MENYIKAPI HADIS-HADIS
YANG SALING BERTENTANGAN
Oleh:
Muhamad Taufik Hidayat
Hadis diyakini oleh sebagian besar umat Islam sebagai sumber kedua ajaran agama Islam setelah al-Qur'an। Keyakinan ini mengharuskan umat Islam menjadikan hadis sebagai pedoman hidup, karena ia juga merupakan tuntunan Allah। Sebagai salah satu sumber ajaran Islam, secara prinsip hadis tidak mungkin bertentangan dengan dalil lain, baik dengan sesama hadis, dalil al-Qur`an maupun rasio, sebab kebenaran tidak akan bertentangan dengan kebenaran। Seandainya ada pertentangan, maka hal itu hanya tampak di luarnya saja.
Berangkat dari prinsip ini, maka timbul upaya para ulama untuk menyelesaikan persoalan ketika mendapati teks-teks hadis yang tampak bertentangan। Hadis-hadis yang tampak bertentangan ini biasa disebut dengan istilah Ikhtilâf atau Mukhtalif al-Hadîs। Mukhtalif artinya yang bertentangan atau berselisih. Mukhtalif AI-Hadis artinya hadis yang sampai kepada kita, namun saling bertentangan maknanya satu sama lain. Al-Qaththan mengartikan mukhtalif al-hadis sebagai hadis yang diterima, namun pada zahirnya kelihatan bertentangan dengan hadis maqbul lainnya dalam maknanya, sekalipun memungkinkan untuk dikompromikan antara keduanya.[1] Sementara menurut Nuruddin 'Itr, hadis-hadis mukhtalif ialah hadis-hadis yang secara lahiriah bertentangan dengan kaidah-kaidah yang baku, sehingga mengesankan makna yang batil atau bertentangan dengan nas-nas syara yang lain।[2]
Dalam kajian hadis, masalah ini dibahas oleh Ilmu Mukhtalîf al-Hadîs, salah satu cabang Ulum al-Hadis। Ilmu mukhtalif al-Hadis adalah Ilmu yang membahas hadis-hadis yang secara tekstual/lahiriah saling bertentangan, namun hakikatnya bisa dikompromikan, baik dengan cara memberi taqyid (batasan) kepada yang mutlaq (tak terbatas) atau memberi takhsis (pengkhususan) kepada yang `am (umum), atau membawanya kepada berbagai konteks peristiwa atau cara yang lain.[3] Di samping hadis-hadis yang mukhtalif, ada juga yang disebut hadis musykil। Muhammad 'Ajjaj al-Khathib mendefiniskan ilmu Ilmu Mukhtalîf al-Hadîs wa Musykiluh sebagai:
الْعِلْمُ الَّذِيْ يَبْحَثُ فِى اْلأَحَادِيْثِ الَّتِيْ ظَاهِرُهَا مُتَعَارِضٌ فَيُزِيْلُ تَعَارُضَهَا أَوْ يُوَفِّقُ بَيْنَهَا كَمَا يَبْحَثُ فِى اْلأَحَادِيْثِ الَّتِيْ يَشْكُلُ فَهْمُهَا أَوْ تَصَوُّرُهَا فَيَدْفَعُ أَشْكَالَهَا وَيُوَضِّحُ حَقِيْقَتَهَا
Ilmu yang membahas hadis-hadis yang tampaknya saling bertentangan, lalu menghilangkan pertentangan itu, atau mengkompromikannya, di samping membahas hadis yang sulit dipahami atau dimengerti, lalu menghilangkan kesulitan itu dan menjelaskan hakikatnya।[4]
Ilmu Mukhtalif Al-Hadis ini telah mendapat perhatian serius sejak masa sahabat, yang menjadi rujukan utama segala persoalan setelah Rasulullah वफात.।Kajian tentang hadis-hadis yang bertentangan ini merupakan hal yang sangat penting bagi para pengkaji hadis। Tidak ada yang mahir dalam bidang ini, kecuali imam Hadis yang tajam analisisnya।
Berbagai hadis yang mukhtalif telah dihimpun oleh ulama dalam kitab-kitab khusus। Sejarah mencatat bahwa ulama yang mempelopori kegiatan penghimpunan itu adalah Imam al-Syafi`i dengan karyanya Ikhtilaf al-Hadis. Disusul kemudian oleh Ibn Qutaibah dengan kitabnya Ta'wil Mukhtalif al-Hadis. Lalu al-Thahawi dengan judul kitabnya Musykil al-Asar, kemudian Ibnu Khuzaimah, Ibn Jarir dan Ibn al-Jauzi.
Para ulama sependapat bahwa hadis-hadis yang tampak bertentangan harus diselesaikan sehingga hilanglah pertentangan itu. Hanya saja dalam menyelesaikan pertentangan tersebut, ulama berbeda pendapat. Makalah sederhana ini akan coba membahas—meskipun sepintas—bagaimana menyikapi hadis-hadis yang tampak bertentangan itu.
A. Menyelesaikan Hadis-hadis yang Bertentangan
a। Thariqah al-Jam’i. Bila memungkinkan untuk menggabungkan dan mengkompromikan antara keduanya, maka keduanya dikompromikan dan wajib diamalkan.
b. Thariqah al-Tarjih. Bila tidak memungkinkan untuk dikompromikan, maka:
1) Jika diketahui salah satunya nasikh dan yang lainnya mansukh, maka kita dahulukan dan amalkan yang nasikh, dan kita tinggalkan yang mansukh.
2) Jika tidak diketahui nasikh dan mansukhnya, maka kita cari mana yang lebih kuat di antara keduanya lalu kita amalkan, dan kita tinggalkan yang lemah.
3) Jika tidak memungkinkan untuk ditarjih, maka tidak boleh diamalkan keduanya sampai jelas dalil yang lebih kuat.[5]
1। Menggabungkan (al-Jam’u)
Apabila pertentangan yang tampak dalam hadis dapat dihilangkan dengan cara menggabungkan atau menyesuaikan keduanya sehingga keduanya dapat diamalkan, maka hal itu lebih baik daripada mentarjihkan antara keduanya। Sebab, pentarjihan berarti memprioritaskan salah satu dari keduanya dan mengabaikan yang lainnya.
Menyesuaikan dan menggabungkan hadis-hadis sahih yang "tampak" bertentangan maksudnya adalah meletakkan masing-masing hadis sesuai dengan tempatnya sehingga menjadi satu kesatuan yang saling melengkapi, tidak saling bertentangan dan tidak berbeda-beda.[6]
Namun demikian, penggabungan itu berlaku hanya pada hadis-hadis sahih yang tampak bertentangan। Sedangkan hadis-hadis yang tidak diketahui asal-usulnya, atau hadis tersebut maudu`/palsu maka tidak perlu dihiraukan, kecuali untuk menjelaskan kepalsuan dan kebatilannya.
Ada tiga kasus hadis yang tampak bertentangan yang dibahas dalam makalah ini, yaitu: (1) hadis tentang hukum bagi perempuan melihat laki-laki; (2) hadis ziarah kubur bagi perempuan; dan (3) hadis `azl (senggama terputus).
