasah al-Sunnah al Nabawiyah, Bandung: Pustaka Setia, 2007, Cet. ke-1

[1] Syaikh Manna’ al-Qaththan, “Studi Ilmu Hadits”, diterjemahkan oleh Mifdhol Abdurrahman dari Mabâhits fî Ulûm al-Hadîts, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006, Cet. ke-2, h. 126
[2] Nuruddin ‘Itr, “Ulum al-Hadits”, diterjemahkan oleh Mujiyo dari Manhaj al-Naqd fî Ulûm al-Hadîts, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994, Cet. ke-1, Jilid 2, h. 114
[3] Subhi al-Shalih, “Membahas Ilmu-ilmu Hadis”, diterjemahkan oleh Tim Pustaka Firdaus dari Ulum al-Hadis wa Musthalahuhu, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997, Cet. ke-3, h. 104
[4] Muhammad Ajjaj Al-Khathib, “Ushul al-Hadits: Pokok-pokok Ilmu Hadis”, diterjemahkan oleh M. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafik dari Ushul al-Hadits, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998, Cet. ke-1, h. 254
[5] Syaikh Manna’ al-Qaththan, Op. Cit., h. 127
[6] Yusuf al-Qardhawi, “Pengantar Studi Hadis”, diterjemahkan oleh Agus Suyadi Raharusun dan Dede Rodin dari al-Madkhal li Dirasah al-Sunnah al Nabawiyah, Bandung: Pustaka Setia, 2007, Cet. ke-1, h. 188
[7] Sunan Abu Daud, Juz 11, h. 153, no 3585. Lihat juga Sunan al-Turmudzi, Juz 9, h. 455 no. 2702, Musnad Ahmad, Juz 53, h. 488, no. 25326. Menurut al-Turmudzi, Hadis ini hasan shahih.
[8] Yusuf al-Qardhawi, Loc. Cit.
[9] قَالَ أَبُو دَاوُد هَذَا لِأَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَاصَّةً أَلَا تَرَى إِلَى اعْتِدَادِ فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ عِنْدَ ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ قَدْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِفَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ اعْتَدِّي عِنْدَ ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ فَإِنَّهُ رَجُلٌ أَعْمَى تَضَعِينَ ثِيَابَكِ عِنْدَهُ
Lihat Sunan Abu Daud, Juz 11, h. 153, no. 3585
[10] Shahih Bukhari, Juz 16, h. 264, no. 4835, dan Shahih Muslim, Juz 4, h. 415, no. 1480
[11] Yusuf al-Qardhawi, Loc. Cit.
[12] Lihat Shahih Muslim, Juz 7, h. 447, no. 2709; Sunan Abu Daud, Juz 11, h. 153, no. 3585
[13] Yusuf al-Qardhawi, Op. Cit., h. 189
[14] Ibid.
[15] Lihat Yusuf al-Qardhawi, Loc. Cit.
[16] Sunan al-Turmudzi, Juz 4, h. 213, no. 976; Musnad Ahmad, Juz 17, h. 137, no. 8095
[17] قَالَ وَفِي الْبَاب عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ وَحَسَّانَ بْنِ ثَابِتٍ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَقَدْ رَأَى بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ أَنَّ هَذَا كَانَ قَبْلَ أَنْ يُرَخِّصَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَلَمَّا رَخَّصَ دَخَلَ فِي رُخْصَتِهِ الرِّجَالُ وَالنِّسَاءُ و قَالَ بَعْضُهُمْ إِنَّمَا كُرِهَ زِيَارَةُ الْقُبُورِ لِلنِّسَاءِ لِقِلَّةِ صَبْرِهِنَّ وَكَثْرَةِ جَزَعِهِنَّ

[18] Sunan al-Turmudzi, Juz. 4, h. 210, no 974, Sunan al-Nasa’i, Juz 17, h. 126, no. 5558, Sunan Ibnu Majah, Juz. 5, h. 45, no. 1560
[19] Sunan al-Turmudzi, Juz 4, h. 210, no. 974; Sunan Ibnu Majah, Juz 5, h. 45, no.1560
[20] Shahih Muslim, Juz 5, h. 102, no. 1619; Sunan al-Nasa'i, Juz 7, h. 163 no. 2010; Musnad Ahmad, Juz 52, h. 328, no. 24671
[21] Shahih Bukhari, Juz 5, h. 29, no 1203, Shahih Bukhari, Juz 22, h. 69 no. 6621
[22] Yusuf al-Qardhawi, Op. Cit., h. 191
[23] Yusuf al-Qardhawi, Op. Cit., h. 192
[24] Shahih Bukhari, Juz 16, h. 220, no. 4808
[25] Shahih Muslim, Juz. 7: 319, no. 2610
[26] Shahih Muslim, Juz 7, h. 315, no. 2606
[27] Shahih Bukhari, Juz 8, h. 473, no. 2356
[28] Musnad Ahmad, Juz 22, h. 403, no. 10858
[29] Sunan Abu Daud, Juz 6, h. 78, no. 1856
[30] Sunan Ibnu Majah, Juz 6, h. 50, no. 1918
[31] Syaikh Manna’ al-Qaththan, Op. Cit., h. 127
[32] Syaikh Manna’ al-Qaththan, Op. Cit., h. 127
[33] Ibid., h. 128
[34] Lihat Musnad Ahmad, Juz 3, h. 179, No. 1173
[35] Lihat Shahih Bukhari, Juz 7, h. 27
[36] Lihat antara lain Sunan Abu Daud, Juz 12, h. 65, no. 3888
[37] Syaikh Manna al-Qathan, Op. Cit., h. 128.
[38] Lihat Musnad Ahmad, Juz 51, h. 139, no 23982
[39] Izzuddin Husain al-Syekh, “Menyikapi Hadis-hadis yang Saling Bertentangan: Hadis-hadis Nasikh dan Mansukh”, diterjemahkan oleh Wajidi Sayadi dari Mukhtashar al-Nasikh wa al-Mansukh fi Hadits Rasulillah, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004, Cet. ke-1, h. 16
[40] Shahih Muslim, Juz 2, h. 176, no. 461
[41] Sunan al-Turmudzi, Juz 1, h. 201, no. 111
[42] Izzuddin Husain al-Syekh, Op. Cit., h. 17
[43] Sunan Abu Daud, Juz 1, h. 70, no. 44
[44] Shahih Bukhari, Juz 1, h. 359, no.207
[45] Izzuddin Husain al-Syekh, Op. Cit., h. 12
[46] Shahih Muslim, Juz 2, h. 114, no. 415
[47] Shahih Muslim, Juz 2, h. 261, no. 529
[48] Shahih Muslim, Juz 2, h. 273, no. 539
[49] Izzuddin Husain al-Syekh, Op. Cit., h. 2
[50] Shahih Bukhari, Juz 17, h. 39, no. 5002; Shahih Muslim, Juz. 2, h. 267, no. 534
[51] Sunan Abu Daud, Juz 1, h. 239, no. 164
[52] Sunan al-Turmudzi, Juz. 1, h. 107, no. 59
[53] Izzuddin Husain al-Syekh, Op. Cit., h. 9
[54] Shahih Muslim, Juz 2, h. 206, no. 487
[55] Sunan Abu Daud, Juz 1, h. 98, no. 62
[56] Indal Abror, Problematika Hadis Musykil, http:www.uin_suka.info/ejurnal, Diakses Tanggal 12 September 2008, h. 1
[57] Ibid.
[58] Ibid.
[59] Lihat Sunan Ibnu Majah, Juz 8, h. 186, no. 2705
[60] Syaikh Manna’ al-Qaththan, Op. Cit., h. 107
[61] Lihat Shahih Bukhari, Juz 17, h. 78, no. 5025; Juz 18, h. 63, no. 5326; Juz 18, h. 64, no. 5327; Juz 18, h. 75, no. 5224; Shahih Muslim, Juz 10, h. 359, no. 3814 dan 3815; Sunan Abu Daud, Juz 10, h. 374, no. 3378
[62] Indal Abror, Op. Cit., h. 3
[63] Ibid
[64] Ibid
[65] Ibid., h. 5
[66] Lihat Akhbar al-Makkah li al-Azriqi, Juz 1, h. 475, no. 395
[67] Lihat Indal Abror, Op. Cit., h. 5
[68] Ibid., h. 6.
[69] Ibid
[70] Ibid.
[71] Ibid.
[72] Ibid.

Senin, Maret 02, 2009

PENDIDIKAN AGAMA DI SEKOLAH:
TINJAUAN HISTORIS TENTANG PRO DAN KONTRA
TERHADAP PENDIDIKAN AGAMA
DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2003
TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL (SISDIKNAS)


Oleh Muhamad Taufik Hidayat

Pendahuluan

Pemerintah telah menempuh kebijakan bahwa agama-agama yang diakui secara resmi harus diajarkan di sekolah-sekolah dari tingkat taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi kepada siswa/mahasiswa sesuai dengan agama yang mereka peluk (Ismail, 2002: 196). Hal ini memberikan satu tafsiran bahwa pendidikan agama memiliki kekuatan untuk mendampingi ilmu dan keterampilan yang hendak ditanamkan kepada peserta didik. Pendidikan agama, termasuk pendidikan agama Islam, tidak dapat dipisahkan dari materi pelajaran lain serta menempati posisi unggul dalam sistem pendidikan nasional (Departemen Agama, 1986: 25).
Pendidikan agama Islam (PAI) merupakan bagian intergal dari sistem pendidikan nasional. Oleh karma itu, perlu reformasi sistem pendidikan agama Islam yang selama ini diakui keberadaannya cukup strategis agar tetap bertahan. Di antara peran strategis pendidikan agama Islam dalam sistem pendidikan nasional tertetak pada fungsinya dalam mencapai tujuan pendidikan nasional, terutama dalam mengembangkan manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, sebagai bagian esensial dalam pembangunan manusia seutuhnya. Satu hal yang menjadi masalah adalah sejauh mana peran strategis pendidikan agama Islam itu telah dilaksanakan secara efektif, baik di sekolah maupun di luar sekolah.

Dalam pandangan Sindhunata (2000: 216), segala bentuk pelaksanaan pendidikan hendaknya mengarah kepada pembentukan sikap dan kepribadian yang berlandaskan pada kekuatan sendi-sendi agama. Sebagai konsekuensi dari tatanan tersebut, pendidikan nasional tidaklah sempurna dan lengkap manakala tidak memberlakukan pendidikan agama sesuai dengan aturan. Hal ini diperkuat lagi dengan kebijakan secara bersama tentang pengaturan teknis yang menyatakan nilai pendidikan agama harus memenuhi syarat sebagai standar penilaian kelulusan pada jenjang pendidikan.

Pendidikan agama Islam merupakan usaha sadar untuk menyiapkan siswa meyakini, memahami, menghayati dan mengamalkan agama Islam melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan dengan memperhatikan tuntutan untuk menghormati agama orang lain dalam hubungan kerukunan antara umat beragama. Tujuan secara umum adalah untuk meningkatkan keimanan, pemahaman, penghayatan dan pengamalan siswa tentang agama Islam, sehingga dapat menjadi pribadi muslim yang beriman dan bertaqwa serta berakhlaq mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara (Sindhunata, 2000: 210). Pendidikan Islam merupakan upaya pengembangan pandangan hidup yang Islami untuk dimanifestasikan dalam sikap hidup dan keterampilan hidupnya (manual maupun mental-sosial) selaras dengan minat, bakat, kemampuan dan bidang keahliannya masing-masing untuk kepentingan kemanusiaan (Muhaimin, 2001: 63). Paradigma ini berimplikasi pada pendidikan Islam yang berorientasi pada peningkatan kualitas iman dan taqwa, atau bahkan menjadikan imam bagi orang-orang yang bertaqwa.