a. Hadis tentang Perempuan Melihat Laki-laki
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ حَدَّثَنَا ابْنُ الْمُبَارَكِ عَنْ يُونُسَ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ حَدَّثَنِي نَبْهَانُ مَوْلَى أُمِّ سَلَمَةَ عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ كُنْتُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعِنْدَهُ مَيْمُونَةُ فَأَقْبَلَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ وَذَلِكَ بَعْدَ أَنْ أُمِرْنَا بِالْحِجَابِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ احْتَجِبَا مِنْهُ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَيْسَ أَعْمَى لَا يُبْصِرُنَا وَلَا يَعْرِفُنَا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَفَعَمْيَاوَانِ أَنْتُمَا أَلَسْتُمَا تُبْصِرَانِهِ
Dari Ummu Salamah, katanya, saya dan Maimunah bersama Rasulullah SAW, lalu Ibnu Ummu Maktum datang. Waktu itu telah turun perintah tentang hijab. Rasulullah berkata kepada kami, "Berhijablah kalian di hadapannya!" Kami bertanya, "Ya Rasulullah, bukankah dia buta, tidak bisa melihat dan mengenali kami?" Nabi SAW menjawab, "Apakah kalian berdua juga buta? Bukankah kalian dapat melihatnya?"[7]
Hadis ini—meskipun dianggap sahih oleh al-Turmudzi—sebenarnya lemah, karena di dalam sanadnya terdapat Nabhan, maula Ummi Salamah. Ia seorang yang tidak dikenal identitasnya (majhul), tidak dianggap tsiqah (terpercaya) kecuali oleh Ibnu Hibban. Al-Dzahabi memasukannya ke dalam kelompok perawi yang dha’if.[8]
Dalam keterangan hadis di atas, Abu Daud menyatakan bahwa ketentuan di atas—berhijab di depan laki-laki, sekalipun laki-laki itu buta—berlaku bagi para istri nabi. Di luar itu kita bisa melihat kasus beriddahnya Fathimah bin Qais di rumah Ibnu Ummi Maktum. Nabi mengatakan kepadanya, “Beriddahlah di rumah Ibnu Ummi Maktum karena ia seorang laki-laki buta. Kamu dapat menanggalkan bajumu di sisinya”.[9]
Hadis di atas bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari yang dinilai shahih, yang membolehkan seorang perempuan melihat laki-laki yang bukan mahramnya.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتُرُنِي بِرِدَائِهِ وَأَنَا أَنْظُرُ إِلَى الْحَبَشَةِ يَلْعَبُونَ فِي الْمَسْجِدِ
Dari Aisyah, katanya, Nabi SAW menutupiku dengan selendangnya ketika aku sedang melihat orang-orang Habasyah sedang bermain di masjid.[10]
Mengutip al-Qâdhi Iyadh, Yusuf Qardhawi menyatakan bahwa hadis ini membolehkan perempuan melihat pekerjaan yang dilakukan oleh kaum laki-laki yang bukan mahram. Adapun yang tidak boleh adalah memandang bagian-bagian (tubuh) yang menarik dan menikmatinya. Oleh karena itu, al-Bukhari memasukkan hadis ini ke dalam bab "Pandangan Perempuan kepada Orang Habsyi dan Lainnya dengan Cara yang Tidak Mencurigakan".[11]
Hal ini dikuatkan oleh hadis riwayat Muslim dari Fatimah binti Qais, bahwa Rasulullah berkata kepadanya, ketika dia diceraikan oleh suaminya,
اِعْتَدِّى عِنْدَ ابْنِ أُمِّ مَكْتُوْمٍ فَإِنَّهُ رَجُلٌ أَعْمَى تَضَعِيْنَ ثِيَابَكِ
Tinggallah selama masa iddahmu di rumah Ibnu Ummu Maktum. Ia seorang buta. Oleh karena itu, kamu dapat menanggalkan bajumu karena ia tidak melihat.[12]
Sebelumnya, Rasulullah pernah menyarankan kepadanya untuk melewati masa iddahnya di rumah Ummu Syarik. Namun kemudian beliau berkata, "Ia seorang perempuan yang sering dikunjungi para sahabat. Sebaiknya kamu tinggal di rumah Ibnu Ummu Maktum".
Dengan demikian, hadis Ummu Salamah tidak bisa dibandingkan dengan dengan hadis-hadis shahih, karena ia termasuk hadis da'if. Meskipun demikian, menurut al-Qardawi, untuk mempermudah permasalahan, tidak ada salahnya berusaha menyesuaikan antara hadis yang da'if dan yang sahih, meskipun bukan merupakan suatu keharusan.[13]
Dalam mengomentari hadis Ummu Salamah di atas, seperti dikutip al-Qardhawi, Imam al-Qurthubi menyatakan,
Kalau kita mengandalkan kesahihannya, hal itu menunjukkan sikap keras Rasulullah atas istri-istrinya dalam menjaga kehormatan mereka, sebagaimana dalam masalah hijab, seperti yang disinyalir oleh Abu Daud dan ulama hadis lainnya. Oleh karena itu, yang menjadi pegangan adalah makna hadis shahih bahwa Rasulullah memerintahkan Fathimah binti Qais untuk melewati masa iddahnya di rumah Ummu Syarik, lalu beliau bersabda, “Tinggallah selama masa iddahmu di rumah Ibn Ummu Maktum. Ia seorang buta. Oleh karena itu, engkau dapat menanggalkan bajumu karena ia tidak melihat”.[14]
Al-Qurthubi menyatakan bahwa sebagian ulama menjadikan hadis ini sebagai dalil bahwa perempuan boleh melihat bagian tubuh laki-laki, sebagaimana yang boleh dilihat laki-laki atas perempuan. Seperti kepala dan telinga. Sementara bagian yang termasuk aurat tetap tidak boleh.[15]
Rasulullah untuk berpindah dari rumah Ummu Syarik ke rumah Ibn Ummu Maktum, karena hal itu lebih baik baginya, mengingat rumah Ummu Syarik sering dikunjungi orang sehingga akan banyak orang yang melihatnya. Sementara di rumah Ibnu Ummu Maktum, tidak ada yang melihatnya sehingga lebih mudah untuk menundukkan pandangan terhadap Ibn Ummu Maktum. Oleh karena itu Nabi mengizinkan melakukan hal itu.
b. Hadis yang Berkaitan dengan Ziarah Kubur bagi Perempuan
Di antara hadis-hadis yang tampak bertentangan adalah hadis-hadis yang melarang perempuan untuk ziarah kubur, seperti hadis berikut,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ زَوَّارَاتِ الْقُبُورِ
Dari Abu Hurairah r।a., bahwa Rasulullah SAW melaknat para perempuan yang berziarah ke kubur.[16]
Dalam keterangan hadis di atas disebutkan bahwa menurut Abu Isa, hadis ini adalah hadis hasan shahih. Sebagian ulama memandang bahwa hadis ini ada sebelum adanya kebolehan Nabi SAW dalam masalah ziarah kubur. Ketika nabi membolehkan, maka kebolehan itu berlaku bagi laki-laki dan perempuan. Sebagian ulama lagi berpendapat bahwa ziarah kubur dimakruhkan bagi perempuan hanya karena sedikitnya kesabaran mereka dan besarnya kedukaan mereka.[17]
Pada sisi lain, ada beberapa hadis yang tampak berlwanan dengan hadis di atas, yang darinya dapat dipahami adanya kebolehan berziarah kubur bagi perempuan। Di antaranya adalah sabda Rasulullah SAW,
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنِّي كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا
Dari Abdullah bin Buraidah, dari bapaknya, katanya, Rasulullah SAW bersabda, “Aku pernah melarang kalian berziarah kubur. Adapun sekarang, berziarahlah”.[18]
عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا فَإِنَّهَا تُزَهِّدُ فِي الدُّنْيَا وَتُذَكِّرُ الْآخِرَةَ
Dari Ibnu Mas’ud, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Aku pernah melarang kalian menziarahi kuburan. Adapun sekarang, berziarahlah! Sesungguhnya berziarah kubur itu membuat zuhud terhadap dunia dan mengingatkan tentang akhirat.[19]
Dalam kedua hadis di atas, izin itu mencakup perempuan।
عن عائشة قالت: كَيْفَ أَقُولُ لَهُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ قُولِي السَّلَامُ عَلَى أَهْلِ الدِّيَارِ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ وَيَرْحَمُ اللَّهُ الْمُسْتَقْدِمِينَ مِنَّا وَالْمُسْتَأْخِرِينَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لَلَاحِقُونَ
Dari Aisyah, dia bertanya, “Ya Rasulullah, apa yang harus saya ucapkan kepada mereka (apabila berziarah kubur)?” Katakanlah, “Salam sejahtera atas penduduk kubur, baik kaum mukminin maupun muslimin. Semoga Allah merahmati kita semua, yang telah meninggal maupun yang tertinggal. Kami insya Allah akan menyusulkalian”.[20]
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِامْرَأَةٍ تَبْكِي عِنْدَ قَبْرٍ فَقَالَ اتَّقِي اللَّهَ وَاصْبِرِي قَالَتْ إِلَيْكَ عَنِّي فَإِنَّكَ لَمْ تُصَبْ بِمُصِيبَتِي وَلَمْ تَعْرِفْهُ
Dari Anas, bahwa Nabi SAW melewati seorang perempuan yang sedang menangis di kuburan. Nabi berkata, "Takutlah kepada Allah, dan bersabarlah". Perempuan itu menjawab, "Janganlah dekati aku. Engkau tidak merasakan musinah yang aku alami". (tampaknya ia tidak mengenal Nabi SAW).[21]
Dalam hadis di atas, Nabi menyatakan ketidaksukaannya atas sikap perempuan tersebut yang tidak bersabar atas musibah, tetapi Nabi tidak melarang berziarah kubur.
Meskipun hadis-hadis yang membolehkan berziarah kubur itu lebih shahih dan lebih banyak tinimbang hadis-hadis yang melarangnya, tetapi menggabukannya dan menyesuaikannya satu sama lain masih dimungkinkan, yaitu dengan memahami kata "laknat” yang disebutkan dalam hadis pertama. Menurut al-Qurthubi, laknat ditujukan kepada perempuan yang selalu atau terlalu sering berziarah, sebagaimana terlihat dari penggunaan kata "zawwârât" yang menunjukkan "sering". Menurut al-Qurthubi, boleh jadi alasnnya adalah dampaknya atas hak-hak suami yang terabaikan, manampakkan aurat (tabarruj), dan meratapi yang sudah meninggal. Oleh karena itu, jika semua itu dapat dihindari, tidak ada salahnya memberikan izin kepada para perempuan untuk berziarah kubur. Sebab, masalahnya mengingat kematian diperlukan oleh laki-laki dan perempuan.[22]
Jadi, hadis pertama di atas dapat dikumpulkan dengan hadis kedua. Pada hadis pertama disebutkan bahwa yang dilaknat adalah zawwârât (perempuan-perempuan yang terlalu sering berziarah kubur). Ini berarti ada kemungkinan perempuan tersebut telah meninggalkan kewajibannya yang lain, hanya karena terlalu sering berziarah. Itulah yang menyebabkan mengapa dilarang oleh Nabi. Analisis seperti merupakan suatu analisis yang digunakan oleh Ilmu Mukhtalif al-Hadis, yaitu pertentangan yang terjadi antara hadis-hadis itu dibawa kepada konteks peristiwa masing-masing. Karena peristiwanya berbeda, maka tuntunan terhadap peristiwa itu juga berbeda.
Menurut al-Syaukani, seperti dikutip al-Qardhawi, pendapat inilah yang seharusnya dijadikan landasan dalam penggabungan hadis-hadis yang "tampaknya" bertentangan. Apabila penggabungan itu tidak memungkinkan, barulah dilakukan pentarjihan, yaitu dengan menguatkan salah satu dari keduanya dengan berbagai alasan pentarjihan yang ditetapkan para ulama.[23]
c. Hadis-hadis tentang `Azl (Senggama Terputus)
Adapun hadisnya adalah sebagai berikut:
عَنْ جَابِرٍ قَالَ كُنَّا نَعْزِلُ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْقُرْآنُ يَنْزِلُ
Dari Jabir r.a. Katanya, "Kami melakukan `azl pada masa Nabi SAW. Sementara al-Quran masih turun.[24]
عَنْ جَابِرٍ قَالَ كُنَّا نَعْزِلُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَلَغَ ذَلِكَ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يَنْهَنَا
Dari Jabir r.a. Katanya, "Kami melakukan 'azl pada masa Rasulullah SAW. Lalu hal itu sampai kepada Nabi SAW. Namun beliau tidak melarangnya.[25]
عَنْ جَابِرٍ أَنَّ رَجُلًا أَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّ لِي جَارِيَةً هِيَ خَادِمُنَا وَسَانِيَتُنَا وَأَنَا أَطُوفُ عَلَيْهَا وَأَنَا أَكْرَهُ أَنْ تَحْمِلَ فَقَالَ اعْزِلْ عَنْهَا إِنْ شِئْتَ فَإِنَّهُ سَيَأْتِيهَا مَا قُدِّرَ لَهَا فَلَبِثَ الرَّجُلُ ثُمَّ أَتَاهُ فَقَالَ إِنَّ الْجَارِيَةَ قَدْ حَبِلَتْ فَقَالَ قَدْ أَخْبَرْتُكَ أَنَّهُ سَيَأْتِيهَا مَا قُدِّرَ لَهَا
Dari Jabir r.a. bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah SAW dan berkata, "Saya mempunyai seorang budak perempuan yang melayani kami dan menyirami kebun kurma kami. Saya suka "mendatanginya" (menyetubuhinya), sedangkan saya tidak menginginkannya hamil. Beliau bersabda, "Jika mau, lakukanlah 'azl. Meskipun bisa jadi akan tetap datang kepadanya apa yang telah ditetapkan baginya.[26]
عَنْ ابْنِ مُحَيْرِيزٍ قَالَ رَأَيْتُ أَبَا سَعِيدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَسَأَلْتُهُ فَقَالَ خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي غَزْوَةِ بَنِي الْمُصْطَلِقِ فَأَصَبْنَا سَبْيًا مِنْ سَبْيِ الْعَرَبِ فَاشْتَهَيْنَا النِّسَاءَ فَاشْتَدَّتْ عَلَيْنَا الْعُزْبَةُ وَأَحْبَبْنَا الْعَزْلَ فَسَأَلْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَا عَلَيْكُمْ أَنْ لَا تَفْعَلُوا مَا مِنْ نَسَمَةٍ كَائِنَةٍ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
Kami berperang bersama Rasulullah pada perang Bani al-Mushthaliq dan memperoleh tawanan perempuan Arab. Ketika itu kami sangat menginginkan perempuan, dan kami telah lama berpisah dengan istri-istri kami. Dan kami bermaksud melakukan ‘azl, lalu kami tanyakan kepada Rasulullah SAW. Rasulullah menjawab, “Tidak ada salahnya kalian melakukannya. Sesungguhnya Allah telah menetapkan apa yang hendak diciptakan-Nya sampai hari kiamat.[27]
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ قَالَتْ الْيَهُودُ الْعَزْلُ الْمَوْءُودَةُ الصُّغْرَى قَالَ أَبِي وَكَانَ فِي كِتَابِنَا أَبُو رِفَاعَةَ بْنُ مُطِيعٍ فَغَيَّرَهُ وَكِيعٌ وَقَالَ عَنْ أَبِي مُطِيعِ بْنِ رِفَاعَةَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَذَبَتْ يَهُودُ إِنَّ اللَّهَ لَوْ أَرَادَ أَنْ يَخْلُقَ شَيْئًا لَمْ يَسْتَطِعْ أَحَدٌ أَنْ يَصْرِفَهُ
Dari Abu sa’id, katanya, "Orang-orang Yahudi berpendapat bahwa ‘azl hampir sama dengan mengubur hidup-hidup bayi perempuan. Nabi SAW bersabda, “Kaum Yahudi telah berdusta. Sesungguhnya Allah apabila bermaksud menciptakan sesuatu maka tidak ada seorangpun yang mampu menghalanginya.[28]
أَنَّ رَجُلًا قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ لِي جَارِيَةً وَأَنَا أَعْزِلُ عَنْهَا وَأَنَا أَكْرَهُ أَنْ تَحْمِلَ وَأَنَا أُرِيدُ مَا يُرِيدُ الرِّجَالُ وَإِنَّ الْيَهُودَ تُحَدِّثُ أَنَّ الْعَزْلَ مَوْءُودَةُ الصُّغْرَى قَالَ كَذَبَتْ يَهُودُ لَوْ أَرَادَ اللَّهُ أَنْ يَخْلُقَهُ مَا اسْتَطَعْتَ أَنْ تَصْرِفَهُ
Seorang laki-laki bertanya, “Ya Rasulullah, aku memiliki seorang budak perempuan. Aku ingin melakukan seperti apa yang dilakukan laki-laki, tetapi tidak menginginkan kehamilan. Aku bermaksud melakukan ‘azl, namun orang-orang Yahudi mengatakan bahwa hal itu sama dengan mengubur anak perempuan hidup-hidup. Nabi SAW bersabda, “Kaum Yahudi telah berdusta. Sesungguhnya Allah apabila bermaksud menciptakan sesuatu maka tidak ada seorangpun yang mampu menghalanginya.[29]
Hadis di atas bertentangan dengan hadis:
عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُعْزَلَ عَنْ الْحُرَّةِ إِلَّا بِإِذْنِهَا
Dari Umar bin Khaththab, katanya, Rasulullah SAW melarang melakukan `azl terhadap perempuan yang merdeka, kecuali sezzinnya.[30]
Hadis-hadis sebelumnya secara eksplisit menunjukkan kebolehan `azl. Kemudian hadis kelompok kedua menunjukkan ketidaksenangan Nabi pada perbuatan `azl.
Dalam hal ini al-Qardawi menganalisis hadis-hadis di atas dengan mengemukakan pendapat para ulama. Ada ulama yang melemahkan hadis-hadis tentang dibolehkannya melakukan `azl dan menguatkan hadis-hadis yang melarangnya. Namun ada pula yang berpendapat sebaliknya, melemahkan hadis yang melarang dan menguatkan hadis yang membolehkan melakukan `azl.
Al-Baihaqi menyatakan bahwa perawi yang membolehkan `azl jumlahnya lebih banyak dan secara kualitas lebih terpercaya, di samping bahwa perbuatan tersebut juga banyak dilakukan para sahabat, Sa'ad bin Abi Waqqas, Zaid bin Tsabit, Jabir bin 'Abdillah, Ibnu 'Abbas, Abu Ayyub al-Anshari dan lain-lain. Sedangkan keengganan sebagian sahabat untuk membolehkannya adalah karena `azl itu termasuk makruh tanzih, tetapi tidak makruh tahrim.
B. Nasikh Mansukh dan Tarjih
Menukil pendapat al-Hafiz al-Baihaqi, Yusuf al-Qardawi mengemukakan bahwa apabila terhadap dua hadis yang tampak bertentangan tidak dapat dilakukan penggabungan, maka dapat ditempuh dua jalan: (1) nasikh mansukh dan (2) tarjih.