Dalam hal ini, Abu Ridho menegaskan bahwa idealnya pembelajaran pendidikan agama Islam dapat memadukan dimensi kehidupan individu dan sebagai warga negara untuk mewujudkan kepribadian yang utuh sejalan dengan pandangan hidup bangsa. Untuk mewujudkan hal itu diperlukan pemahaman terhadap pendidikan agama Islam yang komprehenstif mencakup seluruh dimensi kemanusiaan, baik fisik, intelektual, maupun mental (Abu Ridho, 1994: 5). Ketiga komponen itu merupakan sebuah sistem dalam rangka mewujudkan pribadi yang utuh. lbnu Hadjar, dalam Khabib Thoha (1989: 2). mempertegas bahwa pendidikan agama tidak hanya mengajarkan ajaran agama, tetapi juga menanamkan komitmen terhadap ajaran agama yang dipelajarinya. Pendidikan agama berbeda dengan subyek materi lain yang lebih menekankan pada aspek kognitif belaka. Titik temu Pendidikan agama ada pada aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. Ketiga ranah tersebut diperkuat dalam pelaksanaan program pengajaran yang meliputi segmen materi, metode, media, strategi, dan variasi mengajar. Dengan ketiga ranah tersebut, sebagaimana disampaikan Maragustam (2001: 108-119), urgenitas pendidikan agama dapat mengubah kemampuan intelektual menjadi bermakna dan bernilai yang terinternalisasi melalui strategi pembelajaran. Kemampuan dan keberhasilan program pengajaran pendidikan agama Islam dapat memberikan bekal terhadap aplikasi ilmu dalam kehidupan bermasyarakat. Visi pendidikan agama Islam adalah untuk melakukan transfer dan transmisi sistem nilai, sedangkan sistem nilai ini adalah salah satu bagian dari ranah pendidikan (afektif). Satu hal yang sekarang cukup meresahkan adalah munculnya sinyalemen pelaksanaan pendidikan agama Islam kurang progresif terhadap kehidupan bermasyarakat. Disinyalir pelaksanaan pendidikan agama Islam di sekolah tidak lebih dari proses belajar mengajar, dan lebih tepat disebut transmisi pendidikan agama seperti halnya pelajaran umum. Dengan demikian, transmisi sistem nilai menjadi sesuatu pada level kedua. Jika kondisi ini terus berlanjut, maka benteng nilai yang dititipkan dan merupakan ruh pendidikan Islam menjadi buyar.

Pendidikan agama tidak hanya dipandang sebagai ilmu saja, namun merupakan standar nilai yang harus diaplikasikan secara konstruksional dan aktual dalam kehidupan siswa. Pendidikan agama Islam juga tidak lagi terbatas pada paradigma yang hanya know to do dan to be, tetapi diharapkan mempunyai konsep yang workable dan aplicable yang terkait dengan to live together dalam masyarakat yang terbuka (Abdullah, 2000: 20-26).

Efektivitas pendidikan agama Islam seandainya dipadukan dengan kenyataan sosial belum tampak titik singgung yang jelas. Begitu pula pengaruihnya terhadap perilaku sosial pun belum mampu mendominasi kerangka berfikir dan gerak laku hidup. Pelaku pelanggaran norma-norma sosial dan agama banyak ditemui beridentitas pelajar muslim. Pada saat ini masih banyak orang yang cerdas, terampil, pintar, kreatif, produktif dan profesional, tetapi tidak dibarengi dengan kekokohan akidah dan kedalaman spiritual serta keunggulan akhlaq. Sebagai indikatornya ditemukan tindakan kekerasan, anarkhisme, premanisme, tindakan brutal, perkelahlan antarpelajar, konsumsi minuman keras, narkoba dan kriminalitas yang melanda pelajar dan mahasiswa (Muhaimin, 2003: 214).

Pendidikan Agama dalam UUD 1945, UU Nomor 2 Tahun 1989 dan UU Nomor 20 Tahun 2003

Tujuan pendidikan dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 2 Tahun 1989, Bab II, pasal 4 adalah mencer­daskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya. Manusia Indonesia seutuhnya adalah manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, sehat jasmani dan rohani, berkepribadian mantap serta mandiri, dan memiliki rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Bab II Pasal 3 disebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Tujuan pendidikan tersebut dapat dihubungkan dengan Undang-Undang Republik Indonesia No. 2 tahun 1989 bab I, pasal 1, ayat (1), (2), dan (3) dan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 bab I pasal 1 ayat (1), (2) dan (3).

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 2 tahun 1989 bab I, pasal 1, ayat (1), (2), dan (3) dinyatakan:
  1. Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang.
  2. Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia dan yang berdasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
  3. Sistem Pendidikan Nasional adalah suatu keseluruhan yang terpadu dari semua satuan dan kegiatan pendidikan yang berkaitan satu dengan lainnya untuk mengusahakan tercapainya tujuan Pen­didikan Nasional.

Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 bab I pasal 1 ayat (1), (2) dan (3) dinyatakan:

  1. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
  2. Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.
  3. Sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.

Menurut Feisal (1995: 16), hal-hal tersebut di atas juga berhubungan erat dengan:

  • Tujuan Nasional sebagaimana ter­maktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 paragraf 4, yaitu:

Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indone­sia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan ke­hidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar pada Ketuhanan yang maka Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam per­musyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

  1. Batang Tubuh Undang-undang Dasar 1945, Bab XIII, Pasal 31, Ayat (1) dan (2):
  2. Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran
  3. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan undang-undang.
  4. Undang-Undang Republik In­donesia No. 2 Tahun 1989, Bab IX, Pasal 39:
    Isi kurikulum merupakan susunan bahan kajian dan pelajaran untuk mencapai tujuan penyelenggaraan satuan pendidikan yang bersangkutan dalam rangka upaya pencapaian tujuan pendidikan nasional. Isi kurikulum setiap jenis, jalur, dan jenjang pendidikan wajib memuat:
    a) Pendidikan Pancasila
    b) Pendidikan Agama

    Dari hubungan-hubungan tersebut, menurut Feisal (1995: 17), akan tampak jelas bahwa konsep manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa harus merujuk pada sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan merujuk pada kon­sep tersebut, setiap warga negara yang beragama Islam memiliki kemer­dekaan (hak) untuk memeluk dan melaksanakan ajarannya sebagai bentuk ibadah. Oleh karena itu, agama Islam—atau sekurang-kurangnya nilai-nilai agama Islam—mesti merupa­kan suatu keseluruhan dalam sistem pendidikan nasional sehingga nilai­-nilai Islam terkandung dalam setiap komponen pendidikan, proses be­lajar-mengajar, dan sistem evaluasinya.
    Pendidikan keagamaan, dalam arti pendidikan agama sebagai komponen pendidikan, sesuai dengan Undang-Undang No. 2, Tahun 1989, Bab IX, Pasal 39, Ayat 2, yaitu bahwa isi kurikulum setiap jalur dan jenjang pen­didikan itu wajib memuat:
    1) Pendidikan Pancasila;
    2) Pendidikan agama;

    Menurut Feisal (1995: 18), alternatif yang dapat digunakan untuk mewujudkan hal itu dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu:

a. Mata pelajaran agama sebagai komponen pendidikan dasar harus mampu mengembangkan sikap agamis dan kemampuan untuk me­ngetahui hukum syariat, terutama untuk hal yang bersifat asasi serta terampil melaksanakan ibadah, khususnya ibadah mandhah dan mampu melaksanakan ajaran agama yang ada hubungannya dengan kepentingan hidup dalam masyarakat. Komponen pendidikan ter­sebut harus dapat dijadikan prasyarat untuk jenjang pendidikan lanjutannya.


b. Mata pelajaran agama sebagai komponen pendidikan menengah sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia No. 2, Tahun 1989, Bab V bagian ketiga pasal 15 ayat 1. Dengan de­mikian, pendidikan agama harus merupakan pengembangan penge­tahuan agama yang mendasar dalam hubungannya dengan masalah kehidupan, kemasyarakatan, dan kebudayaan (kultur) serta peng­galian, pemeliharaan, dan pengembangan sumber alam untuk keles­tarian alam itu sendiri dan menjadi sarana kehidupan umat manusia. Dengan perkataan lain, pendidikan agama harus mampu mengajarkan hubungan ibadah mandhah dengan ibadah muamalah secara umum dalam bentuk praktis-aplikatif.


c. Pendidikan keagamaan sebagai pendidikan yang mempersiapkan peser­ta didik untuk mampu menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan khusus tentang ajaran agama yang bersangkutan,[1] hendaknya memiliki ciri khas sebagai satuan pendidikan keagamaan,[2] dan sekurang-kurangnya memiliki dua struktur bangun sebagai kerangka acuan, yaitu:

  1. Pendidikan umum (public school) yang berorientasi pada nilai, ajaran, dan prinsip-prinsip syariat, baik dalam pengertian agama sebagai wahyu maupun agama sebagai kultur Islami. Paradigma rancang bangun pendidikan dalam pendekatan ini adalah paradigma integratif. Artinya, setiap satuan pelajar dan seluruh struktur kurikulumnya ber­wawasan Islami sehingga tidak ada satu kegiatan pun yang terlepas dari pendidikan syariat. Dengan demikian, pendidikan yang memiliki kekhasan keagamaan tidak menganut pendekatan atau paradigma pendidikan keagamaan yang hanya sebagai komponen pendidikan. Dalam tingkat pendidikan profesional dan pendidikan tinggi, ilmu Islami atau Islam untuk disiplin ilmu merupakan salah satu ciri ke­khasan kelembagaan pendidikan tersebut.
  2. Kekhasan kelembagaan pendidikan dengan ciri keagamaan memiliki bentuk program pendidikan keagamaan seperti yang berlaku di pe­santren-pesantren. Secara historis maupun sosiologis, pendidikan pe­santren telah dimiliki bangsa Indonesia, khususnya umat Islam sejak berabad-abad yang lalu. Dalam hal ini, pesantren merupakan lembaga pendidikan yang melaksanakan program pendidikan ilmu-ilmu agama dalam arti khusus, seperti program pendidikan ilmu tafsir, ilmu fiqih, sirah nabi, ilmu kalam, filsafat Islam, adabul-lughah, dan sebagainya. Bentuk pendidikan keagamaan seperti ini mungkin memerlukan reorganisasi mengingat munculnya prinsip-prinsip dasar yang membentuk konsepsi-konsepsi mutakhir seperti konsep dan pengertian agama yang bersifat komprehensif, ibadah yang menye­luruh (termasuk muamalah), akhlak yang meliputi kultur atau peradaban, serta ilmu Islami. Dengan perkataan lain, sistem pendidikan keagamaan harus mampu mengungkapkan nilai-nilai dasar Islami yang melandasi norma-norma operasional dalam pola pikir, pola perilaku, dan karya budaya, baik yang bersifat bendawi maupun maknawi.

    Kreativitas keragaman bentuk kelembagaan pendidikan yang di­selenggarakan oleh masyarakat diperlakukan dengan penggunaan ukuran yang sama. Selain itu, keragaman tersebut babas diseleng­garakan sesuai dengan kekhasan masing-masing sepanjang ciri itu tidak bertentangan dengan Pancasila sebagai dasar negara dan un­dang-undang yang berlaku, serta memudahkan peserta didik mem­peroleh pendidikan yang sesuai dengan bakat, minat, dan tujuan yang hendak dicapai atau memudahkannya menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan[3]
  3. Undang-undang Republik Indonesia No. 2, Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab IV, Pasal 10, Ayat 4 menyatakan bahwa pendidikan keluarga merupakan bagian dari jalur pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan dalam keluarga serta mampu memberikan keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral, dan keterampilan.
    Pendidikan tentang keyakinan agama yang dilakukan bagi anak-anak di bawah usia sekolah, baik yang dilakukan dalam keluarga anak tersebut maupun yang dilakukan di masjid-masjid (langgar-langgar) sudah me­rupakan tradisi yang berjalan sejak dahulu sampai sekarang. Pembubuh­an pasal dan ayat pada undang-undang di atas tampak lebih merupakan penyediaan jaminan hukum daripada pengaturan tata cara proses pendidikannya. Oleh karena itu, sesuai dengan rasionalisasinya, proses perkembangan sosial budaya dan pelaksanaan operasional agama Islam dalam kehidupan sehari-hari makin berkembang serta menyangkut berbagai aspek kehidupan masyarakat dan perorangan. Hal itu me­rupakan tantangan yang menghendaki respons positif dalam hal penyu­sunan materi, penataan metodologi pendidikan, dan pendalaman ke­yakinan agama dalam pendidikan keluarga sehingga memberikan basis yang kuat dalam kehidupan anak atau keluarga untuk selanjutnya.