1. Nasikh Mansukh
Nasikh menurut bahasa mempunyai dua makna, menghapus dan menukil, sehingga seolah-olah yang menasakh itu telah menghapuskan yang mansukh, lalu memindahkan atau menukilkan kepada hukum yang lain. Sedangkan menurut istilah, nasikh adalah pengangkatan yang dilakukan oleh penetap syariat terhadap suatu hukum yang datang terdahulu dengan hukum yang datang kemudian.[31]
2. Tarjih
Tarjih merupakan tahapan penyelesaian terhadap hadis-hadis yang tampaknya bertentangan, jika al-jam`u atau penggabungan tidak bisa dilakukan. Tarjih berarti memenangkan salah satu dari dua hadis atau lebih yang tampak bertentangan, dengan pelbagai alasan pentarjihan yang telah ditentukan oleh para ulama.
Tarjih ditempuh bila hadis yang bertentangan tersebut tidak memungkinkan untuk dikompromikan. Maka:
a. Jika diketahui salah satunya nasikh dan yang lain mansukh, maka kita dahulukan dan amalkan yang nasikh, dan kita tinggalkan yang mansukh.
b. Jika tidak diketahui nasikh dan mansukhnya, maka kita cari mana yang lebih kuat di antara keduanya lalu kita amalkan, dan kita tinggalkan yang lemah.
c. Jika tidak memungkinkan untuk ditarjih, maka tidak boleh diamalkan keduanya sampai jelas dalil yang lebih kuat.[32]
3. Cara Mengetahui Nasikh dan Mansukh
Nasikh dan mansukh dalam hadits dapat diketahui dengan salah satu dari beberapa hal berikut ini:[33]
a. Pernyataan Rasulullah, seperti sabda Nabi,
كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا فَإِنَّهَا تُذَكِّرُكُمْ الْآخِرَةَ
Aku dulu telah melarang kalian untuk berziarah kubur. Maka sekarang berziarahlah kar dapat mengingatkanmu akan akhirat.[34]
b. Perkataan sahabat
c. Mengetahui sejarah, seperti hadis Syaddad bin Aus
اَفْطَرَ الْحَاجِمُ وَالْمَحْجُوْمُ
Orang yang membekam dan yang dibekam batal puasanya.[35]
Hadis ini dinasakh oleh hadis Ibnu Abbas, bahasanya Rasulullah berbekam sedang beliau tengah ihram dan berpuasa. Dalam salah satu jalur sanad Syaddad dijelaskan bahwa hadis itu diucapkan pada tahun 8 hijriyah ketika terjadi pembukaan kota Mekkah.sedangkan ibnu abbas menemani Rasulullah dalam keadaan ihram pada saat haji wada’ tahun 10 hijriyah.
d. Ijma Ulama. Seperti hadis yang berbunyi,
مَنْ شَرِبَ الْخَمْرَ فَاجْلِدُوْهَ فَاِنْ عَادَ فِى رَابِعَةِ فَاقْتُلُوْهُ
Orang yang meminum khamr, maka cambuklah dia. Dan jika kembali mengulangi yang keempat kalinya, maka bunuhlah dia.[36]
Imam Nawawi menyatakan bahwa ijma ulama menunukkan adanya nasikh terhadap hadis ini. Ijma memang tidak bisa dinasakh dan tidak bisa menasakh, tetapi menunjukkan adanya nasikh.[37]
4. Pentingnya Ilmu Nasikh dan Mansukh Hadis
Mengetahui nasikh-mansukh merupakan suatu keharusan bagi siapa saja yang ingin mengkaji hukum-hukum syariah, karena siapapun tidak mungkin dapat menyimpulkan suatu hukum tanpa mengetahui dalil-dalil nasikh dan mansukh. Oleh sebab itu para ulama sangat memperhatikan ilmu tersebut dan menganggapnya sebagai satu ilmu yang sangat penting dalam bidang ilmu hadis.
Mereka mendifinisikan Ilmu Nasikh dan Mansukh sebagai ilmu yang membahas tentang hadis-hadis yang bertentangan yang tidak mungkin dikompromikan, dimana salah satu hadis dihukumi sebagai nasikh dan yang lain sebagai mansukh. Hadis yang dahulu disebut mansukh, dan hadis yang datang kemudian menjadi nasikh".
Di kalangan ahli hadis terjadi perbedaan pendapat tentang adanya naskh (penghapusan). Sebagian menyatakan tidak ada naskh, sedangkan yang lain menyatakan ada naskh dalam hadis Nabi. Dalam hal ini, apabila ada dua hadis yang saling bertentangan tidak bisa digabungkan, sementara diketahui mana hadis yang diucapkan lebih dahulu dan mana yang kemudian, maka hadis yang datang lebih dahulu dinaskh (dihapus kandungannya) oleh hadis yang datang kemudian. Hadis yang datang belakangan (nasikh) yang diamalkan, sementara hadis yang datangnya lebih awal (mansukh) ditinggalkan.
Namun demikian, menurut Yusuf al-Qardawi, kebanyakan hadis yang diasumsikan mansukh (dihapus), apabila diteliti lebih jauh, ternyata tidaklah demikian. Sebab di antara hadis-hadis tersebut ada yang dimaksudkan sebagai `azimah (anjuran melakukan sesuatu walaupun berat), dan ada pula yang dimaksudkan sebagai rukhsah (peluang untuk memilih yang lebih ringan pada suatu ketentuan). Karena itu, kedua-duanya mengandung kadar ketentuan yang berbeda, sesuai dengan kedudukannya masing-masing. Demikian juga adakalanya sebagian hadis bergantung pada situasi tertentu, sementara yang sebagiannya lagi bergantung pada situasi lainnya. Jelas bahwa adanya perbedaan situasi seperti itu, tidak berarti adanya penghapusan atau naskh.
Naskh—sebenarnya juga merupakan salah satu cara tarjih—secara teoritis menjadi kajian Ilmu Hadis. Bahkan banyak pakar hadis yang telah menyusun kitab-kitab tentang hadis-hadis yang nasikh maupun mansukh. Istilah nasikh -mansukh juga dipakai dalam Ilmu Usul al-Fiqih. Hanya saja menurut al-Qardawi, hadis-hadis yang diklaim ulama telah mansukh, bila diteliti lebih lanjut tidaklah selalu menunjukkan ke-mansukh-kannya untuk kurun waktu yang tidak terhingga, tetapi lebih merupakan hadis yang sebenarnya berkait dengan peristiwa-peristiwa tertentu.
Jadi, meskipun secara eksplisit, al-Qardawi tidak menolak adanya naskh, namun agaknya ia lebih condong pada pendapatnya yang terakhir ini—menolak naskh atau mansukh. Dalam bukunya, al-Madkhal li Dirasah al-Sunnah al Nabawiyah, al-Qardhawi tidak mengemukakan satu contoh pun hadis yang mansukh.
5. Contoh Hadis-hadis yang Nasikh Mansukh
a. Orang Junub Tidur Tanpa Mandi
حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ أَبِي خَالِدٍ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ عَنِ الأََسْوَدِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنَامُ وَهُوَ جُنُبٌ وَلاَ يَمَسُّ مَاءً
Diriwayatkan dari Aisyah bahwa Rasulullah SAW tidur dalam keadaan junub dan tidak menyentuh air.[38]
Hadis ini menunjukkan bahwa orang junub boleh tidur tanpa mandi atau berwudlu sebelumnya. Menurut Izzuddin Husain al-Syaikh,[39] hadis ini mansukh atau dibatalkan oleh hadis berikut ini.
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا ابْنُ عُلَيَّةَ وَوَكِيعٌ وَغُنْدَرٌ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ الْحَكَمِ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ الْأَسْوَدِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ جُنُبًا فَأَرَادَ أَنْ يَأْكُلَ أَوْ يَنَامَ تَوَضَّأَ وُضُوءَهُ لِلصَّلَاةِ
Diriwayatkan dari Aisyah, bahwa: "Rasulullah Saw jika dalam keadaan junub, lalu ingin makan atau tidur, beliau berwudlu lebih dahulu sebagaimana wudlu ketika akan shalat.[40]
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ عُمَرَ أَنَّهُ سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيَنَامُ أَحَدُنَا وَهُوَ جُنُبٌ قَالَ نَعَمْ إِذَا تَوَضَّأَ
Diriwayatkan dari umar, bahwa ia pernah bertanya kepada Nabi Saw: "Apakah boleh tidur dalam keadaan junub salah seorang diantara kami? " Beliau menjawab: "Ya, boleh jika berwudlu terlebih dahulu.[41]
Kedua hadis di atas menunjukkan bahwa sangat baik dan dianjurkan bagi orang junub supaya berwudlu lebih dahulu jika ingan tidur. Dan sekaligus kedua hadis ini me-nasakh atau membatalkan hadis terdahulu di atas.[42]
Hadis 2 dan 3 pengertiannya semakna, sedangkan hadis 1 nampak bertentangan dengan hadis 2 dan 3. Hadis 1 termasuk dalam kelompok hadis fi’li yang tingkatannya berada di bawah hadis qauli ( hadis 3 ). Hadis 2 meskipun termasuk hadis fi’li tetapi mendukung hadis 3 yang qauli. Jadi, hadis yang bersifat lebih kuat (qauli) dapat memansukh atau membatalkan hadis-hadis fi’li atau taqriri.
b. Wudlu Setiap Kali Shalat
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَوْفٍ الطَّائِيُّ حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ خَالِدٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَقَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ يَحْيَى بْنِ حَبَّانَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ قُلْتُ أَرَأَيْتَ تَوَضُّؤَ ابْنِ عُمَرَ لِكُلِّ صَلَاةٍ طَاهِرًا وَغَيْرَ طَاهِرٍ عَمَّ ذَاكَ فَقَالَ حَدَّثَتْنِيهِ أَسْمَاءُ بِنْتُ زَيْدِ بْنِ الْخَطَّابِ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ حَنْظَلَةَ بْنِ أَبِي عَامِرٍ حَدَّثَهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُمِرَ بِالْوُضُوءِ لِكُلِّ صَلَاةٍ طَاهِرًا وَغَيْرَ طَاهِرٍ فَلَمَّا شَقَّ ذَلِكَ عَلَيْهِ أُمِرَ بِالسِّوَاكِ لِكُلِّ صَلَاةٍ
Abdullah bin Hanzhalah bin Abi Amir meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW menyuruh berwudhu setiap kali shalat, baik masih dalam keadaan ada wudlu atau dalam keadaan tidak suci. Ketika perintah itu terasa menyusahkan, maka diperintahkan bersiwak setiap kali shalat.[43]
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يُوسُفَ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَمْرِو بْنِ عَامِرٍ قَالَ سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ قَالَ ح و حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ سُفْيَانَ قَالَ حَدَّثَنِي عَمْرُو بْنُ عَامِرٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَوَضَّأُ عِنْدَ كُلِّ صَلَاةٍ
Diriwayatkan dari Anas bin Malik RA, bahwa Nabi SAW berwudlu setiap kali shalat.[44]
Kedua hadis di atas menegaskan bahwa wajib berwudhu setiap kali shalat, baik masih dalam keadaan suci maupun dalam keadaan berhadas.
Menurut Izzuddin Husain al-Syekh, kedua hadis di atas mansukh atau dibatalkan oleh hadis di bawah ini:[45]
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ مَرْثَدٍ ح و حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمٍ وَاللَّفْظُ لَهُ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ سُفْيَانَ قَالَ حَدَّثَنِي عَلْقَمَةُ بْنُ مَرْثَدٍ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى الصَّلَوَاتِ يَوْمَ الْفَتْحِ بِوُضُوءٍ وَاحِدٍ وَمَسَحَ عَلَى خُفَّيْهِ فَقَالَ لَهُ عُمَرُ لَقَدْ صَنَعْتَ الْيَوْمَ شَيْئًا لَمْ تَكُنْ تَصْنَعُهُ قَالَ عَمْدًا صَنَعْتُهُ يَا عُمَرُ
Diriwayatkan dari Sulaiman bin Buraidah dari ayahnya, bahwa Nabi Saw shalat beberapa kali dengan sekali berwudlu dan beliau menyapu kedua khufnya (slop, sejenis sepatu). Umar berkata kepada Nabi Saw: "Hari ini Tuan berbuat sesuatu yang belum pernah Tuan lakukan?" Beliau menjawab: "Sengaja aku melakukannya, wahai Umar.[46]
Hadis ini membolehkan shalat beberapa kali hanya dengan satu kali berwudlu, dan hadis ini me-naskh atau membatalkan kedua hadis terdahulu di atas.
c. Batal Wudlu Karena Makan Sesuatu yang Sudah Dimasak
قَالَ ابْنُ شِهَابٍ أَخْبَرَنِي عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ إِبْرَاهِيمَ بْنِ قَارِظٍ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ وَجَدَ أَبَا هُرَيْرَةَ يَتَوَضَّأُ عَلَى الْمَسْجِدِ فَقَالَ إِنَّمَا أَتَوَضَّأُ مِنْ أَثْوَارِ أَقِطٍ أَكَلْتُهَا ِلأنِّيْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ تَوَضَّئُوا مِمَّا مَسَّتْ النَّارُ
Sesungguhnya aku berwudhu karena telah makan sepotong keju. Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, "Berwudhulah kalian karena makan sesuatu yang telah dimasak.[47]
حَدَّثَنَا أَبُو كَامِلٍ فُضَيْلُ بْنُ حُسَيْنٍ الْجَحْدَرِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَوْهَبٍ عَنْ جَعْفَرِ بْنِ أَبِي ثَوْرٍ عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَأَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُومِ الْغَنَمِ قَالَ إِنْ شِئْتَ فَتَوَضَّأْ وَإِنْ شِئْتَ فَلَا تَوَضَّأْ قَالَ أَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُومِ الْإِبِلِ قَالَ نَعَمْ فَتَوَضَّأْ مِنْ لُحُومِ الْإِبِلِ
Diriwayatkan dari Jabir bin Samurah, bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah Saw: "Apakah aku harus berwudlu karena makan daging kambing?" Rasulullah Saw bersabda: "Jika mau, silakan berwudlu, tapi jika tidak, janganlah berwudlu. " Laki-laki itu bertanya lagi: "Apakah aku harus berwudhu, karena aku telah makan masakan daging unta?" Beliau menjawab, "Ya ", berwudlulah karena telah makan masakan daging unta.[48]
Menurut Izzuddin Husain al-Syekh, kedua hadis ini menunjukkan bahwa makan sesuatu yang telah berubah karena dimasak, baik berupa daging atau lainnya adalah membatalkan wudlu. Kedua hadis ini mansukh (dibatalkan) oleh kedua hadis berikut ini:[49]
حَدَّثَنِي أَحْمَدُ بْنُ عِيسَى حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي عَمْرُو بْنُ الْحَارِثِ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ جَعْفَرِ بْنِ عَمْرِو بْنِ أُمَيَّةَ الضَّمْرِيِّ عَنْ أَبِيهِ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَحْتَزُّ مِنْ كَتِفِ شَاةٍ فَأَكَلَ مِنْهَا فَدُعِيَ إِلَى الصَّلَاةِ فَقَامَ وَطَرَحَ السِّكِّينَ وَصَلَّى وَلَمْ يَتَوَضَّأْ
Diriwayatkan dari Ja’far bin Amr bin Umayah ad-Dhamri dari ayahnya, ia berkata, "Aku melihat Rasulullah SAW memotong sekerat masakan daging kambing dan memakannya. Tiba-tiba kedengaran adzan shalat. Beliau berdiri dan meletakkan pisaunya, langsung shalat tanpa berwudlu lebih dahulu.[50]
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ سَهْلٍ أَبُو عِمْرَانَ الرَّمْلِيُّ حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَيَّاشٍ حَدَّثَنَا شُعَيْبُ بْنُ أَبِي حَمْزَةَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْمُنْكَدِرِ عَنْ جَابِرٍ قَالَ كَانَ آخِرَ الْأَمْرَيْنِ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَرْكُ الْوُضُوءِ مِمَّا غَيَّرَتْ النَّارُ
Diriwayatkan dari Jabir, bahwa: "Adalah di antara dua perbuatan Rasulullah Saw. ialah tidak berwudlu setelah makan sesuatu yang berubah karena telah dimasak.[51]
Kedua hadis ini me-nasakh (membatalkan) kedua hadis terdahulu di atas yang menyebutkan bahwa makan sesuatu yang dimasak adalah membatalkan wudlu, karena perbuatan Rasulullah Saw. yang terakhir adalah tidak berwudlu setelah makan sesuatu yang telah dimasak, berarti tidak batal wudlu dengan makan sesuatu yang sudah dimasak.
d. Larangan Mandi atau Berwudhu dengan Sisa Air yang Telah Dipakai Bersuci Perempuan
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ وَمَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ قَالَا حَدَّثَنَا أَبُو دَاوُدَ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ عَاصِمٍ قَال سَمِعْتُ أَبَا حَاجِبٍ يُحَدِّثُ عَنْ الْحَكَمِ بْنِ عَمْرٍو الْغِفَارِيِّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ يَتَوَضَّأَ الرَّجُلُ بِفَضْلِ طَهُورِ الْمَرْأَةِ
Diriwayatkan dari al-Hakam bin Amr al-Ghifari, "Sesungguhnya Nabi Saw. telah melarang alas laki-laki berwudhu dengan sisa air yang telah dipakai perempuan bersuci (berwudhu).[52]
Hadis ini melarang mandi atau berwudhu dengan menggunakan sisa air yang telah dipakai perempuan bersuci atau berwudhu.