Dari kajian secara umum, hubungan antara Undang-undang Republik Indonesia No. 2, Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan Undang-Undang Dasar 1945, baik pembukaan maupun batang tubuhnya, secara umum, melahirkan empat hal pokok yang berkaitan dengan masalah pendidikan agama atau keagamaan dalam kandungan Sistem Pendidikan Nasional, yaitu:
a. Hubungan antara tujuan Pendidikan Nasional dan materi (kurikulum), proses belajar-mengajar, sistem evaluasi, dan epistemologi ilmu yang bernilai Islami.
b. Sistem Pendidikan Agama Islam (PAI) sebagai komponen pendidikan harus memberikan kemungkinan operasionalisasi nilai-nilai univer­sal agama dalam bentuk-bentuk kegiatan kehidupan sehari-hari dan pada tingkat tertentu mengajarkan Islam dalam kaitannya dengan disiplin ilmu tertentu (IDI).
c. Pendidikan keagamaan, baik secara ideal, struktural maupun secara operasional seyogianya memiliki kekhususan tertentu berupa pende­katan yang integral Islami (Sistem Pendidikan Islam).
d. Sistem pendidikan keluarga, sesuai dengan tujuan yang juga dirumus­kan dalam undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional hen­daknya merupakan penanaman dan pengembangan keyakinan agama yang dilakukan sesuai dengan tingkat perkembangan jiwa anak yang berpengaruh terhadap perkembangan kognitif, afektif, dan psikomoto­rik yang akan menjadi landasan atau masukan dan penguatan (rein­forcement positive) bagi tingkat keimanan dan keyakinan agamanya.

C. Kedudukan Pendidikan Agama dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

1. Gambaran Umum UU Nomor 2 Tahun 1989 dan UU Nomor 20 Tahun 2003

UU No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah dilaksanakan sejak diundangkan pada tahun 1989. Sementara RUU SPN sekarang masih dalam proses persetujuan DPR RI untuk diundangkan. Perbandingan UU SPN dengan RUU SPN tersebut dapat membantu memahami butir-butir barn dalam RUU SPN. Perbandingan anatominya dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel Ringkasan Anatomi Perbandingan Isi Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003

Undang-undang Nomor 2
Tahun 1989
Undang-undang Nomor 20
Tahun 2003
Bab 1: Ketentuan Umum (Ps. 1:12 butir)
Bab I: Ketentuan Umum (Ps. 1: 23 butir)
Bab II: Dasar, Fungsi dan Tujuan (Ps. 2, 3, dan 4)
Bab II: Dasar, Fungsi dan Tujuan (Ps. 2,3, dan 4)

Bab III: Prinsip Pendidikan (Ps. 5: 5 ayat)
Bab III: Hak WN untuk Memperoleh Pendidikan (Ps. 5- 8)
Bab IV: Hak dan Kewajiban WN, Masyarakat dan Pemerintah (Ps.6-11)
Bab IV: Satuan, Jalur dan Jenis Pendidikan (Ps. 9-11)
Bab VI: Jalur, jenjang dan jenis Pendidikan Bag ke-1: Umum (Ps. 13‑16); Bag. ke-2: Pendidikan Prasekolah (Ps. 17); Bag. ke-3: Pendidikan Dasar (Ps. 18); Bag. ke-4: Pendidikan Menengah (Ps. 19-21) Bag. ke-5: Pendidikan Tinggi (Ps. 22-24); Bag. ke‑6: Pendidikan Luar Sekolah (Ps. 25); Bag. ke-7: Pendidikan Keagamaan (Ps. 26); Bag. Ke-8: Pendidikan Jarak Jauh (Ps. 27)
Bab V: Jenjang Pendidikan Bag. Ke-1: Umum (Ps. 12); Bag. Ke-2: Pendidikan Dasar (Ps. 13 -14); Bag. Ke-3: Pendidikan Menengah (Ps. 15); Bag. Ke-4: Pendidikan Tinggi (Ps. 16-22)


Bab VI: Peserta Didik (Ps. 23-26)
Bab V: Peserta Didik (Ps. 12)
Bab VII: Tenaga Kependidikan (Ps. 27- 32)
Bab XI: Tenaga Kependidikan (Ps. 34-38)

Bab XII: Sarana dan Prasarana Pendidkan (Ps. 39)



Bab VIII: Sumber Dana Pendidikan (Ps. 33-36)
Bab XIII: Pendanaan Pendidikan. Bag. Ke-1: Tanggung jawab Pendanaan (Ps. 40); Bag. Ke-2: Sumber Pendanaan (Ps. 41); Bag. Ke-3: Pengelolaan Dana Pendidikan (Ps. 42); Bag. Ke-4: Pengalokasian Dana Pemerintah (Ps. 43)
Bab IX: Kurikulum (Ps. 37-39)
Bab X Kurikulum (Ps. 32-33)
Bab X: Hari Belajar & Libur sekolah (Ps. 40)

Bab XI: Bahasa Pengantar (Ps. 41 -42)
Bab VII: Bahasa Pengantar (Ps. 28-29)
Bab XII: Penilaian IPs. 43-46)


Bab VIII: Wajib Belajar (Ps. 30)

Bab IX: Standar Nas. Pendidikan (Ps. 31)
Bab XIII: Peran Serta Masyarakat (Ps. 47)
Bab XV: Peran Serta Masyarakat dalam Pendidikan. Bag. Ke-l: Urnum (Ps. 49); Bag. Ke-2: Pendidikan Berbasis Masyarakat (Ps. 50); Bag. Ke 3: Dewan Pendidikan dan Komite Sokolah (Ps.51)
Bab XIV: BPPN (Ps. 48)


Bab XVI: Evaluasi, Akreditasi dan Sertifikasi. Bag. Ke-1 : Evaluasi (Ps. 52- 54); Bag. Ke-2: Akreditasi (Ps. 55); Bag. Ke-3: Sertifikasi (Ps. 56)
Bab XV: Pengelolaan (Ps. 49-51)
Bab XIV: Pengelolaan Pendidikan (Ps. 44-48)
Bab XVI: Pengawasan (Ps. 52
dan 53)
Bab XVII: Pengawasan (Ps. 57)
Bab XVII: Ketentuan lain-lain (Ps. 54)
Bab XVIII: Ketentuan lain-lain (Ps. 58)
Bab XVIII: Ketentuan Pidana (Ps. 55 dan 56)
Bab XIX: Sanksi (Ps. 64-65)
Bab XIX: Ketentuan Peralihan (Ps. 57)
Bab XX: Ketentuan Peralihan (Ps. 65)
Bab XIX: Ketentuan Penutup(Ps. 58- 59)
Bab XXI: Ketentuan Penutup (Ps. 66-67)
ü Kolom yang kosong menunjukkan tidak didapat tema yang sama persis pada salah satunya.

Secara sederhana Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 terdiri atas 19 bab dan 59 pasal. Sedangkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 terdiri atas 21 bab dan 67 pasal. Hal ini menyiratkan adanya hal-hal baru yang dirumuskan yang terkait dengan makin kompleksnya masalah-masalah yang diatur. Seperti dalam tabel di atas, banyak butir-butir yang masih dipertahankan terutama berkenaan dengan hal-­hal yang mendasar (misalnya: dasar, fungsi dan tujuan), meskipun dirumuskan kembali agar sesuai dengan kebutu­han pengembangan dan tuntutan perkembangan zaman. Cukup banyak juga butir-butir baru yang tardapat dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 ini. Namun bila dicermati dengan saksama, peruba­han yang dilakukan sebenarnya lebih tepat dikatakan sebagai perombakan karena menyangkut hal-hal yang prinsip.
Penambahan butir baru dapat dilihat dalam tabel. Sedangkan yang berkenaan dengan tujuan pendidikan, dapat dicermati dari rumusan berikut. Rumusan tujuan Pendidikan Nasional sesuai dengan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 sebagai berikut:
Pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadiaan yang mantap dan mandiri, serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.

Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003, tujuan pendidikan adalah sebagai berikut:

Pendidikan nasional bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, kreatif, mandiri, estetis, dan demokratis, serta memiliki rasa kemasyarakatan dan kebangsaan.

2. Posisi Pendidikan Agama dalam UU No. 2 Tahun 1989 dan UU No. 20 Tahun 2003

Ketentuan tentang pendidikan agama dalam UU No.2 Tahun 1989 dapat dilihat pada Pasal 39 (2) yang menyebutkan:

Isi kurikulum setiap jenis, jalur, dan jenjang pendidikan wajib memuat:
a. Pendidikan Pancasila
b. Pendidikan agama
c. Pendidikan kewarganegaraan

Dari rumusan tersebut dapat dipahami bahwa menurut UU No. 2 Tahun 1989, pendidikan agama merupakan mata pelajaran wajib bagi setiap jenis, jalur, dan jenjang pendidikan mulai dari pra sekolah (TK/RA) sampai dengan pendidikan tinggi (PT).
Ketentuan tentang pendidikan agama dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 dapat dilihat pada Pasal 33 (2) dan Pasal 12 (1). Pasal 33 (2) menegaskan tentang wajibnya pendidikan agama di sekolah. Secara lengkap pasal tersebut menyebutkan:

Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat pendidikan agama, kewarganegaraan, sejarah, bahasa Indonesia, matematika, sains dan teknologi, ilmu pengetahuan sosial, serta seni dan olah raga.

Sedang Pasal 12 (1) menjelaskan tentang hak setiap peser­ta didik terkait dengan pendidikan agama di sekolah. Pasal tersebut menyebutkan:

Setiap peserta didik pada satuan pendidikan merupakan subjek dalam proses pendidikan yang berhak:
1. Mendapat pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang se­agama;
2. Mendapat perlakuan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya;
3. Pindah ke program pendidikan pada jalur dan satuan pendidikan lain yang sejajar;
4. Menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar masing-masing.

Apabila dicermati, ada perbedaan yang cukup signifi­kan mengenai ketentuan pendidikan agama di sekolah menurut UU No. 2 Tahun 1989 dan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tersebut.
Perta­ma, menurut UU No. 2 Tahun 1989, pendidikan agama men­jadi mata pelajaran wajib bagi setiap jenis, jalur, dan jenjang pendidikan mulai dari pra sekolah (TK/RA) hingga pendidikan tinggi (PT). Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003, pendidikan agama menjadi mata pelajaran wajib bagi pendidikan dasar (SD/SLIP) dan pendidikan menengah (SLTA). Sedangkan untuk pendi­dikan pra sekolah dan pendidikan tinggi tidak disebutkan, yang berarti tidak diwajibkan.
Kedua, dalam UU No. 2 Tahun 1989 tidak diatur ketentu­an tentang hak setiap peserta didik terkait dengan pendidikan agama di sekolah,[4] sedang dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 diatur secara tegas seperti tercantum pada pasal 12 ayat 1 di atas. Pasal 12 ayat 1 inilah yang untuk beberapa lama masih menjadi bahan perdebatan yang cukup sengit antara pihak-pihak yang pro dan kontra. Pihak yang pro jelas mendukung pasal ter­sebut untuk tetap dipertahakan, sedang yang kontra meng­usulkan untuk dihapus. Mereka berpendapat bahwa pasal ter­sebut tidak sejalan dengan isu HAM dan pluralisme keaga­maan yang sekarang sedang berkembang di masyarakat.

3. Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan
Pendidikan Agama, menurut Zuhairini (1993: 10) adalah usaha untuk membimbing ke arah pertumbuhan kepribadian peserta didik secara sistematis dan pragmatis supaya mereka hidup sesuai dengan ajaran Islam, sehingga terjalin kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Dalam konteks yang lebih luas pengajaran agama adalah alat untuk mencapai Pendidikan agama.
Sedangkan pendidikan keagamaan yang termuat di dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 pasal 26 bagian ke tujuh dari bab VI, sebagai berikut:
1) Pendidikan keagamaan merupakan pendidikan yang diselenggarakan oleh kelompok umat dari agama yang diakui oleh pemerintah.
2) Pendidikan keagamaan bertujuan untuk menyiap­kan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang dapat menerapkan dan mengembangkan nilai-nilai keagamaan.
3) Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur sekolah dan jalur luar sekolah.
4) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
4. Pendidikan Agama di Sekolah: Suatu Catatan Kritis
Secara tegas dinyatakan bahwa Indonesia bukan negara agama,[5] dan bukan pula negara sekuler, tetapi negara Pancasila. Dengan penegasan seperti isu, menurut Effendi (2002:19), Indonesia secara sosial-politik tidak mendasarkan pada agama tertentu. Di sisi lain, Indonesia bukan pula komunitas yang ditata secara sekuler yang tidak memperhatikan kepentingan keagamaan warganya. Sebagai negara yang tidak sekuler, Indo­nesia memberi kesempatan dan bahkan membantu warganya dalam menjalankan ajaran agamanya.
Sebagai negara Pancasila, dapat dikatakan bahwa Indo­nesia mengambil jalan tengah (middle path) antara negara agama dan negara sekuler. Rumusan sila pertama Pancasila dan Pasal 29 UUD 1945 Ayat (1) memberikan sifat yang khas pada Negara Indonesia, bukan negara sekuler yang memisahkan agama dan negara, dan bukan negara agama yang berdasarkan pada agama tertentu. Negara Pancasila menjamin kebebasan setiap warga negaranya untuk beragama dan wajib memelihara budi pekerti luhur berdasarkan nilai-nilai Pancasila (Effendi, 2002: 19).
Dalam Negara Pancasila, agama dan nasionalisme hidup berkembang dan didukung negara. Negara Pancasila menyatu­kan beragam kelompok yang bertentangan. Sebagai kompromi politik, negara mendukung perkembangan agama meski tidak menyatakan satu agama sebagai agama negara. Dengan Pancasila, Indonesia menganut model generally religions policy, di mana negara dibimbing agama secara umum dan substantifistik serta tidak secara institusional berkait dengan tradisi keagamaan tertentu. Agama dapat menyediakan basis moral dan spiritual dalam kehidupan negara dan masyarakat seperti dalam sistem hukum dan budaya politik. Negara dapat menggunakan perspek­tif agama dalam batas-batas otoritas fungsional seperti menyediakan pelayanan keagamaan, pendidikan agama, dan mencegah tingkah laku politik dan sosial yang bertentangan dengan nilai-nilai agama (Effendi, 2002: 19).
Dengan status negara yang demikian, maka wajar kalau kemudian Pemerintah Indonesia tetap memandang bahwa agama menduduki posisi penting di negeri ini sebagai sumber nilai dalam berlaku. Sebagai implikasinya, sudah sepantasnya kalau kemudian pemerintah menaruh perhatian besar terhadap pendidikan agama, baik dalam bentuk pendidikan agama di sekolah-sekolah umum, maupun pengembangan lembaga pendidikan keagamaan yang hal ini diperkuat dalam bentuk undang-undang (Jabali dan Jamhari, 2002: 62).

5. Pendidikan Agama di Sekolah dan Isu Hak-Hak Asasi Manusia (HAM)
Dewasa ini, apa pun yang berkembang dan terjadi di masyarakat seringkali dihubungkan dengan isu HAM, baik dalam bidang sosial, politik, hukum, ekonomi, dan bidang-bidang lainnya, termasuk pendidikan, dan lebih khusus lagi pendidikan agama.
Secara istilah, HAM dapat diartikan sebagai hak­-hak yang melekat pada manusia berdasarkan kodratnya. Atau, dengan bahasa lain, HAM adalah hak-hak yang dimiliki manusia sebagai manusia sehingga sifatnya memang asasi (Setiardjo, 1993: 73). Salah satu yang termasuk hak asasi manusia adalah hak dalam beragama. Hal ini sesuai dengan rumusan Deklarasi Universal HAM oleh PBB pada Tahun 1948 yang tercantum pada pasal 18, yang menyebutkan:

Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, keinsyafanbathin dan agama; dalam hak ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaan dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadah dan menepatinva, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum maupun secara sendiri (Peter Davies, 1994: xxxi).

Menurut rumusan di atas, masalah agama memang merupakan hal yang bersifat pribadi, sehingga negara, termasuk negara Indonesia, tidak berhak untuk mencampuri urusan agama bagi setiap warganya, dalam arti tidak boleh memaksakan suatu agama tertentu kepada warganya. Lalu, bagaimana dengan kebijakan pemerintah yang mewajibkan pendidikan agama di sekolah-sekolah, dan juga memberikan hak kepada para peserta didik untuk mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajar oleh pendidik yang seagama? Apakah dengan itu berarti pemerintah telah memaksakan agama tertentu kepada setiap warganya?
Menurut hemat penulis, kebijakan pemerintah seperti itu tidak dapat dipahami bahwa pemerintah telah memaksakan suatu agama tertentu bagi warganya. Kebijakan pemerintah tersebut tidak lebih sebagai upaya pemerintah untuk memberikan fasilitas bagi para warganya untuk mengembangkan kehidupan keagamaannya sesuai dengan agama/keyakinan yang dianutnya. Sehingga dengan demikian, kebijakan pemerintah mewajibkan pendidikan agama di sekolah tersebut tidak bisa dikatakan bertentangan dengan nilai-nilai HAM, lebih-lebih kebijakan tentang pemberian hak bagi para peserta didik untuk memperoleh pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama. Justru hal seperti inilah yang sesuai dengan nilai-nilai HAM, karena berarti pemerintah telah memberikan sesuatu sesuai dengan kondisi para peserta didik itu sendiri. Sebaliknya, yang dapat dikategorikan melanggar HAM itu apabila ada kebijakan yang menyatakan bahwa setiap peserta didik ber­hak mendapat pendidikan agama sesuai dengan kuri­kulum yang berlaku di lembaga pendidikan tersebut. Jelas, kebijakan seperti ini melanggar nilai-nilai HAM, karena ada unsur pemaksaan terhadap kondisi keagama­an peserta didik bagi yang kebetulan tidak seagama dengan lembaga pendidikan dimana ia belajar.

6. Pendidikan Agama di Sekolah dan Isu Pluralisme Ke­agamaan
Akhir-akhir ini begitu marak perbincangan seputar isu pluralisme keagamaan di tanah air ini, lebih-lebih de­ngan semakin seringnya terjadi kasus konflik antar ang­gota masyarakat yang diduga kuat dipicu oleh unsur SARA.
Isu pluralisme keagarnaan yang berkembang, apabila kita cermati setidaknya dapat kita rangkum dalam dua point. Pertama, pentingnya mengembangkan sikap toleransi/sikap saling menghormati dan meng­hargai terhadap perbedaan dalam beragama. Kedua, perlunya pengakuan seseorang terhadap kebenaran agama lain, di luar agama yang dipeluk. Menurut mereka, tidak ada agama yang benar secara absolut, tetapi yang ada adalah kebenaran yang relatif (relativisme teologis).
Menanggapi isu pluralisme keagamaan seperti itu, menurut hemat penulis, butuh sikap hati-hati. Ter­hadap isu pertama barangkali kita dapat menerimanya karena dalam agama Islam juga ada ajaran seperti itu. Hal ini dapat kita baca misalnya dalam QS. al­Kafirun dan QS. al-Baqarah: 256, yang secara tegas mengajar­kan kepada kita untuk bersikap toleran dan menghormati serta menghargai pemeluk agama lain serta memberi kebebasan bagi mereka untuk menjalan keagamaan sesuai dengan keyakinannya.
Lalu bagaimana dengan pendidikan agama di sekolah-sekolah, jika dikaitkan dengan isu pluralisme keagamaan tersebut? Dalam hal ini penulis tidak sependapat dengan gagasan sebagian kalangan yang meng­inginkan pendidikan agama dihapuskan dan atau diganti dengan mata pelajaran lain seperti budi pekerti. Pendidikan agama yang ada selama ini dianggap tidak relevani dengan isu pluralitas keagamaan tersebut.[6]
Menurut penulis pendidikan agama tetap perlu diberikan di sekolah-sekolah, hanya saja, modelnya harus diubah. Kalau selama ini pendidikan agama hanya menekankan pada aspek kesalihan vertikal (aspek ritual), maka sekarang dan ke depan harus diperbarui dengan menekankan aspek kesalihan vertikal dan horizontal. Dengan model pendekatan seperti ini, diharapkan peserta didik, di samping tetap akan memiliki keimanan yang benar sesuai dengan agamanya, juga memiliki sikap toleransi yang tinggi seperti yang dituntut oleh keadaan masyarakat yang plural.

D. Pendidikan Agama: Pemicu Pro dan Kontra terhadap Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 telah disahkan lebih dari lima tahun yang lalu. Proses pembahasan Rancangan Undang-undang itu sempat diwarnai perdebatan cukup sengit dan menguras emosi massa.
Di tengah polemik dan kontroversi, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)—minus Fraksi PDIP—akhirnya menyetujui Rancangan Undang-undang (RUU) ini pada 11 Juni 2003. Tidak sampai sebulan kemudian, Presiden Megawati pun menandatangani undang-undang tersebut pada 8 Juli 2003.

1. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 disahkan DPR tanpa Fraksi PDI Perjuangan

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional secara resmi disahkan dalam rapat Paripurna DPR pada Rabu malam, tanggal 11 Juni 2003. Pengesahan RUU tersebut dilakukan setelah mendengarkan pandangan akhir Fraksi Kesatuan dan Kebangsaan Indonesia yang menyatakan keberatan jika peraturan itu disahkan. Sedangkan fraksi-fraksi lain yang hadir menyatakan setuju RUU Sisdiknas disahkan (http://www.hidayatullah.co.id/, diakses 22 Desember 2008).
Rapat yang dipimpin Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar itu tidak dihadiri oleh satu pun dari 151 anggota F-PDIP. Ketidakhadiran anggota F-PDIP itu merupakan wujud penolakan atas pengesahan RUU Sisdiknas tersebut.
Meskipun demikian, ketidakhadiran anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP) tidak berpengaruh terhadap sahnya mekanisme pengambilan keputusan. Pasalnya, dalam Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hari Selasa, 10 Juni 2003 sudah disepakati untuk tidak mempersyaratkan kuorum dalam rapat paripurna lanjutan (http://www.hidayatullah.co.id/, diakses 22 Desember 2008).
Karena itu, kemarin rapat langsung dibuka tanpa terlebih dulu menyebutkan berapa anggota yang hadir. Kecuali F-PDIP, anggota DPR dari delapan fraksi lainnya hadir. Kedelapan fraksi tersebut adalah Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Fraksi Reformasi, Fraksi TNI/Polri, Fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesia, Fraksi Partai Bulan Bintang, dan Fraksi Partai Perserikatan Daulatul Ummah. Jumlah anggota yang hadir lebih kurang sama dengan yang hadir pada rapat paripurna pada Selasa, 10 Juni 2003, yakni 297 orang.
Di antara delapan fraksi tersebut, hanya Fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesia (F-KKI) yang menyatakan tidak setuju atas pengesahan Rancangan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) menjadi UU (Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003). Namun, lewat kata akhirnya, F-KKI menyatakan tetap menghargai hasil keputusan rapat paripurna. Sikap "penghargaan" F-KKI yang dikemukakan Astrid Susanto tersebut disambut tepuk tangan oleh seluruh anggota DPR yang hadir (http://www.hidayatullah.co.id, diakses 22 Desember 2008).
Pada Rabu malam pukul 20.35 WIB, Muhaimin mengetuk palu pertanda pengesahan RUU Sisdiknas. Akan tetapi, sejumlah anggota DPR menyampaikan intrupsi keberatan dan menyatakan tidak bertangggungjawab. Interupsi itu sebagai pertanggungjawaban kepada konstituen yang sebagian menghendaki RUU itu ditolak.
Menteri Pendidikan Nasional, Abdul Malik Fadjar dan mantan Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU Sisdiknas Anwar Arifin menegaskan, UU yang baru disahkan akan menggantikan UU Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang dianggap tidak sesuai lagi dengan situasi saat ini (http://www.hidayatullah.co.id/, diakses 22 Desember 2008).
Sebelumnya, para penentang RUU Sisdiknas yang kebanyakan berasal dari kalangan non-muslim merasa keberatan perihal disahkannya RUU ini. Di antara pasal yang ditolak kalangan non-muslim adalah pasal 13, yang diantara isinya mewajibkan setiap sekolah mengajarkan pendidikan agama sesuai agama murid yang dianut. Meski Kementrian Pendidikan Nasional dan Meneg PAN, memberikan jalan tengah dengan menyediakan anggaran termasuk menyiapkan guru agamanya, namun pada akhirnya F-PDI tetap tak hadir dalam sidang paripurna tersebut.