Hadis ini mansukh atau dibatalkan oleh hadis berikut ini,[53]
و حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ وَمُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمٍ قَالَ إِسْحَقُ أَخْبَرَنَا وَقَالَ ابْنُ حَاتِمٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَكْرٍ أَخْبَرَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ أَخْبَرَنِي عَمْرُو بْنُ دِينَارٍ قَالَ أَكْبَرُ عِلْمِي وَالَّذِي يَخْطِرُ عَلَى بَالِي أَنَّ أَبَا الشَّعْثَاءِ أَخْبَرَنِي أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ أَخْبَرَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَغْتَسِلُ بِفَضْلِ مَيْمُونَةَ
Ibnu Abbas meriwayatkan, bahwa Rasulullah Saw mandi dengan sisa air yang telah dipakai Maimunah (isteri Nabi Saw).[54]
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا أَبُو الْأَحْوَصِ حَدَّثَنَا سِمَاكٌ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ اغْتَسَلَ بَعْضُ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي جَفْنَةٍ فَجَاءَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِيَتَوَضَّأَ مِنْهَا أَوْ يَغْتَسِلَ فَقَالَتْ لَهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي كُنْتُ جُنُبًا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْمَاءَ لَا يُجْنِبُ
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa: "Sebagian isteri Nabi Saw. mandi di dafinah. Lalu datang Nabi Saw. untuk berwudhu atau mandi dengan sisa air yang telah dipakai oleh para isteri beliau. Salah seorang isteri beliau berkata: "Wahai Rasulullah Saw. aku ini dalam keadaan junub. Rasulullah Saw menjawab: "Sesungguhnya air itu tidak menjunubkan.[55]
Kedua hadis ini menegaskan tentang bolehnya berwudhu atau mandi dengan menggunakan sisa air yang telah dipakai perempuan mandi suci atau mandi junub. Sekaligus hadis ini me-nasakh atau membatalkan hadis terdahulu di atas.
C. Hadis Ikhtilaf dan Hadis Musykil
Terdapat perbedaan pendapat mengenai batasan hadis musykil dan hadis ikhtilaf. Ada yang menyamakan, ada pula yang membedakan. Menurut Ibn Qutaibah, hadis musykil dan hadis ikhtilaf adalah sesuatu yang berbeda. Hadis musykil adalah bagian dari hadis ikhtilaf. Menurut M.M. Abu Zahw, musykil al-hadis dan mukhtalaf al-hadis adalah sesuatu yang sama, yaitu dua hadis yang satu sama lain saling bertentangan secara lahirnya.[56]
Jadi, ada yang menganggap hadis musykil sama dengan hadis ikhtilaf, ada pula yang memasukkannya sebagai bagian dari hadis ikhtilaf. Bila sebuah hadis bertentangan dengan sesama hadis disebut dengan hadis ikhtilaf, bila sebuah hadis bertentangan dengan dalil lain selain hadis disebut hadis musykil.
Secara bahasa musykil berarti campur aduk dan mirip satu sama lain. Menurut Ibn Qutaibah (213-273 H), hadis musykil adalah hadis yang bertentangan dengan dalil selain hadis, yaitu al-Qur’an dan akal pikiran. Ibn Furak (w. 406 H), berpendapat bahwa hadis musykil adalah hadis yang tidak dapat dengan jelas dipahami tanpa menyertakan penjelasan lain, seperti hadis-hadis yang kandungannya berisi tentang hal-hal yang berkaitan dengan zat Allah, sifat-sifat maupun perbuatan-Nya yang menurut akal tidak layak dikenakan penisbatannya kepada-Nya kecuali setelah dilakukan ta’wil terhadap hadis-hadis tersebut. Sedangkan menurut Muhammad Tahir al-Jawabi, hadis musykil adalah ketidaksesuaian antara hadis dengan yang bukan hadis dalam hal ini adalah al-Qur`an, Ijma’, kenyataan akal dan panca indera.[57]
Barangkali, pengertian terakhir inilah yang paling lengkap dan jelas serta dapat dipegangi dalam pembahasan selanjutnya. Persoalan selanjutnya adalah mengapa bisa terjadi adanya hadis musykil ?. Beberapa kemungkinan kemusykilan sebuah hadis bisa terjadi adalah karena:
(1) Terjadinya periwayatan hadis secara ma’na
(2) Kesamaran ungkapan bahasa sebuah hadis
(3) Rentang waktu zaman nabi dengan masa sebuah hadis akan difahami.[58]
Para pengkaji musykil al-hadis memilah kemusykilan sebuah hadis menjadi empat hal, yaitu karena:
(1) Diduga tidak sesuai dengan al-Qur`an.
Contoh populer hadis kategori ini adalah hadis tentang wasiat kepada ahli waris.[59]
حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ شُعَيْبِ بْنِ شَابُورَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ يَزِيدَ بْنِ جَابِرٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ أَنَّهُ حَدَّثَهُ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ إِنِّي لَتَحْتَ نَاقَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسِيلُ عَلَيَّ لُعَابُهَا فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ أَلاَ لاَ وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ
Hadis di atas bertentangan dengan QS al-Baqarah, 2: 180:
=ÏGä. öNä3øn=tæ #sÎ) uØym ãNä.ytnr& ßNöqyJø9$# bÎ) x8ts? #·öyz èp§Ï¹uqø9$# Ç`÷yÏ9ºuqù=Ï9 tûüÎ/tø%F{$#ur Å$rã÷èyJø9$$Î/ ( $)ym n?tã tûüÉ)FßJø9$# ÇÊÑÉÈ
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf. (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.
Kedua orang tua adalah ahli waris yang tidak dihalangi oleh siapapun untuk memperoleh warisan. Hadis di atas jelas bertentangan dengan al-Quran. Mengenai hal ini, Ibnu Qutainah, seperti dikutipoleh al-Qaththan menyatakan bahwa ayat tersebut mansukh dengan ayat yang memberikan hak waris kepada kedua orang tua, sehingga mereka tidak berhak memperoleh wasiat.[60]
(2) Diduga tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan.
Contoh populer hadis jenis ini adalah riwayat tentang Siapa yang membiasakan makan pagi dengan tujuh buah kurma “ajwa maka sihir dan racun tidak akan membahayakannya.[61]
حَدَّثَنَا جُمْعَةُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا مَرْوَانُ أَخْبَرَنَا هَاشِمُ بْنُ هَاشِمٍ أَخْبَرَنَا عَامِرُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَصَبَّحَ كُلَّ يَوْمٍ سَبْعَ تَمَرَاتٍ عَجْوَةً لَمْ يَضُرَّهُ فِي ذَلِكَ الْيَوْمِ سُمٌّ وَلَا سِحْرٌ
“Barang siapa makan pagi dengan tujuh kurma ‘Ajwah maka racun atau sihir tidak membahayakannya”.
Mengutip pendapat-pendapat Ibnu Hajar, al-Daudi, Ibnu Atsir dan al-Qazzaz, Indal Abror menyatakan bahwa ‘Ajwah adalah suatu jenis kurma Madinah yang paling baik dan paling lembut, termasuk kurma yang tengah-tengah, jenis kurma yang lebih besar dari kurma jenis kering hitam, dan kurma inilah yang ditanam oleh nabi dengan tangannya sendiri.[62]
Menurut Imam al-Khaththabi, sebagaimana dikutip oleh Abror, adanya ‘ajwah bermanfaat bagi orang yang terkena racun dan sihir adalah berkat barakah do’a nabi untuk kurma Madinah, bukan khasiat yang dikandung oleh kurma tersebut.[63] Sementara menurut al-Qadli ‘Iyadl, pengkhususan kurma Madinah jenis ‘ajwah dari desa ‘Aliyah menjadikan kemusykilan menjadi hilang, karena hal itu sangat dimungkinkan, sebagaimana didapati ada obatan-obatan dari bahan yang hanya memiliki efek penyembuhan jika ditanam di suatu daerah bukan daerah lain karena adanya pengaruh (struktur) tanah dan (kelembaban) udara.[64]
Dari deskripsi yang disampaikan sejumlah ulama, Abror menyimpulkan bahwa ada ulama yang memahami hadis tersebut tidak secara zhahir—yakni sebagai kekhususan bagi kurma ‘ajwah Madinah pada daerah tertentu dan sebagai kekhususan pada zaman nabi, ada juga yang memaknai secara zhahir.[65]
(3) Diduga tidak sesuai dengan akal sehat.