2. Reaksi Kalangan Non-Muslim
a. Penolakan terhadap Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003
Ketika masih digodog di gedung DPR, penolakan terhadap Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 bermunculan di mana-mana, terutama di daerah yang komunitas Kristennya banyak. Propinsi Sulawesi Utara, misalnya, Harian Sinar Harapan (http://www.geocities.com/nusanive/sinarharapan, diakses pada 22 Desember 2008), pada Kamis, 26 Juni 2003, memberitakan bahwa Provinsi Sulawesi Utara tetap menolak disahkannya Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) menjadi undang-undang. Untuk itu Sulawesi Utara tetap akan menggunakan UU Pendidikan yang lama. Demikian antara lain pendapat yang disampaikan anggota Komisi A DPRD Sulawesi Utara Ferlij Pijoh dan Wakil Ketua DPD II Partai Golkar Manado Herry Kereh kepada wartawan dalam kesempatan terpisah, Rabu, 25 Juni 2003 di Manado.
Sikap tersebut dilakukan menyusul tidak didengarnya aspirasi mayoritas warga Sulawesi Utara yang menolak RUU Sisdiknas di Manado. DPRD Sulawesi Utara, menurutnya, sudah memparipurnakan penolakan UU Sisdiknas dan telah disampaikan ke Jakarta. Sayangnya, menurut Pijoh, aspirasi itu tidak didengar DPR.
Wakil Ketua DPD II Partai Golkar Manado, Herry Kereh, SE, menyatakan pendapat senada. Ia berharap pemerintah pusat bisa memperhatikan keinginan mayoritas masyarakat Sulawesi Utara dalam pembuatan peraturan pemerintah (PP).
Sementara itu, di hadapan ratusan warga yang melakukan aksi unjuk rasa menolak UU Sisdiknas di gedung DPRD Sulawesi Utara, Selasa, 24 Juni 2003, Wakil Ketua DPRD Sulawesi Utara Janes Parengkuan kembali menegaskan, harus dipahami bahwa hingga detik ini Sulawesi Utara menolak UU Sisdiknas. "DPRD Sulawesi Utara tetap konsisten. Ingat paripurna menolak RUU Sisdiknas tidak dicabut. Jadi kalau pun UU Sisdiknas itu disahkan, Sulawesi Utara akan mempergunakan UU yang lama," tukasnya.
Hal yang sama dilakukan oleh FFPPKR (Front Pemuda Penegak Kedaulatan Rakyat) Borneo Kalimantan Barat. FFPPKR menolak Undang-Undang Sisdiknas (http://arsip.pontianakpost.com/, diakses 12 Desember 2008).
Hal ini disampaikan oleh Presidium FPPKR-Borneo, T Aristo Marajuang S. Sos. dan Sekjennya M. Eko Hardian hari Jumat, 6 Juni 2003. Penolakan tersebut, menurut FFPPKR karena UU Sisdiknas mengandung ancaman bagi kedaulatan Bangsa Indonesia. Dinilainya UU Sisdiknas mengandung unsur SARA, khususnya dengan iklim Kalbar, sehingga diperlukan suatu pendekatan yang berbeda pula, khususnya dalam bidang pendidikan nasional.
Menurut Marajuang, UU tentang Sisdiknas yang akan ditetapkan oleh Pemerintah RI tersebut mesti mengandung unsur azas keadilan dan pemerataan. Untuk menyikapi berkaitan dengan UU Sisdiknas tersebut, maka FPPKR - Borneo Kalbar menolak secara tegas hal tersebut.
Ditambahkannya, bahwa FPPKR - Borneo Kalbar juga meminta kepada DPR dan DPRD untuk mengambil sikap atau pernyataan guna menghindari proses perpecahan Bangsa Indonesia, akibat polemik mengenai pro dan kontra UU Sisdiknas itu.
Selain itu, FPPKR-Borneo Kalbar juga mengharap agar semua tokoh masyarakat dan tokoh agama untuk sama-sama untuk bersatu padu berpegang teguh kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hingga tidak mudah terjebak kepada kepentingan kelompok tertentu yang pada akhirnya hanya akan memecah belah Bangsa dan Negara.
Sikap sinis terhadap Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 ini juga dilontarkan oleh Yumarma, seorang Pemerhati Pendidikan, Doktor Filsafat Timur, Pendiri Paguyuban Manusia Ranah Semesta (Pamarta). Menurut Yumarna (http://my.opera.com/arjuna_kabel/blog/2008/01/04/, diakses 22 Desember 2008), Draf Undang-undang sistem pendidikan nasional yang rencananya akan disahkan pada 2 Mei 2003, perlu mendapatkan pertimbangan dan peninjauan kembali secara serius, khususnya berkaitan dengan pendidikan agama.
Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) merupakan pilar amat penting untuk membangun mentalitas bangsa, kecerdasan seluruh warga dan masa depan eksistensi suatu bangsa. Karena itu, memberlakukan sistem pendidikan nasional secara tergesa-gesa dan serampangan bisa berakibat fatal bagi suatu bangsa.
Sistem pendidikan nasional hendaknya mengacu filosofi yang sudah disepakati bersama sebagai landasan membangun hidup berbangsa dan bernegara yang berdaulat, yakni UUD 1945, Pancasila, dan komitmen untuk terus mewujudkan NKRI yang adil dan makmur. Pendidikan tanpa landasan filosofi akan menghasilkan generasi bangsa yang tanpa pendirian, tanpa karakter, terombang-ambing dinamika kemajuan zaman. Kecuali itu, supaya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional tidak cacat dan ditaati seluruh warga masyarakat, maka transparansi isi, proses, dan keterbukaan atas masukan atau hasil-hasil diskusi publik tidak boleh diabaikan.

b. Permintaan Otonomi Khusus
Pakar etika moral dan pendidikan asal Manado yang juga mantan Rektor Universitas Katolik De La Salle Manado, Dr. Yong Ohoitimur (http://www.sinarharapan.co.id/, diakses 22 Desember 2008) pada Jumat, 13 Juni 2003, atau dua hari selepas pengesahan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional oleh DPR, menyatakan bahwa penolakan Sulawesi Utara terhadap Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) menjadi momentum untuk segera memperjuangkan Provinsi ini berstatus otonomi khusus. Otonomi khusus dinilai menjadi jawaban paling tepat selain melakukan langkah hukum judicial review.
Usulan ini muncul setelah Gubernur Sulawesi Utara AJ Sondakh dan Wagub Freddy Sualang menuntut Perda khusus sekaligus judicial review ke Mahkamah Agung (MA), menyusul diterapkannya UU Sisdiknas.
Menurut Yong Ohoitimur (http://www.sinarharapan.co.id/, diakses 22 Desember 2008), Otonomi Khusus merupakan jawaban paling tepat, selain judicial review, karena keuntungan penerapan otonomi khusus akan terasa paling tidak menjawab maraknya isu yang mengaitkan adanya skenario muatan SARA terhadap ajaran agama tertentu yang coba disisipkan dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas itu. Melalui otonomi khusus, Sulawesi Utara mendapat kesempatan lebih mandiri mengatur berbagai aspek kehidupannya, terutama terkait penerapan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas itu sendiri.
Sementara itu, Yayasan Persekolahan Katolik Don Bosco Manado, Kamis, 12 Juni 2003 mengeluarkan pernyataan tegas, menyusul disahkannya UU Sisdiknas. Mereka mengatakan mulai tahun ajaran 2003/2004 tidak akan menerima lagi siswa beragama lain. Pernyataan tegas itu disampaikan langsung Kepala Sekolah SMU Katolik Don Bosco Frater Herman Manadagi (http://www.sinarharapan.co.id/, diakses 22 Desember 2008).
Sementara itu, Anwar Arifin pada tanggal 16 Juni 2003 menyatakan bahwa rencana pemberlakuan otonomi khusus di Sulawesi Utara setelah disetujuinya Rancangan Undang-Undang (RUU) Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) menjadi Undang-Undang (Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 dipandang kurang tepat. Pasalnya, pemberlakuan otonomi khusus tersebut justru akan merugikan masyarakat. Bagi sekolah-sekolah yang bernuansa agama tertentu hal tersebut tidak akan menimbulkan problem. Namun, untuk sekolah-sekolah negeri akan menimbulkan problem, karena hilangnya bantuan dari pemerintah pusat ke daerah (http://www.glorianet.org/, diakses 22 Desember 2008).
Menurut Arifin, (http://www.glorianet.org/, diakses 22 Desember 2008), Otonomi khusus jangan terburu-buru. Harus dipikirkan secara baik-baik. Itu berarti daerah-daerah tersebut harus menyediakan dana yang cukup besar untuk pendidikan, karena pemerintah pusat tidak akan membantu dana lagi. Dengan begitu masyarakat sendiri yang akan rugi. Permintaan otonomi khusus tersebut juga memerlukan jalan yang panjang. Pasalnya, untuk menentukan status otonomi khusus terhadap daerah harus mendapat persetujuan dari MPR. Di Indonesia baru ada dua propinsi yang berstatus otonomi khusus, yakni Papua dan Nangroe Aceh Darusalam (NAD).
Kedua daerah tersebut mendapat otonomi khusus karena beranggapan bahwa daerah mereka mempunyai kekayaan alam yang cukup namun tidak mendapatkan hasil yang seimbang. Bukan karena pendidikan, mereka minta otonomi khusus.

c. Usulan Mengganti Pendidikan Agama dengan Pendidikan Religiositas
Menurut Yumarna (http://my.opera.com/arjuna_kabel/blog/2008/01/04/, diakses 22 Desember 2008), pelaksanaan pendidikan agama dalam draf UU Sisdiknas mengandung kelemahan fundamental. Maka sebaiknya diganti dengan pendidikan religiositas yang lebih bersifat universal dan sesuai prinsip pertama Falsafah Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa.
Berikut beberapa kelemahan fundamental pendidikan agama bila dimasukkan dalam UU Sisdiknas (Yumarna (http://my.opera.com/arjunakabel/%20blog/2008/01/04/, diakses 22 Desember 2008).
Pertama, sistem pendidikan nasional sebaiknya lebih menyangkut pedoman dasar yang sifatnya umum dan fundamental. Karena itu, landasan konseptual dan filosofis harus ditekankan. Agama lebih merupakan sistem kepercayaan komunitas yang mencakup ritus, tradisi, dogma, ajaran, dan konteks historis dan sosial yang lebih berifat praktis bagi hidup sehari-hari (Bdk, Rick-Miller, A., 2003). Memasukkan agama dalam Sisdiknas berarti memasukkan pedoman teknis-praktis yang akan menimbulkan kerancuan dan silang selisih pelaksanaan di lapangan. Pemecahan yang lebih filosofis, konseptual, dan universal adalah pendidikan religiositas atau pendidikan Ketuhanan yang semestinya dimasukkan dalam UU Sisdiknas.

Kedua, dengan dimasukkannya agama dalam sistem pendidikan nasional, kita akan kehilangan landasan historis keanekaragaman kerohanian asli yang menyediakan kekayaan spiritualitas toleransi, adaptasi, dan olah batin seperti mati raga, laku tapa, dan sebagainya, yang membentuk sikap mental dan kemampuan pengendalian diri. Arogansi agama-agama besar yang diakui dalam beberapa dekade di negeri ini telah membuat warga masyarakat terasing dari kekayaan rohani asli di negeri sendiri. Padahal, melalui berlimpahnya kekayaan rohani asli seperti kemampuan pengendalian diri, semangat toleransi dan kelenturan adaptasi itulah pendidikan sikap dasar harmoni, kerukunan hidup bersama, dan kesetiakawanan antarsesama warga bangsa ditumbuhkan. Pemaksaan dimasukkannya pendidikan agama dalam sistem pendidikan nasional hanya akan kontra produktif, yang hasilnya berupa marginalisasi warga dari sejarah kemajemukan, budaya, dan kerohanian asli.

Ketiga, agama dengan perwahyuan dan klaim kebenaran atau kekuatan dogma-dogmanya, cenderung lebih bersifat formal, konservatif, dan baku. Proses pendidikan agama pun lebih bersifat otoriter dan one way communication. Bila mekanisme pendidikan agama seperti itu dimasukkan dalam UU Sisdiknas, maka hal itu tentu akan menghambat kemandirian, berkembangnya alam demokrasi, dan kemampuan generasi mendatang menghadapi sekularisasi, revolusi teknologi, komunikasi, dan ilmu pengetahuan. Usulan pendidikan religiositas atau Ketuhanan yang dimasukkan dalam Sisdiknas akan jauh lebih membantu generasi masa datang menyongsong aneka macam tantangan dan kemungkinan.

Dalam pandangan Yumarna (http://my.opera.com/arjuna_kabel/blog, diakses 22 Desember 2008), UU Sisdiknas merupakan pijakan umum untuk membangun masa depan bangsa dan negara. Oleh karena itu, landasan obyektif yang bersifat universal dan umumlah yang harus dijadikan pijakan bersama dalam bentuk undang-undang. Memang tiap agama mengajarkan kebaikan. Sebaliknya, agama-agama itu menawarkan secara berbeda-beda gambaran tentang Tuhan dan manusia. Karena itu, menurut hemat saya pendidikan agama amat tidak tepat dimasukkan dalam UU Sisdiknas.
Revolusi teknologi, komunikasi, dan ilmu pengetahuan, tak dapat lagi terbendung sistem pendekatan konservatif seperti yang sering ditawarkan tradisi agama-agama. Sistem Pendidikan Nasional harus memiliki visi jauh ke depan dengan segala kemungkinan kemajuan yang belum terprediksikan. Sistem Pendidikan Nasional yang mencerdaskan, falsafah bangsa yang kuat, dan ruang kreativitas yang luas bagi peserta didik, harus diciptakan bila kita ingin bangsa ini di masa datang memiliki harga diri dan kemampuan bersaing dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan internasional.
Tanggapan negatif tentang pendidikan agama di sekolah juga bukan hanya dilontarkan kalangan Kristen. Prof Djohar MS, Rektor Universitas Sarjanawiyata Taman Siswa Yogyakarta, mantan Rektor IKIP Negeri Yogyakarta, bahkan beranggapan bahwa pendidikan agama tidak perlu diajarkan di sekolah. Dalam sebuah tulisannya dalam sebuah situs di internet (http://my.opera.com/arjuna_kabel/, diakses 22 Desember 2008), Djohar mengemukakan bahwa agama tidak harus dipelajari di sekolah, tetapi bisa juga dipelajari di dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.

d. Kekhawatiran Mengubah Ciri Khas Sekolah
Sekretaris Majelis Pendidikan Kristen Weinata Sairin (http://www.glorianet.org/, diakses 22 Desember 2008) mengemukakan bahwa pemberlakuan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas dikhawatirkan akan mengubah ciri khas masing-masing sekolah.
Menurut Sairin, masyarakat harus paham bahwa yang dimaksud sekolah berciri khas keagamaan adalah sekolah umum yang diselenggarakan Yayasan Keagamaan baik agama Kristen, Khatolik, Islam, Hindu, dan Buddha, dan bukan seperti pesantren, sekolah minggu, sekolah guru jemaat dan sebagainya.
Prinsip yang dikhawatirkan penyelenggara sekolah berciri khas keagamaan ini, menurut Sairin, bukan pada penyediaan guru agama, melainkan prinsip perguruan swasta yang seharusnya diberi otonomi mengatur sendiri sekolahnya termasuk pendidikan agamanya.
Sebaliknya, Anwar Arifin, mantan wakil ketua Panja RUU Sikdisnas DPR menyatakan bahwa pemberlakuan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas oleh DPR tersebut diharapkan tidak akan mengubah ciri khas masing-masing sekolah itu sendiri. Pasalnya, hal tersebut bukan merupakan hal yang paling penting dalam memajukan pendidikan (http://www.glorianet.org/, diakses 22 Desember 2008).