Contohnya adalah riwayat tentang Hajar aswad adalah tangan kanan Allah di bumi-Nya yang dengannya Ia salami makhluqnya yang Ia kehendaki.[66]
حدثنا مهدي بن أبي المهدي ، حدثنا الحكم بن أبان قال : حدثني أبي ، عن عكرمة قال : « إن الحجر الأسود يمين الله في الأرض
“Hajar Aswad adalah tangan kanan Allah di bumi
Sebagaimana dikutip oleh Indal Abror, Ibn Qutaibah mengemukakan :
Kita mengatakan bahwa ini adalah tamsil dan perumpamaan. Misalnya, seorang raja, jika menyalami seseorang, orang itu mencium tangannya. Maka Hajar Aswad tersebut seakan-akan bagi Allah memiliki kedudukan sebagai tangan Sang Raja untuk disalami dan dicium. Telah sampai kepadaku bahwa ‘Aisyah berkata, ”Sesungguhnya Allah ketika melakukan perjanjian dengan bani Adam dan mempersaksikan-Nya kepada mereka berkata, “Tidakkah Aku Tuhanmu?” Mereka mengatakan “Ya” (Engkau Tuhan kami) dan mejadikan (tanda perjanjian) itu pada Hajar Aswad.”[67]
Hadis ini harus dipahami dalam bentuk pengertian majaz, bukan zahir. Penolakan terhadap makna majaz dan memengangi makna zahir jelas menghasilkan pengertian yang tidak masuk akal.
(4) Diduga tidak sesuai dengan kenyataan. Contoh riwayat jenis ini adalah Nabi menyebut bahwa seratus tahun sesudah nabi tidak ada orang di muka bumi yang masih hidup.
Kemusykilan dalam hadis ini terletak pada peringatan bahwa seratus tahun sesudah nabi, tak ada lagi orang yang masih hidup. Pemahaman seperti ini memang wajar dari zhahir teks. Ahmad Amin, seperti dikutip Abror, menganggap hadis ini termasuk bukti bahwa para muhaddisin tidak banyak meneliti aspek matan hadis yang tampak di sini sangat tidak sesuai dengan kenyataan.[68] Namun Ibnu Qutaibah menyatakan: Mereka mengatakan riwayah ini jelas-jelas bathil. Kita (hidup) pada tahun tiga ratus, sedangkan orang-orang semakin banyak saja. Kita menyatakan: Hadis ini sesungguhnya telah digugurkan satu kata oleh para rawi. Dapat saja karena mereka tidak mendengarkannya atau karena Rasulullah melirihkannya sehingga mereka tidak mendengarkannya. Kita melihat—bahkan kita tidak ragu—bahwa yang beliau katakan adalah, ”tidak ada di atas bumi dari kamu sekalian pada saat itu orang yang masih hidup”. Maksudnya, adalah orang-orang yang kala itu hadir di hadapan nabi atau yakni para sahabat, lalu hal demikian ini rawi tidak menyebutkannya.[69]
Apakah benar rawi menggugurkan satu kata? Hal semacam ini yang tampaknya menyebabkan para ahli hadis lain terkadang menganggap dasar pijakan Ibn Qutaibah seringkali tidak kuat. Ini dimaklumi oleh semisal Ibn ash-Shalah sebagai kelemahan yang ada pada Ibn Qutaibah. Hadis ini memang diriwayatkan oleh banyak rawi. Dengan melihat periwayatan hadis-hadis lain yang setema para ahli hadis menuntaskan kemusykilan hadis ini. Dari segi makna memang pemahaman sebagaimana Ahmad Amin tersebut juga terjadi pada sebagian sahabat sebagaimana secara tersirat ditunjukkan oleh paparan Ibn Hajar, seperti Indal Abror menyatakan:
Karena sebagian dari mereka mengatakan kiamat akan terjadi seratus tahun sebagaimana diriwayatkan oleh ath-Thabrani dan yang lainnya dari hadis Abu Mas’ud al-Badri yang mana Ali (diketahui) menolak hal tersebut. Dan Ibn ‘Umar dalam hadis tersebut telah menjelaskan maksud nabi tersebut, yakni nabi bermaksud mengatakan bahwa “seratus tahun lagi semenjak ia menyabdakan, ketika abad itu lewat orang-orang yang ada saat perkataan itu disabdakan kelak sudah tidak ada lagi”. Demikianlah terbukti dengan adanya penelitian (istiqra’) bahwa orang yang diketahui hidup waktu itu adalah sahabat Abu at-Thufail ‘Amir ibn Wasilah. Ahli hadis telah bersepakat bahwa beliaulah sahabat yang terakhir wafat. Ada yang mengatakan beliau meninggal pada tahun 110 Hadis, yakni seratus tahun semenjak sabda nabi. Wa Allah a’alam. [70]
Memperkuat kejelasan ini adalah keterangan an-Nawawi :
Dalam riwayah Jabir dinyatakan bahwa ia mendengar nabi sebulan sebelum wafatnya bersabda: “Tak ada orang yang saat ini pada seratus tahun mendatang masih hidup pada saat itu”. Hadis-hadis ini satu sama lain saling menafsirkan dan di dalamnya terdapat ilmu kenabian. Maksud hadis ini bahwa semua orang yang hidup pada malam itu di atas bumi tidak akan hidup sesudahnya lebih dari seratus tahun, baik sebelumnya sedikit umurnya atau banyak dan bukan menafikan kehidupan seseorang sesudah malam itu (untuk berumur) di atas seratus tahun. Makna nafs manfusah artinya dilahirkan. Wa Allah a’alam[71]
Paparan di atas menyebutkan “ilmu kenabian”. Namun apa yang diinginkan nabi menyatakan hal tersebut? As-Siba’i mengutip al-Kirmani yang dimaksud nabi adalah bahwa pada rentang waktu itulah generasi yang ada pasa saat itu akan lewat berganti, dan nabi menasehati para sahabatnya dengan pendeknya umur mereka, dan memberitahukan mereka bahwa umur mereka tidak seperti umur umat-umat sebelumnya agar supaya mereka giat dalam beribadah. Hadis demikian oleh para ahli hadis justru dipahami sebagi bentuk mu’jizah nabi dalam memberitahukan hal yang ghaib, dalam hal ini kejadian di waktu mendatang dan dengan kata lain ilmu kenabian. Dari pembahasan ini jelas bahwa pembacaan yang seksama atas hadis yakni dengan melihat konteks hadis lain yang senada akan menghasilkan pemahaman yang memadai dan terhindar dari kemusykilan.[72]
D. Kesimpulan
Berdasar pada pembahasan di atas, maka simpulan yang dapat ditarik adalah sebagai berikut:
1. Antara nash yang satu dengan yang lain tidak mungkin saling bertentangan. demikian halnya antara hadis Nabi dengan hadis Nabi. Apabila diandaikan terjadi pertentangan, maka yang terjadi hanyalah dalam lahirnya saja, bukan dalam kenyataan yang hakiki. Adapun solusinya adalah al-jam'u (pengkompromian atau penggabungan), jika antara dua hadis yang bertentangan berkualitas sahih. Sedang apabila da`if atau maudu` maka tidak masuk dalam bahasan hadis mukhtalif. Apabila al-jam'u tidak bisa, baru memakai nasikh wa al-mansukh dan tarjih.
2. Tidak dapat dipungkiri adanya hadis-hadis yang musykil. Namun, untuk memahami hadis-hadis tersebut perlu adanya kerangka pemahaman berdasarkan kajian yang dilakukan oleh ulama’. Berbagai problema di seputar hadis-hadis musykil dan cara memahaminya dapat dijadikan pedoman untuk memahami hadis-hadis musykil.
DAFTAR PUSTAKA
Hasbi Ash-Shiddieqy, M., Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, 1981, Jilid II.
http://www.al-islam.com, الكتاب مشكول ومرقم آليا غير موافق للمطبوع وهو متن مرتبط بشرحه
Indal Abror, Problematika Hadis Musykil, http://www.uin_suka.info, diakses tanggal 12 September 2008.
Izzuddin Husain al-Syekh, “Menyikapi Hadis-hadis yang Saling Bertentangan: Hadis-hadis Nasikh dan Mansukh”, diterjemahkan oleh Wajidi Sayadi dari Mukhtashar al-Nasikh wa al-Mansukh fi Hadits Rasulillah, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004, Cet. ke-1, h. 16
Muhammad Ajjaj Al-Khathib, “Ushul al-Hadits: Pokok-pokok Ilmu Hadis”, diterjemahkan oleh M. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafik dari Ushul al-Hadits, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998, Cet. ke-1
Nuruddin ‘Itr, “Ulum al-Hadits”, diterjemahkan oleh Mujiyo dari Manhaj al-Naqd fî Ulûm al-Hadîts, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994, Cet. ke-1, Jilid 2
Sayyid Salih Abu Bakar, Menyingkap Hadis-Hadis Palsu, Solo: Mutiara, 1989, Jilid 1 dan 2.