3. Respons Kalangan Muslim
Sesudah RUU Sisdiknas (Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003) disahkan oleh DPR menjadi undang-undang, sempat timbul kekhawatiran dilakangan yang pro Undang-undang tersebut. Pasalnya ada sinyalemen Presiden Megawati Soekarno Putri tidak akan menandatangani undang-undang tersebut. Adanya kekhawatiran tersebut dilontarkan oleh Ketua Fraksi Partai Golkar, Marzuki Ahmad di DPR. Kekhawatiran itu muncul, karena penolakan PDIP (partai sang Presiden) untuk ikut berpastisipasi dalam pengesahan RUU Sisdiknas dengan alasan masih adanya kontroversi di masyarakat dan tidak sejalan dengan hasil kesepakatan dalam lobi antara pimpinan Dewan dengan pemerintah. Meskipun sebenarnya, lobi dan konsultasi bukan forum pengambilan keputusan politik. Berkaitan dengan itu, tidak sedikit anggota dewan dari PDIP yang sudah mulai angkat bicara agar Presiden tidak menandatangani undang-undang tersebut.
Berkaitan dengan hal itu, apa pengaruhnya tanda tangan Presiden terhadap undang-undang yang sudah disahkan DPR? Jika Presiden tidak menandatanginya, sahkah undang-undang tersebut? Untuk menjawab perihal itu, perlu kiranya dikemukakan apakah seorang Presiden di negara ini mempunyai hakl veto?
Seorang Presiden Republik Indonesia berdasarkan UUD 45 tidak semata-mata seorang eksekutif, malainkan juga seorang legislator (Mahmudi Asyari, http://www. hupelita.com/, diakses 22 Desember 2008). Hal ini bisa dilihat dari beberapa produk hukum yang bisa dikeluarkan seorang Presiden mulai dari Perppu, PP, dan Keppres. Disamping itu, seorang presiden juga terlibat dalam penyusunan sebuah undang-udang, dan hal itu bisa dilihat paling tidak dari keharusan adanya tandatangan Presiden di atas draf yang sudah disetujui DPR. Memperhatikan hal itu, maka bisa dikatakan bahwa sebuah undang-undang meskipun telah disahkan DPR masih dalam kondisi kritis—terlebih yang menimbulkan kontroversi seperti UU Sisdiknas—sampai Presiden membubuhkan tandatangannya. Kekuasaan itulah yang dipergunakan Presiden Soeharto untuk menunda pelaksanaan undang-undang tentang lalulintas pada tahun delapan puluhan dengan dalih untuk meredam protes masyarakat yang dikhawatirkan dapat mengganggu kelancaran Konferensi Non Blok yang waktu itu digelar di Jakarta.
Apa yang dilakukan Soeharto oleh pakar hukum dikategorikan sebagai sebuah bentuk veto terhadap produk hukum yang telah disahkan DPR, meskipun UUD 45 tidak menyebutkan secara tersurat perihal doktrin veto itu. Akan tetapi, karena Presiden, di samping memegang kekuasaan eksekutif juga memegang kekuasaan legislatif seperti yang telah disebutkan di atas, maka Presiden mempunyai otoritas untuk mengundangkan, tidak mengundangkan, atau menuda pengundangannya. Didasari oleh kenyataan itulah, umat Islam sempat sangat khawatir jikalau Undang-Undang Tentang Peradilan Agama (UUPA) tidak ditandatangani Presiden karena kuatnya penentangan dari non-muslim termasuk FPDI waktu itu (Mahmudi Asyari, http://www. hupelita.com/, diakses 22 Desember 2008).
Namun, apakah UU Sisdiknas (Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003) akan mengalami hal serupa seperti yang dikhawatirkan oleh umat Islam berkaitan dengan UUPA tersebut?
Sehubungan dengan hal itu, kalangan yang pro UU Sisdiknas tidak perlu cemas, karena meskipun Presiden tetap memegang kekuasaan legislatif selain eksekutif, namun hak veto seperti yang dipunyai oleh mantan Presiden Soeharto sudah tidak lagi dimiliki oleh Presiden pasca- BJ Habibie, karena semua Presiden sesudahnya sudah harus berjalan sesuai UUD 45 yang sudah diamandemen. Salah satu hasil amandemen itu adalah adanya klausul tambahan yang menyatakan bahwa jika dalam tiga bulan Presiden tidak menandatangani undang-undang yang disahkan DPR, undang-undang itu akan berlaku dengan sendirinya (Mahmudi Asyari, http://www.hupelita.com/, diakses 22 Desember 2008). Itulah sebabnya, Undang-Undang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Penyiaran tetap harus dilaksanakan meskipun tidak ditandatangi oleh Presiden. Apakah UU Sisdiknas akan menjadi yang ketiga? Itu semua tergantung kepada DPR dan pemerintah sendiri (Mendiknas khususnya) dalam meyakinkan Presiden. Namun, yang jelas sinyalemen untuk menjadi yang ketiga sangat terbuka, mengingat PDIP partai politik yang menjadi tunggangan Presiden menolak untuk ikut berpartisipasi dalam pengesahannya. Andaikata memang Presiden tidak menandatangani UU Sisdiknas, maka hal itu merupakan sebuah bentuk pengingkaran terhadap kebijakan pemerintah, di mana melalui Mendiknas mendorong pengesahan hal itu. Maka dari itu, wajar jika ada pihak yang bertanya, apakah Megawati itu seorang Presiden RI atau Presiden PDIP? (Mahmudi Asyari, http://www.hupelita.com/, diakses 22 Desember 2008)
Dengan demikian, berdasarkan UUD 45 yang sudah diamandemen, permberlakuan sebuah undang-undang tidak terkait dengan ditandatangani atau tidaknya oleh Presiden. Keadaan seperti itu hanya akan berubah jika ada amandemen berikutnya yang memberikan hak veto kepada Presiden yang hanya bisa dimentahkan dengan penentangan 2/3 anggota Dewan terhadap veto itu. Selama hal itu belum diamandemen, maka diktum dalam UUD 45 hasil amandemen itu berlaku untuk setiap Presiden berikutnya. Memang, adanya ketentuan itu merupakan sebuah penyimpangan dari sistem presidensial yang dianut di Indonesia. Semestinya, jika ingin konsisten dengan sistem itu Presiden harus diberi hak veto guna mengimbangi kekuatan parlemen atau dengan kata lain agar tercipta sistem check and balance di antara kedua lembaga negara tersebut. Barangkali, didasari oleh ketidakkonsistenan terhadap bentuk presidensial itu, sebagian pakar hukum menggangap undang-undang yang tidak ditandatangani Presiden tidak bsia diberlakukan meskipun UUD 45 hasil amandemen mengatakan sebaliknya.
Meskipun demikian, amandemen tersebut tidak serta merta bisa menghilangkan kartu trope Presiden, karena ia masih mempunyai kekuasaan legislasi yang lain yaitu berupa Peraturan Pemeritnah (PP). PP inilah yang bisa dimainkan Presiden untuk menunda pelaksaann UU Sisdiknas atau untuk mereduksi nilai-nilai yang sudah tegas di dalam undang-undang. Hal ini bisa saja terjadi, mengingat UU Sisdiknas sendiri mengamanatkan banyak hal yang mesti diatur dengan PP. Dan, hal itu bukanlah sesuatu yang mustahil untuk dimainkan oleh Presiden mengingat tunggangan politiknya sendiri jelas-jelas menolak ikut mengesahkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas.
Seiring dengan digulirkannya RUU Sisdiknas, bergulir juga kontroversi terhadap RUU tersebut. Faktor yang memicu kontroversi itu, tidak lain adalah pasal 12 versi DPR yang berbunyi, Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan agama sesuai dengan agma yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama. Sekali lagi, penegasan pengajaran Agama dalam sistem pendidikan Indonesia menjadi persoalan. Hal serupa terjadi pada tahun 1988 ketika RUU sisdiknas diajukan pemerintah (kini Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989) di mana perihal penegasan itu banyak mendapatkan tantangan dari kalangan non-Islam, bahkan tidak sedikit juga cendikiawan muslim juga yang ikut menentangnya. Oleh karena adanya penentangan itulah, jalan kompromi akhirnya ditempuh, yaitu dengan hanya menempatkan persoalan agama dalam penjelasan resmi undang-undang tersebut. Akibatnya, karena kekuatan penjelasan itu bisa dikatakan nihil, dalam pelaksanaanya hampir tidak ada, karena sekolah-sekolah yang menyandingkan simbol keagamaan menolak penerapan pengajaran agama yang tidak sejalan dengan garis institusinya.
Dalam rangka menegaskan keharusan pengajaran Agama yang menghargai pluralisme Agama baik di sekolah bernuansa keagamaan maupun yang tidak, akhirnya pemerintah mengeluarkan keputusan bersama tiga menteri (Pendidikan dan Kebudayaan, Agama, dan Dalam Negeri). Namun, SKB inipun sama nasibnya dengan penjelasan resmi UU No.2 Tahun 1989, karena sekolah-sekolah Kristen khusnya, menolak melaksanakan imperasi SKB itu. Maka, terjadilah pemaksaan institusi terhadap peserta didik untuk mengikuti pengajaran Agama yang tidak dianutnya. Bahkan, bisa jadi itulah tujuannya untuk mengajak pemeluk agama lain mengkonversi agama sesuai dengan simbol sekolahnya. Ini tentunya suatu pelanggaran terhadap UUD 45 yang menjamin setiap warganegara untuk memeluk agama apapun termasuk pengajaran Agama oleh orang yang seagama.
Barangkali didasari oleh fakta itulah ada usaha-usaha untuk meningkatkan status hukum yang memerintahkan keharusan pengajaran Agama kepada anak didik oleh orang yang seagama. Maka dimasukkanlah substansi yang sebenarnya sudah ada dalam penjelasan resmi UU No, Tahun 1989 dan SKB tiga menteri tersebut ke dalam batang tubuh Undang-Undang (Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional). Tentunya konsekuensi hukumnya akan sangat berbeda dan itu akan sangat mengikat instansi manapun yang menyelenggarakan pendidikan untuk menaati ketentuan itu.
Sebagaiman pendahulunya, Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sisdiknas sekarang ini, mendapatkan perlawanan yang sengit dengan beberapa argumen: HAM, Pluralisme, dan bahkan dengan pembukaan UUD 45. Mengenai persoalan HAM dan pluralisme justru Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tersebut sangat menghargai kedua aspek tersebut, karena pasal 12 jelas menjamin siapa saja untuk memeluk dan mendapatkan pengaran Agama dari orang yang seagama dalam rangka menjaga dan memperkuat keyakinan Agama yang dianut. Dengan demikian, jika dalam rangka menolak pasal 12 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas berargumen dengan HAM dan pluralisme justru tantangan itulah yang berlawan dengan nilai-nilai HAM dan pluralisme. Selain dengan dalih HAM dan pluralisme, ada usaha untuk mempertentangkan tujuan pendidikan dalam pembukaan UUD 45 dengan pengajaran Agama. Mereka berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah dalam rangka mencerdaskan bangsa bukan pendidikan Agama. Dengan kata lain, pengajaran Agama di sekolah tidak bisa mencerdaskan bangsa. Oleh sebab itu tidak perlu diatur dalam sebuah undang-undang (Mahmudi Asyari, http://www. hupelita.com/, diakses 22 Desember 2008).
Jika demikian halnya, kenapa mesti ada sekolah yang berlabelkan Agama, hapus sajalah sekolah-sekolah itu jika keberadaannya tidak memberikan kontibusi positif bagi pencerdasan bangsa! Argumen seperti, pada hakikatnya hanyalah sebuah argumen akal-akalan saja, karena basisnya logikanya tidak kuat dan terkesan hanya mau menutup-nutupi maksudnya sebenarnya, yaitu mereka yang menolak-misi kelembagaannya merasa terancam jika Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas tersebut benar-benar disahkan sebagai undang-undang. Seharunya semua pihak merasa lega dengan pencantuman pasal itu, karena-sesuai dengan ungkapan pasal 12 tersebut-RUU Sisdiknas hanya mengatakan "berhak" dan tidak mengatakan "wajib". Hak dan wajib secara kebahasan sudah jelas perbedaan maksudnya, karena kata wajib berarti lembaga yang harus proaktif menyediakan guru Agama. Sedangkan "berhak" tergantung kepada siswa yang bersekolah di sekolah tersbeut, mau menuntut haknya atau ikut arus yang sesuai dengan Agama yang melekat dengan sekolah tersebut. Oleh sebab itu, dalam rangka menghindari persoalan pelik dalam pelaksanaannya antara siswa dan sekolah perlu ada perjanjian perihak apakah hak tersebut mau digunakan atau tidak, sehingga dikemudian hari tidak ada kesan pemaksaan untuk mengikuti pelajaran Agama yang tidak diyakininya.
Dalam sebuah debat televisi di Mitro TV pada hari Kamis malam (20 Maret 2003) terkuak usaha untuk mendikhotomikan kewajiban pengajaran Agama antara sekolah negeri dan sekolah swasta. Berdasarkan argumen yang dikemukakan oleh Marbun yang mewakili Masyarakat Prihatin Pendidikan, tampak usaha untuk memisahkan kewajiban pengajaran Agama antara negeri dan swasta dan meminta agar swasta diberik kewenangan menentukan sendiri perihal pengajaran Agama, dalam arti boleh tidak menyediakan guru Agama yang seagama dengan anak didik. Bahkan ia mengatakan, mereka itu kan tidak diundang melainkan datang sendiri ke sekolah itu. Untuk itu, sudah semestinyalah tamu menghargai tempat yang didatanginya. Dengan kata lain, salah sendiri mau bersekolah ditempat "swasta" itu.
Dalam pandangan Mahmudi Asyari (http://www. hupelita.com/, diakses 22 Desember 2008), apa yang dikemukakan Marbun sebagai representasi yang menolak pasal 12 sangat jelas bahwa mereka sangat enggan pencantuman pasal itu. Argumen bertamu itu, jelas merupakan argumen lapis ke-sekian dari argumen penolakan terhadap persoalan Agama. Namun, jika diamati dengan seksama argumen itu sama saja dengan sebelumnya, sebab apa yang dikemukakannya merupakan pengingkaran terhadap status sekolah umum yang melekat dengan lembaga pendidikan yang dikelolanya. Jika, mereka mengelola lembaga pendidikan umum dalam arti tidak mengajarkan materi Agama secara lenbih intensif sebagaimana di pesantren dan lembaga pendidikan Islam lainnya (MI, MTs, MA, dan lainnya), maka siapapun berhak masuk dan bersekolah di sana sesuai persyaratan yang ditentukan oleh lembaga tersebut. Dalam hal ini, saya sangat setuju sebuah argumen yang menyatakan sekolah merupakan ruang publik, oleh sebab itu siapapun tanpa memperhatikan latarbelakang kegamaannya berhak bersekolah di sana. Akan tetapi, pengacuhan terhadap latarbelakang Agama tidak sama dengan peniadaan hak setiap siswa untuk mendapatkan pengajaran Agama dari orang yang seagama. Hal ini diperlukan dalam rangka menghindari usaha-usaha penyesatan terhadap Agama jika dilakukan oleh orang yang tidak seagama.
Kewajiban itu, menurut saya, dengan sendirinya akan hilang jika sekolah-sekolah yang berlabelkan Agama tersebut secara tegas-tegas menyatakan bahwa lembaga pendidikan itu merupakan suatu bentuk kekhususan dalam arti hanya mengajarkan materi Agama tertentu secara lebih intens seperti MI, MTs, dan MA serta pesantren yang secara jelas-jelas mengatakan bahwa lembaga itu mengajarkan meteri Agama Islam secara lebih intens. Itupun, jika ada anak didik yang masih mau bersekolah di sana, lembaga pendidikan Islam tersebut harus menyediakan pendeta dan pastur untuk mengajarkan basik agamanya, meskipun dalam materi keislaman lainnya yang lebih merupakan ilmu harus mengikutinya.
Oleh sebab itu, selama sekolah itu, masih berlabelkan umum sebagaimana ketentuan perundang-undangan, meskipun berlabelkan agama tertentu, tetap berkewajiban untuk menyediakan guru agama yang seagama dengan siswa. Maka dari itu, argumen “salah sendiri siswa memilih lembaga itu” tidak bisa diterima. Seharusnya pernyataan seperti dikembalikan kepada dirinya sendiri, yaitu: “salah sendiri kenapa lembaganya berlabelkan sekolah umum” dan juga “salah sendiri kenapa mereka juga diterima untuk bersekolah di situ”. Seharusnya, “argumen tamu” akan terlihat benar jika dibarengi dengan klausul kami hanya menerima siswa yang seagama dengan lembaga pendididkan kami.
Memang, Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Sisdiknas masih jauh dari ideal, terutama masih adanya perlakuan yang berbeda terhadap sekolah negeri dan swasta, adanya dikhotomi kewenangan pengaturan pendidikan antara Diknas dan Depag, yang bermuara kepada adanya dikhotomi pendidikan, serta tidak ada jaminan hidup bagi guru (swasta). Seharusnya itu yang dipersoalkan sebagai sebuah hambatan pencerdasan bangsa, bukan masalah pasal 12, karena substansinya sudah sangat sesuai dengan UUD 45, HAM, pluralisme beragama, dan keadilan (tidak ada dominasi atau tirani mayoritas terhadap minoritas). Justru sebaliknya, menurut saya, orang-orang yang menentang pasal 12 itulah yang berlawanan dengan hal-hal tersebut.

4. Tidak Ada Sanksi bagi Pelanggar Ketentuan tentang Pendidikan Agama
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, bagaimana pun mesti kita cermati dan kita kritisi karena mungkin saja ada sesuatu yang kurang atau terlupakan. Salah satu pasal yang menjadi perdebatan alot adalah tentang pengaturan pengajaran pendidikan agama di sekolah (Pasal 12 ayat 1). Kita tentunya sepakat bahwa pendidikan agama sangat penting.
Megapa pendidikan agama perlu dan penting untuk diajarkan di sekolah? Pertama, landasan filosofis bangsa Indonesia adalah Pancasila, yang sila pertamanya Ketuhanan Yang Maha Esa, yang mengandung makna setiap warga negara wajib beriman kepada Tuhan YME. Agar beriman, tentu harus diberikan pendidikan agama. Kedua, landasan konstitusional UU 1945 Pasal 29 ayat 1 dan ayat 2 tentang negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan negara menjamin kebebasan memeluk agama dan beribadah sesuai agama dan kepercayaannya. Bagaimana mungkin orang bisa beribadah sesuai agamanya tanpa pendidikan agama? Oleh karena itu, perlu dilaksanakan pendidikan agama. Ketiga, landasan sosial religius masyarakat Indonesia yang sejak dulu terkenal sebagai masyarakat religius.
Umat Islam boleh berbahagia dan layak bersyukur dengan lahirnya UU Sisdiknas yang baru, mengingat dalam UU itu tercantum pasal yang mengatur pelaksanaan pengajaran agama di sekolah (Pasal 12 ayat 1 usulan pemerintah atau Pasal 13 ayat 1 pada draft DPR RI). Pasal tersebut berbunyi, "Setiap peserta didik pada satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama di semua jalur-jenjang, dan jenis pendidikan."
Namun, kebahagiaan itu tampaknya percuma saja sebab pada UU itu tidak adan pasal tentang sanksi hukum bagi pelanggarnya. Hal ini tentu saja menimbulkan kekhawatiran tentang pelaksanaan pengajaran agama—terutama di sekolah swasta non-Muslim—akan berlangsung seperti dulu, banyak terjadi pelanggaran sebab UU Sisdiknas yang lama tidak mencantumkan sanksi hukum bagi pelanggarnya.
Banyak sekolah—terutama sekolah swasta non-Muslim—yang tidak memberikan pengajaran agama Islam meskipun banyak memiliki siswa Muslim. Para siswa Muslim mau tidak mau harus mengikuti pendidikan agama yang tidak sesuai dengan agamanya. Sebab, jika tidak, nilai pelajaran agama di rapornya akan kosong. Bahkan, ada siswa yang terpaksa mengikuti kegiatan ritual agama yang bukan agamanya karena khawatir nilai pelajaran agamanya akan jelek.
Jenis pelanggaran lainnya adalah dengan mengajarkan pendidikan agama oleh guru yang tidak seagamanya. Memang logis alasan bahwa bisa saja itu dilakukan jika pelajaran agama diterima sebatas sebagai ilmu pengetahuan. Akan tetapi, pendekatan sekularitas ini dapat berakibat pada pendangkalan penghayatan agama siswa. Ajaran agama hanya akan cukup diketahui tanpa perlu diamalkan/dipraktikkan. Jika demikian, moral bangsa kita akan semakin bobrok.
Praktik pelanggaran pengajaran agama seperti di atas akan tetap terjadi, bahkan dengan "aman" dilakukan oleh umumnya sekolah-sekolah non-Muslim karena memang tidak ada pasal sanksi tegas pada UU Sisdiknas. Padahal, ini merupakan pelanggaran HAM yang bisa diajukan ke pengadilan, tapi masyarakat kita umumya masih awam (baca: buta hukum dan HAM). Sementara pemerintah melalui Depdiknas terkesan tutup mata dan kurang peduli sehingga praktik pelanggaran tersebut berlangsung aman-aman saja.
Pengajaran agama merupakan hak asasi tiap orang seperti ditegaskan dalam Pasal 18 Deklarasi HAM (Universal Declaration of Human Right) yang berbunyi, "Setiap orang punya hak dan kebebasan dalam berpikir, berhati nurani dan beragama; seseorang juga bebas mengubah agama atau kepercayaan sesuai keyakinannya, serta berhak mendapat kesempatan untuk mengaplikasikan agama dan keyakinannya dalam pengajaran, peribadatan dan kehidupan sehari-hari."
Dengan demikian, jelas sekali bahwa hak paling asasi dari manusia adalah kebebasan untuk memilih agama dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Sama halnya dengan hak untuk merdeka dan kebebasan berbicara. Oleh karena itu, tiap penyelenggara pendidikan wajib memberikan pengajaran agama sesuai dengan keyakinan (agama) peserta didik.
Praktik pelanggaran tersebut dapat diminimalkan bahkan dihilangkan jika pada UU Sisdiknas yang baru terdapat sanksi hukum yang tegas bagi pelanggarnya. Sanksi merupakan kekuatan hukum sehingga menjadi kekuatan pengikat agar UU Sisdiknas dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Kalau tidak ada pasal yang mencantumkan sanksi apapun bagi pelanggarnya, maka akan menjadi UU yang lemah ibarat singa ompong tanpa gigi. Kekuatan hukum tidak ada sehingga ironis sekaligus aneh, ada peraturan, tetapi tidak ada sanksi bagi pelanggarnya.
Pemerintah sebenarnya telah mencantumkan pasal sanksi tersebut pada draft yang disiapkannya. Namun, anehnya pemerintah sendiri yang menghapus pasal sanksi tersebut sebelum rapat Panitia Kerja (Panja) DPR pada 20 Maret 2003 lalu, sedangkan Komisi VI DPR tidak memasukkan pasal sanksi pada draft yang dibuatnya. Peniadaan (penghapusan) pasal sanksi itu terkesan ada kompromi tersembunyi antara pemerintah, Panja DPR, dan kalangan non-Muslim yang ngotot merasa keberatan dengan Pasal 12 ayat 1.
Kalau ini benar terjadi, pemerintah dan Panja DPR telah melakukan kekeliruan dengan melupakan aspek terpenting dari sebuah UU, yakni sanksi hukum. Artinya, dipertahankannya Pasal 12 ayat 1 seperti diinginkan banyak kalangan umat Islam menjadi percuma saja. Karena lolosnya Pasal 12 ayat 1 hanya untuk meredam aksi demo dan keresahan umat Islam yang membela mati-matian pasal tersebut. Dengan kata lain, hanya akan menjadi basa-basi politik an sich.

E. Kesimpulan
Mengakhiri tulisan ini perlu dikemukakan bahwa, pertama, pendidikan agama tetap masih relevan untuk dikembangkan dan diajarkan di sekolah-sekolah, baik dikaitkan dengan isu pembangunan moralitas bangsa, isu HAM, maupun isu plura­lisme keagamaan. Kalau dalam kenyataannya sekarang ini pendidikan agama belum membawa hasil seperti yang diharap­kan, bukan lantas pendidikan agama harus dihapuskan dari kuriku­him sekolah. Pendidikan agama justru harus lebih diberdayakan dengan mencoba mengevaluasi kekurangan-kekurangannya untuk kemudian dicarikan jalan keluarnya dengan sebaik-baiknya.
Kedua, dengan dasar berpikir seperti di atas, penulis men­dukung rumusan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 khususnya yang terkait dengan pendidikan agama di sekolah sebagaimana yang tercantum pada pasal 33 (2) dan 12 (1) untuk ditetapkan.
Ketiga, semua pihak seyogyanya memandang jernih per­soalan pendidikan agama sehingga tidak terjadi sikap saling "curiga" yang berlebihan, terkait dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003.






















DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Amin, 2000, “Agama dan Integrasi Sosial: Tinjauan Materi dan Metodologi dalam Pengajaran Agama”, dalam Ulumuna, vol.3 No.2 Mei-Juli 2000

Arief, Armai, 2007, Reformulasi Pendidikan Islam, Jakarta: CRSD Press

Arifin, M., 1995, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, Jakarta: BumiAksara

Asrohah, Hanun, 1999, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu

Assegaf, Abd. Rahman, dkk, 2007, Pendidikan Islam di Indonesia, Yogyakarta: Suka Press

Asyari, Mahmudi, http://www.hupelita.com/, diakses 22 Desember 2008

Azra, Azyumardi, 2003, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta: Logos Wacana Ilmu

Beeby, C.E., 1981, Pendidikan Indonesia: Penilaian dan Pedoman Perencanan, Jakarta: LP3ES

Daulay, Haidar Putra, 2007, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional Indonesia, Jakarta: Kencana

Departemen Agama, 1986, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Dirjen Bimbaga Islam Departemen Agama RI

Darmaningtyas, 1999, Pendidikan Di Masa Krisis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Davies, Peter, 1994, Hak-Hak Asasi Manusia: Sebuah Bunga Rampai, terjemahan A. Rahman Zaenuddin, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Effendi, Bahtiar, 2002, Masyarakat, Agama, dan Pluralisme Keagamaan, Yogya­karta: Galang Press

Feisal, Amir Jusuf, 1995, Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarta Gema Insani Press

http://www.arsip.pontianakpost.com/, diakses 12 Desember 2008
http://www.hidayatullah.co.id/, diakses 22 Desember 2008
http://my.opera.com/arjuna_kabel/, diakses 22 Desember 2008
http://www.sinarharapan.co.id/, diakses 22 Desember 2008
Ismail, Faisal, 2002, Pijar-pijar Islam: Pergumulan Kultur dan Struktur, Jakarta: Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan
Jabali, Fuad, dan Jamhari, 2002, IAIN: Modernisasi Islam di Indonesia, Jakarta: Logos Wacana Ilmu

Kaelan, 1996, Filsafat Pancasila, Yogyakarta: Paradigma

Kartono, Kartini, 1997, Tinjauan Politik Mengenai Sistem Pendidikan Nasional: Beberapa Kritik dan Sugesti, Jakarta: Pradya Paramita
Maragustam, 2001, “Revitalisasi Strategi Pembelajaran Agama Islam Menapaki Abad Modern”, Jurnal Ilmu Pendidikan Islam Vol. I Juli 2001

Muhaimin, 2001, Paradigma Pendidikan Islain: Upaya Mengefektifkan Pendidikan Islam di Sekolah, Bandung: Remaja Rosdakarya

---------------, 2003, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Ridho, Abu, 1994, Urgensi Tarbiyah dalam Islam, Jakarta: Inisiasi Press

Rukiati, Enung dan Fenti Hikmawati, 2006, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Bandung: Pustaka Setia

Saefuddin, A. M. , 1990, Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi, Bandung: Mizan

Sairin, Weinata, http://www.glorianet.org/, diakses 22 Desember 2008

Setiardjo, Gunawan, 1993, Hak-hak asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila, Yogyakarta: Kanisius

Sindhunata, 2000, Menggagas Paradigma Pendidikan, Demokrasi, Otonomi, Civil Society, dan Globalisasi, Yogyakarta: Kanisius

Sumartana, Th., dkk., 2001, Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia, Yogyakarta: Institute DIAN/Interfidei

Thoha, Khabib, 1989, Metodologi Pembelajaran Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Tim Redaksi Nuansa Aulia, (Ed.), 2008, Himpunan Perundang-undangan Republik Indonesia tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bandung: Nuansa Aulia

UU RI Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan penjelasannya, Semarang: Aneka Ilmu, 1992

Yumarna, http://my.opera.com/arjuna_kabel/blog, diakses 22 Desember 2008

Zuhairini, dkk., 1993, Metodologi Pendidikan Agama, Solo: Ramadhani
[1] Lihat Undang-Undang Republik Indonesia No. 2, Tahun 1989, Bab IV, Pasal 11, Ayat 6
[2] Lihat Undang-Undang Republik Indonesia No. 2, Tahun 1989, Bab IX, Pasal 38 dan Bab XIII, Pasal 47 Ayat 2)
[3] Lihat penjelasan Undang-undang Republik Indonesia No. 2, Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional bagian b, i, dan j
[4] Hak setiap peserta didik terkait dengan pendidikan agama ini diatur lebih lanjut dalam Surat Keputusan Bersama Menteri Pendidikan Nasional dan Menteri Agama No. 4/ U/SKB/ 1999 dan No. 570 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan Pendidikan Agama pada Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah pada pasal 2 ayat 2 dan 3. Pasal tersebut menyebutkan: (2) Setiap siswa wajib mengikuti pendidikan agama sesuai dengan agama yang dipeluk­nya; (3) Pendidikan agama diberikan oleh guru pendidikan agama atau guru pendidikan agama tidak tetap atau pembina agama yang seagama dengan siswa.
[5] Negara agama atau negara theokrasi pada hakekatnya adalah suatu negara yang mendasarkan pada suatu ajaran agama tertentu. Negara secara keseluruhan dibentuk berdasarkan suatu ajaran agama tertentu, baik menyangkut bentuk negara, kekuasaan negara, tujuan negara, demokrasi, dan sebagainya. Lihat Kaelan (1996: 102).
[6] Darmaningtyas misalnya, mengusulkan untuk Sekolah Dasar, pendidikan agama diganti dengan pendidikan budi pekerti yang lebih mena­namkan nilai-nilai moral kemanusian dan kebaikan secara universal. Sedangkan untuk SLTP s.d. Perguruan Tinggi, pendidikan agama tetap ada, tetapi tidak seperti yang selama ini dilaksanakan. Pendidikan agama hendaknya tidak lagi ditujukan kepada siswa/mahasiswa secara individu menurut agama yang dianutnya, melainkan secara kolektif dan berdasarkan kepentingan bersama. Bila selama ini siswa/mahasiswa memperoleh pelajaran agama sesuai dengan agamanya, maka diusulkan agar lebih baik bila mereka memperoleh materi agama yang sama, yaitu berisi tentang sejarah pertumbuhan semua agama yang berkem­bang di Indonesia. Menurutnya, dengan model pendidikan agama (SLTP s.d. PT) dan pendidikan budi pekerti (SD) seperti ini siswa/mahasiswa akan dapat menentukan agamanya sendiri (bukan berdasarkan keturunan), juga dapat belajar memahami pluralitas berdasarkan kesadaran kritisnya, mengajarkan keterbukaan, toleran, dan tidak eksklusif, tetapi inklusif. Lihat Darmaningtyas (1999: 165)

[C1]