Subhi al-Shalih, “Membahas Ilmu-ilmu Hadis”, diterjemahkan oleh Tim Pustaka Firdaus dari Ulum al-Hadis wa Musthalahuhu, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997, Cet. ke-3
Syaikh Manna’ al-Qaththan, “Studi Ilmu Hadits”, diterjemahkan oleh Mifdhol Abdurrahman dari Mabâhits fî Ulûm al-Hadîts, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006, Cet. ke-2
Yusuf al-Qardhawi, “Pengantar Studi Hadis”, diterjemahkan oleh Agus Suyadi Raharusun dan Dede Rodin dari al-Madkhal li Dirasah al-Sunnah al Nabawiyah, Bandung: Pustaka Setia, 2007, Cet. ke-1
[1] Syaikh Manna’ al-Qaththan, “Studi Ilmu Hadits”, diterjemahkan oleh Mifdhol Abdurrahman dari Mabâhits fî Ulûm al-Hadîts, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006, Cet. ke-2, h. 126
[2] Nuruddin ‘Itr, “Ulum al-Hadits”, diterjemahkan oleh Mujiyo dari Manhaj al-Naqd fî Ulûm al-Hadîts, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994, Cet. ke-1, Jilid 2, h. 114
[3] Subhi al-Shalih, “Membahas Ilmu-ilmu Hadis”, diterjemahkan oleh Tim Pustaka Firdaus dari Ulum al-Hadis wa Musthalahuhu, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997, Cet. ke-3, h. 104
[4] Muhammad Ajjaj Al-Khathib, “Ushul al-Hadits: Pokok-pokok Ilmu Hadis”, diterjemahkan oleh M. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafik dari Ushul al-Hadits, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998, Cet. ke-1, h. 254
[5] Syaikh Manna’ al-Qaththan, Op. Cit., h. 127
[6] Yusuf al-Qardhawi, “Pengantar Studi Hadis”, diterjemahkan oleh Agus Suyadi Raharusun dan Dede Rodin dari al-Madkhal li Dirasah al-Sunnah al Nabawiyah, Bandung: Pustaka Setia, 2007, Cet. ke-1, h. 188
[7] Sunan Abu Daud, Juz 11, h. 153, no 3585. Lihat juga Sunan al-Turmudzi, Juz 9, h. 455 no. 2702, Musnad Ahmad, Juz 53, h. 488, no. 25326. Menurut al-Turmudzi, Hadis ini hasan shahih.
[8] Yusuf al-Qardhawi, Loc. Cit.
[9] قَالَ أَبُو دَاوُد هَذَا لِأَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَاصَّةً أَلَا تَرَى إِلَى اعْتِدَادِ فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ عِنْدَ ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ قَدْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِفَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ اعْتَدِّي عِنْدَ ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ فَإِنَّهُ رَجُلٌ أَعْمَى تَضَعِينَ ثِيَابَكِ عِنْدَهُ
Lihat Sunan Abu Daud, Juz 11, h. 153, no. 3585
[10] Shahih Bukhari, Juz 16, h. 264, no. 4835, dan Shahih Muslim, Juz 4, h. 415, no. 1480
[11] Yusuf al-Qardhawi, Loc. Cit.
[12] Lihat Shahih Muslim, Juz 7, h. 447, no. 2709; Sunan Abu Daud, Juz 11, h. 153, no. 3585
[13] Yusuf al-Qardhawi, Op. Cit., h. 189
[14] Ibid.
[15] Lihat Yusuf al-Qardhawi, Loc. Cit.
[16] Sunan al-Turmudzi, Juz 4, h. 213, no. 976; Musnad Ahmad, Juz 17, h. 137, no. 8095
[17] قَالَ وَفِي الْبَاب عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ وَحَسَّانَ بْنِ ثَابِتٍ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَقَدْ رَأَى بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ أَنَّ هَذَا كَانَ قَبْلَ أَنْ يُرَخِّصَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَلَمَّا رَخَّصَ دَخَلَ فِي رُخْصَتِهِ الرِّجَالُ وَالنِّسَاءُ و قَالَ بَعْضُهُمْ إِنَّمَا كُرِهَ زِيَارَةُ الْقُبُورِ لِلنِّسَاءِ لِقِلَّةِ صَبْرِهِنَّ وَكَثْرَةِ جَزَعِهِنَّ
[18] Sunan al-Turmudzi, Juz. 4, h. 210, no 974, Sunan al-Nasa’i, Juz 17, h. 126, no. 5558, Sunan Ibnu Majah, Juz. 5, h. 45, no. 1560
[19] Sunan al-Turmudzi, Juz 4, h. 210, no. 974; Sunan Ibnu Majah, Juz 5, h. 45, no.1560
[20] Shahih Muslim, Juz 5, h. 102, no. 1619; Sunan al-Nasa'i, Juz 7, h. 163 no. 2010; Musnad Ahmad, Juz 52, h. 328, no. 24671
[21] Shahih Bukhari, Juz 5, h. 29, no 1203, Shahih Bukhari, Juz 22, h. 69 no. 6621
[22] Yusuf al-Qardhawi, Op. Cit., h. 191
[23] Yusuf al-Qardhawi, Op. Cit., h. 192
[24] Shahih Bukhari, Juz 16, h. 220, no. 4808
[25] Shahih Muslim, Juz. 7: 319, no. 2610
[26] Shahih Muslim, Juz 7, h. 315, no. 2606
[27] Shahih Bukhari, Juz 8, h. 473, no. 2356
[28] Musnad Ahmad, Juz 22, h. 403, no. 10858
[29] Sunan Abu Daud, Juz 6, h. 78, no. 1856
[30] Sunan Ibnu Majah, Juz 6, h. 50, no. 1918
[31] Syaikh Manna’ al-Qaththan, Op. Cit., h. 127
[32] Syaikh Manna’ al-Qaththan, Op. Cit., h. 127
[33] Ibid., h. 128
[34] Lihat Musnad Ahmad, Juz 3, h. 179, No. 1173
[35] Lihat Shahih Bukhari, Juz 7, h. 27
[36] Lihat antara lain Sunan Abu Daud, Juz 12, h. 65, no. 3888
[37] Syaikh Manna al-Qathan, Op. Cit., h. 128.
[38] Lihat Musnad Ahmad, Juz 51, h. 139, no 23982
[39] Izzuddin Husain al-Syekh, “Menyikapi Hadis-hadis yang Saling Bertentangan: Hadis-hadis Nasikh dan Mansukh”, diterjemahkan oleh Wajidi Sayadi dari Mukhtashar al-Nasikh wa al-Mansukh fi Hadits Rasulillah, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004, Cet. ke-1, h. 16
[40] Shahih Muslim, Juz 2, h. 176, no. 461
[41] Sunan al-Turmudzi, Juz 1, h. 201, no. 111
[42] Izzuddin Husain al-Syekh, Op. Cit., h. 17
[43] Sunan Abu Daud, Juz 1, h. 70, no. 44
[44] Shahih Bukhari, Juz 1, h. 359, no.207
[45] Izzuddin Husain al-Syekh, Op. Cit., h. 12
[46] Shahih Muslim, Juz 2, h. 114, no. 415
[47] Shahih Muslim, Juz 2, h. 261, no. 529
[48] Shahih Muslim, Juz 2, h. 273, no. 539
[49] Izzuddin Husain al-Syekh, Op. Cit., h. 2
[50] Shahih Bukhari, Juz 17, h. 39, no. 5002; Shahih Muslim, Juz. 2, h. 267, no. 534
[51] Sunan Abu Daud, Juz 1, h. 239, no. 164
[52] Sunan al-Turmudzi, Juz. 1, h. 107, no. 59
[53] Izzuddin Husain al-Syekh, Op. Cit., h. 9
[54] Shahih Muslim, Juz 2, h. 206, no. 487
[55] Sunan Abu Daud, Juz 1, h. 98, no. 62
[56] Indal Abror, Problematika Hadis Musykil, http:www.uin_suka.info/ejurnal, Diakses Tanggal 12 September 2008, h. 1
[57] Ibid.
[58] Ibid.
[59] Lihat Sunan Ibnu Majah, Juz 8, h. 186, no. 2705
[60] Syaikh Manna’ al-Qaththan, Op. Cit., h. 107
[61] Lihat Shahih Bukhari, Juz 17, h. 78, no. 5025; Juz 18, h. 63, no. 5326; Juz 18, h. 64, no. 5327; Juz 18, h. 75, no. 5224; Shahih Muslim, Juz 10, h. 359, no. 3814 dan 3815; Sunan Abu Daud, Juz 10, h. 374, no. 3378
[62] Indal Abror, Op. Cit., h. 3
[63] Ibid
[64] Ibid
[65] Ibid., h. 5
[66] Lihat Akhbar al-Makkah li al-Azriqi, Juz 1, h. 475, no. 395
[67] Lihat Indal Abror, Op. Cit., h. 5
[68] Ibid., h. 6.
[69] Ibid
[70] Ibid.
[71] Ibid.
[72] Ibid.